Islam Nusantara dan Ijtihad di era Milenial

April 03, 2019
Abd. A’la, Ijtihad Islam Nusantara, Refleksi Pemikiran & Kontekstualisasi Ajaran Islam di Era Globalisasi & Liberalisasi Informasi, Surabaya: PW LTN NU Jatim & Muara Progresif, 2018, vi+189 halaman


Terminologi Islam Nusantara sesungguhnya bukan terminologi baru. Ia telah ada dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan umat Islam Indonesia. Tidak banyak yang memperdebatkan istilah itu sebelum NU mempopulerkannya di Muktamar Jombang tahun 2015.
Sebuah istilah tidak selalu netral. Ada konteks, kepentingan, dan perebutan makna dari sebuah istilah. Itu yang tampaknya terjadi pada Islam Nusantara.
Buku karya Prof. Dr. Abd. A’la ini ikut memperkaya perspektif tentang Islam Nusantara. Penulis buku ini memotret berbagai macam dinamika dan ikhtiar kreatif Islam tradisional yang kemudian berkembang menjadi Islam Nusantara. Perspektif yang ditawarkan dalam buku ini, menurut saya, sungguh menarik. Dimensi-dimensi yang selama ini jarang terbaca oleh orang luar dihadirkan secara objektif.
Buku merupakan kompilasi makalah dan karya tulis Abd. A’la. Sebagai kompilasi, buku ini tentu tidak tersusun secara sistematis. Tidak ada bab di dalamnya. Hanya judul demi judul distrukturkan begitu saja.
Bagian yang berjudul, “Ijtihad Islam Nusantara: Kontekstualisasi Ajaran Islam, Membaca Islam Nusantara dan Signifikansi Penguatan Ijtihad” mengulas tentang bagaimana penting ijtihad dalam pembacaan kontemporer. Pada bagian awal, Abd. A’la menjelaskan bahwa Islam sesungguhnya merupakan agama moral. Disebut demikian karena awal dan akhir agama Islam adalah etik-moralitas (h. 1). Implikasinya, seluruh ajaran Islam dan aktualisasinya dalam kehidupan seharusnya selalu sejalan dengan moral. Munculnya perilaku beragama yang mengedepankan kekerasan dan perilaku yang tidak humanis lainnya sesungguhnya kontradiktif dengan substansi Islam itu sendiri. Menurut Abd. A’la, kelompok radikal yang akrab dengan kekerasan, mereka itu memahami agama tidak secara utuh, melainkan secara parsial. Implikasinya, keberagamaan yang tampil bersifat rigid dan eksklusif. Pemahaman semacam ini mengantarkan seseorang pada ketidakmampuan untuk menangkap visi substantif dan misi Islam yang holistik. Dukungan pola pendidikan yang tidak memadai menjadikan pemahaman keberagamaan yang parsial semakin tumbuh dan berkembang. Namun faktor yang menjadikan kekuatan pemahaman Islam radikal semakin berkembang pesat adalah adanya dukungan politik kekuasaan (h. 3-4). Karena itulah diperlukan perhatian serius terhadap fenomena yang semacam ini.  Dalam kerangka ini, Islam Nusantara menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sebagai organisasi Islam moderat, NU sebagai pengusung Islam Nusantara harus bekerja keras untuk rekontekstualisasi ijtihad dan strategi. Usaha ini harus dilakukan secara sistematis, serius, dan terus-menerus. Melalui cara semacam ini maka diharapkan Islam radikal dapat diminimalisir pertumbuhannya di Indonesia.
Tulisan dengan judul, “Mengawal Entitas Keislaman Indonesia di Era Globalisasi: Islam NU sebagai Avant Garde Merespon Liberalisasi Informasi” menyajikan banyak hal, khususnya air bah informasi yang sekarang ini dihadapi oleh masyarakat Indonesia. A’la menulis bahwa Indonesia kini telah mengalami liberalisasi informasi.
“Jejalan informasi membuat masyarakat tidak tahu lagi apa sebenarnya keinginan mereka. Mereka tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Media massa memutarbalikkan realitas; keinginan dijadikan kebutuhan, dan keperluan dasar dirubah menjadi sesuatu yang dianggap tersier atau kurang penting lagi” (h. 15).
Implikasi dari liberalisasi informasi ini adalah tumbuhnya sikap pragmatisme akut. Di sisi lain, muncul ideologi pemikiran transnasional fundamentalis yang menawarkan posisinya sebagai tandingan dari ideologi neokapitalis yang diusung oleh globalisasi (h. 16). Realitas semacam ini semestinya disikapi secara arif. Informasi yang berkembang seharusnya yang merepresentasikan nilai-nilai luhur. Jika terjadi penyimpangan maka tugas bersama untuk memberikan usaha-usaha kreatif agar informasi kembali jernih dan menghadirkan nilai-nilai positif.
Artikel dengan judul “ISLAM PRIBUMI, Lokalitas dan Universalitas Islam dalam Perspektif Nahdlatul Ulama” membahas betapa NU telah melakukan upaya yang cukup intens dalam kontekstualisasi nilai-nilai Islam secara kreatif dalam kehidupan konkrit. NU, dengan demikian, berusaha menjadikan Islam sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat. Islam dan budaya mempunyai interdependensi masing-masing. Tidak ada tumpang tindih antara keduanya. Interrelasi ini justru semakin memperkaya kehidupan (h. 36). Kemunculan kelompok revivalis berimplikasi pada terputusnya tradisi dan kekayaan khazanah intelektual Muslim. Warisan budaya yang ada dimusnahkan—atau minimal dikeluarkan—dari lingkungan keagamaan Islam (h. 24). Model keberagamaan kelompok revivalis ini menilai otentifikasi keislaman dari angle simbol dan legal yang artifisial (h. 44).
Tulisan dengan judul “Jihad dalam Konteks Keindonesiaan Kekinian: Pengentasan Masyarakat dari Kemiskinan dan Keterbelakangan” memberikan reinterpretasi jihad secara substansial. Bagi A’la, jihad itu sarat dengan nilai-nilai etika moralitas yang agung.  “Ajaran ini menuntut umat Islam agar mengerahkan daya secara berkesinambungan untuk menyelesaikan persoalan kehidupan dalam bingkai dan tujuan pembumian akhlak al-karimah (h. 58).
Sementara artikel dengan judul “Globalisasi dan Pesantren: Dari Pembumian Nilai Luhur dan Penguatan Karakteristik Kajian Menuju Pengembangan Budaya Islam Nusantara” mengulas tentang bagaimana globalisasi telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan. Hadirnya globalisasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan ini. Ada sisi positif. Juga ada sisi negatifnya. Aspek yang penting bukan bagaimana menerima atau menolah, tetapi bagaimana menyikapinya secara arif, kritis, dan kreatif.
Ada begitu banyak ekses negatif globalisasi. Aspek ini yang penting untuk disikapi. Salah satunya adalah munculnya mental pragmatisme masyarakat. Kearifan lokal dan keluhuran nilai-nilai agama memudar. Agama justru dijadikan objek komersialisasi dan komodifikasi. Pada ujung yang berbeda, muncul radikalisasi sebagai bentuk resistensi atas globalisasi. Munculnya kelompok keberagamaan yang disebut Abd. A’la sebagai ahistoris dan anti-sosial ini alih-alih menyelesaikan masalah, justru membuat masalah semakin rumit. Mereka memusuhi apa pun yang tidak sesuai dengan perspektif mereka, termasuk budaya lokal dan bentuk negara.
Pada kondisi yang semacam ini, Abd. A’la melihat bahwa pesantren memiliki potensi besar untuk menjalankan perannya dalam menghadapi globalisasi. Pesantren memiliki nilai-nilai yang terbukti telah terejawantahkan dalam perilaku sehari-hari. Sejarah panjang pesantren di Indonesia yang terus eksis hingga hari ini adalah buktinya. Beberapa nilai yang dimili oleh pesantren—antara lain—kesederhanaan, kerendahhatian, keikhlasan, egalitarianisme, fleksibilitas dan penghormati perbedaan pendapat (h. 86). Nilai-nilai ini menjadi modal penting untuk diaktualisasikan dalam menghadapi globalisasi yang semakin kompleks.
Aspek yang penting untuk dilakukan adalah reformulasi dan rekonstruksi diri. Langkah ini penting ditempuh karena realitas yang ada menunjukkan bahwa pesantren terlihat gagap menghadapi globalisasi. Alih-alih memberikan warna, pesantren justru semakin termarginalisasi dalam gegap gempita arus perubahan yang semakin dahsyat.
Bagian yang bertajuk, “Membangun Peradaban dan Signifikansi Teologi Transformatif: Peran Umat Islam Indonesia dalam Perspektif Kekinian” menjelaskan pentingnya peradaban. Peradaban itu akan maju kalau ilmu pengetahuan maju. Ilmu pengetahuan maju melalui pengembangan epistemologi. Pengembangan epistemologi dalam bingkai teologi transformatif penting sekali peranannya dalam mewujudkan keunggulan peradaban.
Peradaban, tegas A’la, akan menunjukkan posisinya yang strategis dengan ditandai oleh penyebaran dan kuatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibingkai oleh nilai-nilai keadaban (h. 93). Nilai keadaban ini sangat penting untuk ditekankan karena bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius. Nyaris semua dimensi kehidupan menghadapi krisis, termasuk etika kerja. Mentalitas kerja yang kurang bagus dan korupsi yang gawat (h. 96) adalah bukti bahwa krisis itu bukan sesuatu yang fiktif. Karena itulah maka harus dilakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan krisis secara sistematis, kreatif, dan penuh tanggung jawab. Jika tidak maka kita akan menjadi bangsa yang periferal atau bahkan bangsa yang sedang menggali lubang kuburnya sendiri (h. 97).
A’la menawarkan sebagai salah satu solusi adalah pengembangan teologi transformatif. Teologi yang selama ini berkembang adalah teologi spekulatif yang hanya menekankan pada aspek keimanan tanpa mengaitkannya dengan ajaran Islam yang lain (h. 100). Pada titik inilah maka teologi transformatif penting artinya.
Teologi transformatif yang dirumuskan seharusnya memiliki efek ganda. Ke dalam, teologi tersebut dapat menumbuhkan keberimanan yang kokoh pada setiap pengikutnya. Sementara pada saat sama, keberimanan ini dapat menjadi sumber energi untuk mendorong aktualisasi nilai-nilai dan etos sosial-moral yang intrinsik (h. 102). Efek ganda ini menjadikan teologi tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga mengejawantahkan efek transformatif secara lebih luas.
Artikel dengan judul “Otoritas Kebenaran dalam Teologi Islam: Mengkritisi Teologi Islam dan Urgensi Pengembangan Teologi Kritis” bisa dianggap sebagai pelengkap artikel sebelumnya. Pada tulisan ini Abd. A’la menjelaskan bahwa akar dari munculnya keberagamaan yang “pasif” dan eksklusif adalah teologi (h. 106). Karena A’la menyarankan agar teologi direkonstruksi dengan mempertimbangkan terhadap persoalan konkret yang dihadapi umat. A’la menawarkan apa yang disebutnya sebagai “teologi kritis”. Bagi A’la, teologi kritis perlu didialogkan karena paradigma yang dianutnya menjanjikan suatu pemahaman agama yang lebih menyeluruh sehingga diharapkan memberikan nilai-nilai transformatif dalam keberagamaan umat (h. 116). Sayangnya, buku ini belum mengeksplorasi lebih jauh bagaimana bangunan teologi kritis yang ditawarkan. Buku ini baru menegaskan tentang signifikansi teologi kritis.
* * *
Saya mendapatkan buku ini dari Gus Ahmad Karomi. Ketika buku ini akan terbit, beliau memposting di facebook. Segera saya pesan. Tidak butuh waktu lama. Buku pun sampai. Sebagaimana biasanya, saya tidak bisa langsung membaca buku ini sampai tuntas. Terlalu banyak alasan, mulai sibuk, males, hingga beribu daftar lainnya. Sampai, tanpa sadar ternyata buku ini sudah tamat saya baca. Giliran mau membuat reviewnya, berbagai alasan pun kembali dibuat. Tapi alhamdulillah, akhirnya catatan sederhana ini selesai di buat.

Surabaya, 3 April 2019.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.