Islam Nusantara dan Ijtihad di era Milenial
Abd. A’la, Ijtihad Islam
Nusantara, Refleksi Pemikiran & Kontekstualisasi Ajaran Islam di Era
Globalisasi & Liberalisasi Informasi, Surabaya: PW LTN NU Jatim &
Muara Progresif, 2018, vi+189 halaman
Terminologi Islam Nusantara sesungguhnya bukan terminologi baru. Ia
telah ada dan menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan umat Islam Indonesia.
Tidak banyak yang memperdebatkan istilah itu sebelum NU mempopulerkannya di
Muktamar Jombang tahun 2015.
Sebuah istilah tidak selalu netral. Ada konteks, kepentingan, dan
perebutan makna dari sebuah istilah. Itu yang tampaknya terjadi pada Islam
Nusantara.
Buku karya Prof. Dr. Abd. A’la ini ikut memperkaya perspektif
tentang Islam Nusantara. Penulis buku ini memotret berbagai macam dinamika dan
ikhtiar kreatif Islam tradisional yang kemudian berkembang menjadi Islam
Nusantara. Perspektif yang ditawarkan dalam buku ini, menurut saya, sungguh
menarik. Dimensi-dimensi yang selama ini jarang terbaca oleh orang luar
dihadirkan secara objektif.
Buku merupakan kompilasi makalah dan karya tulis Abd. A’la. Sebagai
kompilasi, buku ini tentu tidak tersusun secara sistematis. Tidak ada bab di
dalamnya. Hanya judul demi judul distrukturkan begitu saja.
Bagian yang berjudul, “Ijtihad Islam Nusantara: Kontekstualisasi
Ajaran Islam, Membaca Islam Nusantara dan Signifikansi Penguatan Ijtihad”
mengulas tentang bagaimana penting ijtihad dalam pembacaan kontemporer. Pada
bagian awal, Abd. A’la menjelaskan bahwa Islam sesungguhnya merupakan agama
moral. Disebut demikian karena awal dan akhir agama Islam adalah etik-moralitas
(h. 1). Implikasinya, seluruh ajaran Islam dan aktualisasinya dalam kehidupan
seharusnya selalu sejalan dengan moral. Munculnya perilaku beragama yang
mengedepankan kekerasan dan perilaku yang tidak humanis lainnya sesungguhnya
kontradiktif dengan substansi Islam itu sendiri. Menurut Abd. A’la, kelompok
radikal yang akrab dengan kekerasan, mereka itu memahami agama tidak secara
utuh, melainkan secara parsial. Implikasinya, keberagamaan yang tampil bersifat
rigid dan eksklusif. Pemahaman semacam ini mengantarkan seseorang pada
ketidakmampuan untuk menangkap visi substantif dan misi Islam yang holistik.
Dukungan pola pendidikan yang tidak memadai menjadikan pemahaman keberagamaan
yang parsial semakin tumbuh dan berkembang. Namun faktor yang menjadikan
kekuatan pemahaman Islam radikal semakin berkembang pesat adalah adanya
dukungan politik kekuasaan (h. 3-4). Karena itulah diperlukan perhatian serius
terhadap fenomena yang semacam ini.
Dalam kerangka ini, Islam Nusantara menghadapi tantangan yang tidak
ringan. Sebagai organisasi Islam moderat, NU sebagai pengusung Islam Nusantara
harus bekerja keras untuk rekontekstualisasi ijtihad dan strategi. Usaha ini
harus dilakukan secara sistematis, serius, dan terus-menerus. Melalui cara
semacam ini maka diharapkan Islam radikal dapat diminimalisir pertumbuhannya di
Indonesia.
Tulisan dengan judul, “Mengawal Entitas Keislaman Indonesia di Era
Globalisasi: Islam NU sebagai Avant Garde Merespon Liberalisasi
Informasi” menyajikan banyak hal, khususnya air bah informasi yang sekarang ini
dihadapi oleh masyarakat Indonesia. A’la menulis bahwa Indonesia kini telah
mengalami liberalisasi informasi.
“Jejalan informasi membuat masyarakat tidak tahu lagi
apa sebenarnya keinginan mereka. Mereka tidak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Media massa
memutarbalikkan realitas; keinginan dijadikan kebutuhan, dan keperluan dasar
dirubah menjadi sesuatu yang dianggap tersier atau kurang penting lagi” (h.
15).
Implikasi dari liberalisasi
informasi ini adalah tumbuhnya sikap pragmatisme akut. Di sisi lain, muncul
ideologi pemikiran transnasional fundamentalis yang menawarkan posisinya
sebagai tandingan dari ideologi neokapitalis yang diusung oleh globalisasi (h.
16). Realitas semacam ini semestinya disikapi secara arif. Informasi yang
berkembang seharusnya yang merepresentasikan nilai-nilai luhur. Jika terjadi
penyimpangan maka tugas bersama untuk memberikan usaha-usaha kreatif agar
informasi kembali jernih dan menghadirkan nilai-nilai positif.
Artikel dengan judul “ISLAM PRIBUMI, Lokalitas dan Universalitas
Islam dalam Perspektif Nahdlatul Ulama” membahas betapa NU telah melakukan
upaya yang cukup intens dalam kontekstualisasi nilai-nilai Islam secara kreatif
dalam kehidupan konkrit. NU, dengan demikian, berusaha menjadikan Islam sebagai
bagian tidak terpisah dari kehidupan masyarakat. Islam dan budaya mempunyai
interdependensi masing-masing. Tidak ada tumpang tindih antara keduanya.
Interrelasi ini justru semakin memperkaya kehidupan (h. 36). Kemunculan
kelompok revivalis berimplikasi pada terputusnya tradisi dan kekayaan khazanah
intelektual Muslim. Warisan budaya yang ada dimusnahkan—atau minimal
dikeluarkan—dari lingkungan keagamaan Islam (h. 24). Model keberagamaan
kelompok revivalis ini menilai otentifikasi keislaman dari angle simbol
dan legal yang artifisial (h. 44).
Tulisan dengan judul “Jihad dalam Konteks Keindonesiaan Kekinian: Pengentasan Masyarakat
dari Kemiskinan dan Keterbelakangan” memberikan reinterpretasi jihad secara
substansial. Bagi A’la, jihad itu sarat dengan nilai-nilai etika moralitas yang
agung. “Ajaran ini menuntut umat Islam
agar mengerahkan daya secara berkesinambungan untuk menyelesaikan persoalan
kehidupan dalam bingkai dan tujuan pembumian akhlak al-karimah (h. 58).
Sementara artikel dengan judul “Globalisasi dan Pesantren: Dari Pembumian Nilai Luhur dan
Penguatan Karakteristik Kajian Menuju Pengembangan Budaya Islam Nusantara”
mengulas tentang bagaimana globalisasi telah menjadi bagian tidak terpisah dari
kehidupan. Hadirnya globalisasi telah merubah banyak hal dalam kehidupan ini.
Ada sisi positif. Juga ada sisi negatifnya. Aspek yang penting bukan bagaimana
menerima atau menolah, tetapi bagaimana menyikapinya secara arif, kritis, dan
kreatif.
Ada begitu banyak ekses negatif globalisasi. Aspek ini yang penting
untuk disikapi. Salah satunya adalah munculnya mental pragmatisme masyarakat.
Kearifan lokal dan keluhuran nilai-nilai agama memudar. Agama justru dijadikan
objek komersialisasi dan komodifikasi. Pada ujung yang berbeda, muncul
radikalisasi sebagai bentuk resistensi atas globalisasi. Munculnya kelompok
keberagamaan yang disebut Abd. A’la sebagai ahistoris dan anti-sosial ini
alih-alih menyelesaikan masalah, justru membuat masalah semakin rumit. Mereka
memusuhi apa pun yang tidak sesuai dengan perspektif mereka, termasuk budaya
lokal dan bentuk negara.
Pada kondisi yang semacam ini, Abd. A’la melihat bahwa pesantren
memiliki potensi besar untuk menjalankan perannya dalam menghadapi globalisasi.
Pesantren memiliki nilai-nilai yang terbukti telah terejawantahkan dalam
perilaku sehari-hari. Sejarah panjang pesantren di Indonesia yang terus eksis
hingga hari ini adalah buktinya. Beberapa nilai yang dimili oleh
pesantren—antara lain—kesederhanaan, kerendahhatian, keikhlasan,
egalitarianisme, fleksibilitas dan penghormati perbedaan pendapat (h. 86).
Nilai-nilai ini menjadi modal penting untuk diaktualisasikan dalam menghadapi
globalisasi yang semakin kompleks.
Aspek yang penting untuk dilakukan adalah reformulasi dan
rekonstruksi diri. Langkah ini penting ditempuh karena realitas yang ada
menunjukkan bahwa pesantren terlihat gagap menghadapi globalisasi. Alih-alih
memberikan warna, pesantren justru semakin termarginalisasi dalam gegap gempita
arus perubahan yang semakin dahsyat.
Bagian yang bertajuk, “Membangun Peradaban dan Signifikansi Teologi
Transformatif: Peran Umat Islam Indonesia dalam Perspektif Kekinian”
menjelaskan pentingnya peradaban. Peradaban itu akan maju kalau ilmu
pengetahuan maju. Ilmu pengetahuan maju melalui pengembangan epistemologi.
Pengembangan epistemologi dalam bingkai teologi transformatif penting sekali
peranannya dalam mewujudkan keunggulan peradaban.
Peradaban, tegas A’la, akan menunjukkan posisinya yang strategis
dengan ditandai oleh penyebaran dan kuatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dibingkai oleh nilai-nilai keadaban (h. 93). Nilai keadaban ini sangat penting
untuk ditekankan karena bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang sangat
serius. Nyaris semua dimensi kehidupan menghadapi krisis, termasuk etika kerja.
Mentalitas kerja yang kurang bagus dan korupsi yang gawat (h. 96) adalah bukti
bahwa krisis itu bukan sesuatu yang fiktif. Karena itulah maka harus dilakukan
berbagai upaya untuk menyelesaikan krisis secara sistematis, kreatif, dan penuh
tanggung jawab. Jika tidak maka kita akan menjadi bangsa yang periferal atau
bahkan bangsa yang sedang menggali lubang kuburnya sendiri (h. 97).
A’la menawarkan sebagai salah satu solusi adalah pengembangan
teologi transformatif. Teologi yang selama ini berkembang adalah teologi
spekulatif yang hanya menekankan pada aspek keimanan tanpa mengaitkannya dengan
ajaran Islam yang lain (h. 100). Pada titik inilah maka teologi transformatif
penting artinya.
Teologi transformatif yang dirumuskan seharusnya memiliki efek
ganda. Ke dalam, teologi tersebut dapat menumbuhkan keberimanan yang kokoh pada
setiap pengikutnya. Sementara pada saat sama, keberimanan ini dapat menjadi
sumber energi untuk mendorong aktualisasi nilai-nilai dan etos sosial-moral
yang intrinsik (h. 102). Efek ganda ini menjadikan teologi tidak hanya bersifat
spekulatif, tetapi juga mengejawantahkan efek transformatif secara lebih luas.
Artikel dengan judul “Otoritas Kebenaran dalam Teologi Islam: Mengkritisi
Teologi Islam dan Urgensi Pengembangan Teologi Kritis” bisa dianggap sebagai
pelengkap artikel sebelumnya. Pada tulisan ini Abd. A’la menjelaskan bahwa akar
dari munculnya keberagamaan yang “pasif” dan eksklusif adalah teologi (h. 106).
Karena A’la menyarankan agar teologi direkonstruksi dengan mempertimbangkan
terhadap persoalan konkret yang dihadapi umat. A’la menawarkan apa yang
disebutnya sebagai “teologi kritis”. Bagi A’la, teologi kritis perlu
didialogkan karena paradigma yang dianutnya menjanjikan suatu pemahaman agama
yang lebih menyeluruh sehingga diharapkan memberikan nilai-nilai transformatif
dalam keberagamaan umat (h. 116). Sayangnya, buku ini belum mengeksplorasi
lebih jauh bagaimana bangunan teologi kritis yang ditawarkan. Buku ini baru
menegaskan tentang signifikansi teologi kritis.
* * *
Saya mendapatkan buku ini dari Gus Ahmad Karomi. Ketika buku ini
akan terbit, beliau memposting di facebook. Segera saya pesan. Tidak butuh waktu
lama. Buku pun sampai. Sebagaimana biasanya, saya tidak bisa langsung membaca
buku ini sampai tuntas. Terlalu banyak alasan, mulai sibuk, males, hingga
beribu daftar lainnya. Sampai, tanpa sadar ternyata buku ini sudah tamat saya
baca. Giliran mau membuat reviewnya, berbagai alasan pun kembali dibuat. Tapi
alhamdulillah, akhirnya catatan sederhana ini selesai di buat.
Tidak ada komentar: