Tulisan Sebagai Modal
Ngainun Naim
Hari jumat malam yang cukup lelah. Seharian
menjalani aktivitas yang padat merayap. Waktunya kembali bersama keluarga.
Keluarga adalah sumber energi hidup yang sangat besar. Rasanya lelah fisik
terobati saat bertemu istri dan anak-anak.
Malam semakin larut. Seluruh anggota keluarga
telah terlelap. Saya ingin segera tidur, tetapi rasanya ada yang kurang. Ya,
saya belum membaca. Tidak perlu banyak halaman. Cukup beberapa halaman saja
sebelum terlelap.
Saya melangkah ke lemari buku dan mengambil
buku yang ada. Terpilih sebuah buku yang sudah lama terbeli tetapi belum tuntas
dibaca. Rasanya semakin banyak saja buku yang belum terbaca. Jumlah buku yang
terbeli benar-benar tidak seimbang dengan yang sudah terbaca.
Buku berat tentu kurang pas dalam kondisi capek.
Buku ringan atau buku motivasi rasanya lebih pas. Buku semacam ini tidak memerlukan
banyak mengernyitkan dahi tetapi bisa memahami isinya.
Sebuah buku saya ambil. Judulnya Melipat
Batas, Kumpulan Kisah Inspiratif Para Pemenang Beasiswa IELSP di Negeri Paman
Sam. Buku ini cukup unik. Tidak ada nama penulisnya. Di cover tertulis
Keluarga Besar IELSP. Menurut saya, buku ini cukup bagus. Berisi kisah
perjuangan nan heroik para mahasiswa dalam meraih beasiswa ke Amerika Serikat.
Saya ambil bagian yang berjudul "The
Power of Writing" anggitan Bernando J. Sujibto.
Bagian ini saya baca dulu karena judulnya yang
unik, selain karena nama penulisnya cukup saya kenal lewat tulisannya yang
dimuat di berbagai media. Saya telusuri kata per kata dari awal hingga usai.
Tulisan Bernando dimuat mulai halaman 31 sampai 44.
Ada beberapa hal penting yang saya tangkap
dari tulisan tersebut. Pertama, mimpi besar. Bernando lahir di Pulau
Madura. Pulau yang unik dengan budayanya yang luar biasa. Di pulau ini Bernando
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah.
Keluarga Bernando bukan keluarga yang
berlimpah harta. Keluarga sederhana yang menikmati hidup khas desa. Karena itu
bisa dipahami ketika Bernando mengutarakan keinginan untuk kuliah ke
Yogyakarta, jawab ibunya cenderung apatis.
“Ibu tidak punya kemampuan apa-apa lagi untuk
membantu pembiayaanmu, Nak”.
Namun semangat telah tertancap. Tekad telah
terpatri. Resiko dipikir nanti. Saya kira Bernando benar ketika dengan penuh
keyakinan, ia menulis: “...aku bisa memulai segalanya dengan keyakinan dan
perjuangan”.
Terlihat sekali anak muda berdarah Madura ini memiliki
tekad baja. Tekad yang kemudian dibuktikan dengan daya tahannya menghadapi
aneka rintangan hidup yang tidak terperi. Ia telah keluar dari tempurung
lokalitas Madura, mengembara menuju Yogyakarta, dan membangun imajinasi tentang
masa depan yang lebih baik.
Kedua, menemukan lingkungan yang tepat.
Jika ingin sukses, menemukan lingkungan yang kondusif sangat penting artinya.
Lingkungan bisa menjadi daya dorong eksternal yang luar biasa bagi terbangunnya
sebuah pemberdayaan diri.
Lingkungan memang bukan satu-satunya faktor,
tetapi lingkungan adalah salah satu faktor pendorong yang tidak bisa diabaikan.
Menciptakan lingkungan itu sendiri jelas jauh tidak lebih mudah, meskipun
sesungguhnya menciptakan lingkungan jauh lebih penting peranananya dalam
membangun budaya secara lebih luas.
Tekad Bernando kuliah ke Yogyakarta tampaknya
berawal dari mimpinya untuk belajar di kota pelajar dan mengembangkan
potensinya dalam menulis. Bernando merupakan penulis yang berbakat. Ia
bercerita bahwa sejak kecil, membaca dan menulis telah menjadi aktivitas yang
lekat dalam keseharian. Ia juga rajin menulis puisi dan cerita pendek. Kelas 3
MTs saja puisinya sudah dimuat di majalah sastra berkelas, yaitu Horison. Saat
di bangku MTs itu pula, karyanya juga sudah dimuat media lain seperti Majalah
Annida, Kuntum, dan Sahabat Pena.
Ia menulis bahwa semangat menulisnya kian hari
kian menggila. Jika dulu hanya menulis puisi, ia kemudian merambah jenis
tulisan lain, yaitu cerpen dan artikel. Saat di bangku Aliyah, ketika anak-anak
seusianya belum mengetahui dunia menulis, ia telah menembus puluhan media
ternama. Maka wajar jika banyak yang memberikan apresiasi atas capaiannya yang
sedemikian membanggakan.
Sekarang ini literasi begitu marak
didengungkan. Ajakan untuk membaca dan menulis disuarakan. Tetapi tampaknya
masih membutuhkan usaha yang lebih serius untuk mendapatkan hasil yang
menggembirakan. Literasi akan sulit mendapatkan hasil yang maksimal jika
berhenti sebagai gerakan tanpa basis tradisi yang kuat. Ya, literasi bukan
sekadar slogan dan simbol gerakan, tetapi harus membumi menjadi tindakan. Tindakan
yang bertransformasi menjadi tradisi.
Pengalaman hidup Bernando adalah literasi
dalam makna yang sesungguhnya. Rajin membaca, lalu menulis dan mengirimkan
karyanya ke media massa. Perjuangannya sangat penting untuk diapresiasi karena
jarang anak muda seusianya mencapainya. Bernando adalah contoh nyata bagaimana
budaya membaca menjadi pintu gerbang untuk mengantarkan pada tradisi menulis
yang kuat.
“Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku
sudah terbiasa membawa dan membaca buku-buku cerita petualangan yang ada di
perpustakaan SD Inpres. Berlanjut ke pendidikan lebih tinggi di pondok
pesantren, semangat membacaku semakin menggila”, tulisnya.
Ketika ia mengutarakan niatnya untuk
melanjutkan kuliah ke Yogyakarta, sesungguhnya ia sedang menuju sebuah harapan,
yaitu lingkungan yang mendukung kreativitasnya. Meskipun dalam segala
keterbatasan, izin orang tuanya adalah gerbang awal Bernando dalam menapaki
jalan hidup selanjutnya. Pilihannya tepat karena di Yogyakarta inilah ia
mendapatkan lingkungan yang mendukung sepenuhnya pada proses kreatifnya dalam
mengembangkan dunia menulis dan studinya.
Di Yogyakarta, ia menemukan komunitas yang
mendukung proses menulisnya. Nama komunitas itu adalah Kutub yang diasuh oleh
Zainal Arifin Thoha. Kiai muda multitalenta. Sayang, beliau wafat di usia yang
masih sangat muda, 35 tahun.
Bernando menulis bahwa di Komunitas Kutub
inilah ia menemukan semangat belajar menulis yang begitu menggila. Selama dua
tahun—2007 sampai 2009—ia menyebutnya sebagai fase yang “fokus dengan dunia
menulis”. Ratusan karyanya berhasil dimuat di berbagai media massa di
Indonesia. Bernando menulis, “Di Jogja, tantangan hidup benar-benar terasa, dan
aku seperti berperang di sana”.
Ketiga, tulisan adalah modal yang
mengantarkan ke jenjang sukses berikutnya. Bisa dikatakan kuliahnya tidak
terlalu lancar karena faktor biaya. Tetapi ia memilih membangun modal yang
tepat, yaitu memperkuat bahasa Inggris dan tradisi menulis. Tulisan terbukti
tidak hanya menguntungkan secara materi dan memberi nama baik, tetapi membuka
peluang wisata juga. “...tulisan-tulisanku telah memanggilku ke mana-mana: Sumatera
Barat, Jakarta, Semarang, Purwokerto, Australia, bahkan Amerika Serikat”.
Ya, Bernando—dalam buku yang saya baca ini—bercerita
bagaimana perjuangannya lolos mendapatkan beasiswa IELSP ke Amerika Serikat. Salah
satu modalnya adalah karya tulisnya yang berlimpah, tentu selain bahasa Inggris
yang baik. “...karya tulis dapat diandalkan dalam sebuah seleksi ataupun
kompetisi beasiswa seperti IELSP”, tulisnya.
Kisah Bernando tampaknya penting menjadi
catatan buat generasi muda—sebenarnya generasi tua juga sih—bahwa tulisan
adalah modal penting untuk mewujudkan mimpi tertentu. Tulisan yang kita
hasilkan menjadi modal yang bisa menjadi nilai lebih. Saat orang lain memiliki
modal kepandaian, lobi, atau uang maka pada saat itulah tulisan adalah nilai
lebih yang tidak bisa diabaikan.
Tidak ada komentar: