Dakwah Melalui Tulisan
Ngainun Naim
Zaman memang telah berubah. Anda dan saya
benar-benar dikepung teks dan hanya keandalan literasi yang dapat membuat Anda
dan saya menjadi penyintas (survivor) pada zaman tidak menentu ini—Bambang Trim (2018: 16).
Media sosial telah menjadi bagian
yang sangat erat dari kehidupan manusia sekarang ini. Sebagian besar manusia
sekarang ini memiliki akun di media sosial tertentu dan menghabiskan beberapa
waktu setiap harinya di media tersebut. Interaksi sosial di dunia maya menjadi
lebih dominan dibandingkan dengan interaksi di dunia yang sesungguhnya.
Apa yang kita unggah akan dibaca
oleh orang dalam jumlah yang tidak terbatas. Jika kita menebarkan kebajikan
maka kebajikan itu akan berlipat-lipat kali saat dibaca, memberikan inspirasi,
dan menjadi energi untuk transformasi diri. Sebaliknya, jika kita menebarkan
keburukan maka keburukan itu juga akan berlipat saat orang mendapatkan
inspirasi keburukan dari apa yang kita unggah.
Harus jujur dikaui bahwa sekarang
ini informasi seperti air bah. Datang dengan begitu derasnya tanpa bisa
dibendung. Begitu derasnya informasi yang datang, sampai masyarakat sekarang
ini bingung terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Masyarakat sekarang ini
sulit membedakan lagi antara keinginan dan kebutuhan. Kondisi ini diperparah
oleh apa yang disebut konstruksi sosial. Realitas yang tampil di media sosial
tidak selalu mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang media
sosial memutarbalikkan realitas. Implikasinya, kebenaran yang diyakini bukan
kebenaran yang sesungguhnya, melainkan kebenaran yang dikonstruksi.
Media sosial itu memiliki kekuatan
yang sangat dahsyat. Ia bisa membentuk cara berpikir seseorang. Bahkan orang
yang telah cukup matang dalam kemampuan berpikirnya pun bisa dipengaruhi oleh
media. Ia bisa berubah dalam pikiran, pemahaman, dan tindakannya karena
kekuatan tulisan di media. Jika orang yang telah matang berpikir saja bisa berubah
maka perubahan lebih mungkin terjadi pada anak-anak dan pemuda. Bahkan, “...ia
bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orang tua mendampingi
anak-anaknya setiap hari” (Muhammad Fauzil Adhim, 2006: 209).
Menurut Abd. A’la (2018: 16), fenomena
semacam ini disebut sebagai liberalisasi informasi. Ketika liberalisasi
informasi semakin berkembang maka implikasi negatif yang dirasakan adalah tumbuhnya
sikap pragmatisme akut. Kehidupan keagamaan pun ditandai oleh fenomena semacam
ini. Orang tidak lagi belajar agama memakai pola lama yang konvensional, tetapi
belajar melalui media sosial yang tidak selalu terjamin validitasnya. Liberalisasi
informasi juga memunculkan ideologi pemikiran transnasional fundamentalis.
Ideologi ini menawarkan diri sebagai tandingan dari ideologi neokapitalis yang
diusung oleh globalisasi.
Realitas semacam ini semestinya
disikapi secara arif. Informasi yang berkembang seharusnya yang
merepresentasikan nilai-nilai luhur. Jika terjadi penyimpangan maka tugas
bersama untuk memberikan usaha-usaha kreatif agar informasi kembali jernih dan
menghadirkan nilai-nilai positif.
Salah satu langkah yang penting untuk
dilakukan adalah membangun tradisi menulis. Tradisi menulis merupakan modal
penting untuk menghadapi era disrupsi yang sedemikian dinamis. Tulisan yang
kita buat akan membawa implikasi berlipat, baik atau buruk. Justru karena
itulah membuat tulisan yang baik menjadi kebutuhan yang sangat mendasar.
Setiap orang
pada dasarnya memiliki potensi diri. Potensi ini akan tetap hanya sebagai
potensi jika tidak diberdayakan. Tetapi potensi ini akan tumbuh dan berkembang
jika digali, dilatih, dan dibina secara terus-menerus. Termasuk potensi ini
adalah potensi menulis.
Komunikasi
tertulis masih menjadi aspek yang kurang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Budaya berbicara lebih dominan dibandingkan dengaan budaya membaca dan menulis.
Padahal, budaya menulis itu memiliki
pengaruh yang lebih luas, mendalam, dan lama. Dunia dakwah kita juga lebih
didominasi oleh budaya lisan daripada budaya tulis.
Bukan berarti
budaya lisan tidak penting. Sama sekali tidak. Budaya lisan telah ada, hadir,
dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan kita sehari-hari. Tradisi
menulis merupakan upaya membangun kekayaan tradisi yang ada. Tradisi lisan
jelas akan tetap menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan, sementara
tradisi tulis memperkaya tradisi lisan yang telah mapan.
Dakwah dengan
tulisan memiliki banyak kelebihan. Salah satunya bisa membuat penulisnya menjadi kaya. Kaya dalam konteks menulis
sesungguhnya memiliki cakupan yang luas. Pertama, kaya secara materi.
Penulis yang memanfaatkan dakwah lewat tulisan memiliki peluang untuk
mendapatkan keuntungan materi yang lebih terbuka. Ada banyak peluang materi
yang bisa diperoleh. Tinggal bagaimana kreativitas, pengembangan jaringan, dan
pembacaan secara kreatif terhadap pangsa pasar.
Kreativitas
sangat dibutuhkan di era serba digital sekarang ini. Berpikir secara
konvensional semata akan kehilangan konteks dan relevansi dengan kebutuhan.
Karena itu diperlukan berbagai upaya untuk menghadirkan hal-hal baru yang
menarik bagi publik yang sesungguhnya sekarang ini haus akan bacaan agama yang
bermutu di media sosial. Tidak sedikit generasi sekarang ini yang mengonsumsi
bacaan agama yang tidak mencerahkan.
Media itu
tidak netral. Ada muatan nilai dan kepentingan yang diusung dari setiap
tampilan media. Kemampuan media untuk menciptakan realitas dimulai dari
kekuasaannya untuk menentukan jenis lansiran yang akan disebar kepada
masyarakat. Proses penentuan berita dikenal dengan istilah framing, yaitu
sebuah proses penyeleksian dan penyorotan
khusus terhadap aspek-aspek realita oleh media. Proses framing fokus
pada strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar berita
tersebut lebih bermakna, lebih berarti atau lebih diingat, dan untuk menggiring
interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. (Alex Sobur, 2001: 163). Dalam
konteks ini, tulisan dakwah yang mencerahkan sangat penting artinya untuk
dihadirkan sebagai cara menghadirkan perspektif yang mencerahkan.
Kedua, kekayaan
pengetahuan. Menekuni dakwah tulisan sesungguhnya secara langsung atau tidak
langsung membuat seseorang akan menjadi semakin pandai. Saat membuat tulisan,
seseorang harus membaca berbagai referensi pendukung. Ada sebuah pendapat yang
penting untuk direfleksikan bersama, yaitu penulis itu pasti pembaca yang baik.
Tidak mungkin seseorang bisa menghasilkan tulisan yang baik jika tidak banyak
membaca karena tidak ada yang bisa direkonstruksi dari pemikirannya untuk
menjadi tulisan. Namun tidak semua pembaca yang tekun bisa menulis sebab
menulis sesungguhnya merupakan aktivitas yang tidak terbentuk secara mendadak.
Menulis membutuhkan proses yang panjang, komitmen yang kuat, dan kegigihan
untuk menjalani proses tanpa pernah berhenti.
Ketiga, kekayaan
teman. Sebuah tulisan akan memiliki pembaca sendiri. Semakin luas ketersebaran
tulisan maka semakin banyak yang membacanya. Sangat mungkin bagi seorang
penulis, hasil pemikirannya yang tertuang dalam tulisan itu biasa saja. Tetapi
tidak bagi orang lain. Inspirasi yang diperoleh dari tulisan seringkali tidak
terduga. Karena itu, langsung atau tidak, seorang penulis sesungguhnya sedang
membangun medan pertemanan secara luas
dengan berbagai kalangan.
Keempat, kaya diri.
Orang yang menulis akan memperkaya bahan bacaan, pertemanan, perenungan, dan
berbagai hal dalam hidupnya. Upaya menulis secara terus-menerus bisa membuat
seorang penulis semakin matang kejiawannya. Berbagai tantangan, interaksi
bacaan, dan hal-hal lain yang memperkaya jiwa tumbuh dan menyatu dalam diri.
Sebagai
penutup tulisan ini, saya kutipkan pernyataan Eko Andarmoko (2017: 112). Bahasa
menunjukkan adab seseorang. Bahwa cara berbahasa seseorang mencerminkan
kepribadiannya. Adab rada dekat dengan akal, dengan kemampuan mengelola nalar”.
Pendapat ini dapat kita maknai secara kontekstual berkaitan dengan bahasa di
media sosial yang sekarang ini seringkali tidak mempertimbangkan aspek adab.
Dakwah tulisan adalah sarana membangun adab.
Tulungagung, 8 April 2019.
Daftar Bacaan
Alex Sobur, Analisis Teks Media:
Suatu Pengantar untuk Analisis Wcana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001.
Bambang Trim, Menulis Saja, Jakarta:
Institut Penulis Indonesia, 2018.
Eko Andarmoko, Remah-Remah
Bahasa, Perbincangan dari Luar Pagar, Yogyakarta: Bentang, 2017
Muhammad Fauzil Adhim, Spiritual
Parenting, Bandung: Mizania, 2006.
Tidak ada komentar: