Dakwah Melalui Tulisan

April 24, 2019

Ngainun Naim
 
Berbagi buku dengan Dr. K.H. Hasan Basri Tanjung
Zaman memang telah berubah. Anda dan saya benar-benar dikepung teks dan hanya keandalan literasi yang dapat membuat Anda dan saya menjadi penyintas (survivor) pada zaman tidak menentu ini—Bambang Trim (2018: 16).

Media sosial telah menjadi bagian yang sangat erat dari kehidupan manusia sekarang ini. Sebagian besar manusia sekarang ini memiliki akun di media sosial tertentu dan menghabiskan beberapa waktu setiap harinya di media tersebut. Interaksi sosial di dunia maya menjadi lebih dominan dibandingkan dengan interaksi di dunia yang sesungguhnya.
Apa yang kita unggah akan dibaca oleh orang dalam jumlah yang tidak terbatas. Jika kita menebarkan kebajikan maka kebajikan itu akan berlipat-lipat kali saat dibaca, memberikan inspirasi, dan menjadi energi untuk transformasi diri. Sebaliknya, jika kita menebarkan keburukan maka keburukan itu juga akan berlipat saat orang mendapatkan inspirasi keburukan dari apa yang kita unggah.
Harus jujur dikaui bahwa sekarang ini informasi seperti air bah. Datang dengan begitu derasnya tanpa bisa dibendung. Begitu derasnya informasi yang datang, sampai masyarakat sekarang ini bingung terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Masyarakat sekarang ini sulit membedakan lagi antara keinginan dan kebutuhan. Kondisi ini diperparah oleh apa yang disebut konstruksi sosial. Realitas yang tampil di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Bahkan tidak jarang media sosial memutarbalikkan realitas. Implikasinya, kebenaran yang diyakini bukan kebenaran yang sesungguhnya, melainkan kebenaran yang dikonstruksi.
Media sosial itu memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Ia bisa membentuk cara berpikir seseorang. Bahkan orang yang telah cukup matang dalam kemampuan berpikirnya pun bisa dipengaruhi oleh media. Ia bisa berubah dalam pikiran, pemahaman, dan tindakannya karena kekuatan tulisan di media. Jika orang yang telah matang berpikir saja bisa berubah maka perubahan lebih mungkin terjadi pada anak-anak dan pemuda. Bahkan, “...ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orang tua mendampingi anak-anaknya setiap hari” (Muhammad Fauzil Adhim, 2006: 209).
Menurut Abd. A’la (2018: 16), fenomena semacam ini disebut sebagai liberalisasi informasi. Ketika liberalisasi informasi semakin berkembang maka implikasi negatif yang dirasakan adalah tumbuhnya sikap pragmatisme akut. Kehidupan keagamaan pun ditandai oleh fenomena semacam ini. Orang tidak lagi belajar agama memakai pola lama yang konvensional, tetapi belajar melalui media sosial yang tidak selalu terjamin validitasnya. Liberalisasi informasi juga memunculkan ideologi pemikiran transnasional fundamentalis. Ideologi ini menawarkan diri sebagai tandingan dari ideologi neokapitalis yang diusung oleh globalisasi.
Realitas semacam ini semestinya disikapi secara arif. Informasi yang berkembang seharusnya yang merepresentasikan nilai-nilai luhur. Jika terjadi penyimpangan maka tugas bersama untuk memberikan usaha-usaha kreatif agar informasi kembali jernih dan menghadirkan nilai-nilai positif.
Salah satu langkah yang penting untuk dilakukan adalah membangun tradisi menulis. Tradisi menulis merupakan modal penting untuk menghadapi era disrupsi yang sedemikian dinamis. Tulisan yang kita buat akan membawa implikasi berlipat, baik atau buruk. Justru karena itulah membuat tulisan yang baik menjadi kebutuhan yang sangat mendasar.
Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi diri. Potensi ini akan tetap hanya sebagai potensi jika tidak diberdayakan. Tetapi potensi ini akan tumbuh dan berkembang jika digali, dilatih, dan dibina secara terus-menerus. Termasuk potensi ini adalah potensi menulis.
Komunikasi tertulis masih menjadi aspek yang kurang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Budaya berbicara lebih dominan dibandingkan dengaan budaya membaca dan menulis. Padahal, budaya menulis  itu memiliki pengaruh yang lebih luas, mendalam, dan lama. Dunia dakwah kita juga lebih didominasi oleh budaya lisan daripada budaya tulis.
Bukan berarti budaya lisan tidak penting. Sama sekali tidak. Budaya lisan telah ada, hadir, dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan kita sehari-hari. Tradisi menulis merupakan upaya membangun kekayaan tradisi yang ada. Tradisi lisan jelas akan tetap menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan, sementara tradisi tulis memperkaya tradisi lisan yang telah mapan.
Dakwah dengan tulisan memiliki banyak kelebihan. Salah satunya bisa membuat penulisnya menjadi kaya. Kaya dalam konteks menulis sesungguhnya memiliki cakupan yang luas. Pertama, kaya secara materi. Penulis yang memanfaatkan dakwah lewat tulisan memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan materi yang lebih terbuka. Ada banyak peluang materi yang bisa diperoleh. Tinggal bagaimana kreativitas, pengembangan jaringan, dan pembacaan secara kreatif terhadap pangsa pasar.
Kreativitas sangat dibutuhkan di era serba digital sekarang ini. Berpikir secara konvensional semata akan kehilangan konteks dan relevansi dengan kebutuhan. Karena itu diperlukan berbagai upaya untuk menghadirkan hal-hal baru yang menarik bagi publik yang sesungguhnya sekarang ini haus akan bacaan agama yang bermutu di media sosial. Tidak sedikit generasi sekarang ini yang mengonsumsi bacaan agama yang tidak mencerahkan.
Media itu tidak netral. Ada muatan nilai dan kepentingan yang diusung dari setiap tampilan media. Kemampuan media untuk menciptakan realitas dimulai dari kekuasaannya untuk menentukan jenis lansiran yang akan disebar kepada masyarakat. Proses penentuan berita dikenal dengan istilah framing, yaitu sebuah proses penyeleksian dan penyorotan  khusus terhadap aspek-aspek realita oleh media. Proses framing fokus pada strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar berita tersebut lebih bermakna, lebih berarti atau lebih diingat, dan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. (Alex Sobur, 2001: 163). Dalam konteks ini, tulisan dakwah yang mencerahkan sangat penting artinya untuk dihadirkan sebagai cara menghadirkan perspektif yang mencerahkan.
Kedua, kekayaan pengetahuan. Menekuni dakwah tulisan sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung membuat seseorang akan menjadi semakin pandai. Saat membuat tulisan, seseorang harus membaca berbagai referensi pendukung. Ada sebuah pendapat yang penting untuk direfleksikan bersama, yaitu penulis itu pasti pembaca yang baik. Tidak mungkin seseorang bisa menghasilkan tulisan yang baik jika tidak banyak membaca karena tidak ada yang bisa direkonstruksi dari pemikirannya untuk menjadi tulisan. Namun tidak semua pembaca yang tekun bisa menulis sebab menulis sesungguhnya merupakan aktivitas yang tidak terbentuk secara mendadak. Menulis membutuhkan proses yang panjang, komitmen yang kuat, dan kegigihan untuk menjalani proses tanpa pernah berhenti.
Ketiga, kekayaan teman. Sebuah tulisan akan memiliki pembaca sendiri. Semakin luas ketersebaran tulisan maka semakin banyak yang membacanya. Sangat mungkin bagi seorang penulis, hasil pemikirannya yang tertuang dalam tulisan itu biasa saja. Tetapi tidak bagi orang lain. Inspirasi yang diperoleh dari tulisan seringkali tidak terduga. Karena itu, langsung atau tidak, seorang penulis sesungguhnya sedang membangun medan pertemanan secara luas  dengan berbagai kalangan.
Keempat, kaya diri. Orang yang menulis akan memperkaya bahan bacaan, pertemanan, perenungan, dan berbagai hal dalam hidupnya. Upaya menulis secara terus-menerus bisa membuat seorang penulis semakin matang kejiawannya. Berbagai tantangan, interaksi bacaan, dan hal-hal lain yang memperkaya jiwa tumbuh dan menyatu dalam diri.
Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan pernyataan Eko Andarmoko (2017: 112). Bahasa menunjukkan adab seseorang. Bahwa cara berbahasa seseorang mencerminkan kepribadiannya. Adab rada dekat dengan akal, dengan kemampuan mengelola nalar”. Pendapat ini dapat kita maknai secara kontekstual berkaitan dengan bahasa di media sosial yang sekarang ini seringkali tidak mempertimbangkan aspek adab. Dakwah tulisan adalah sarana membangun adab.

Tulungagung, 8 April 2019.

Daftar Bacaan

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wcana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Bambang Trim, Menulis Saja, Jakarta: Institut Penulis Indonesia, 2018.
Eko Andarmoko, Remah-Remah Bahasa, Perbincangan dari Luar Pagar, Yogyakarta: Bentang, 2017
Muhammad Fauzil Adhim, Spiritual Parenting, Bandung: Mizania, 2006.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.