Menulis Bukan Sekadar Teori, Tetapi Juga Praktik
Minat menulis belakangan
menunjukkan kecenderungan meningkat. Orang-orang dari berbagai profesi berbondong-bondong
belajar menulis dan menerbitkan karya. Fenomena ini tentu saja menggembirakan
karena akan memiliki implikasi yang positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat secara luas. Masyarakat yang maju ditandai oleh—salah satunya—tumbuh
suburnya budaya menulis di kalangan masyarakat.
Peningkatan semangat menulis
ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang saling berkait-kelindan.
Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi adalah: pertama, media sosial. Era internet ditandai oleh perkembangan yang
sangat pesat dalam teknologi informasi. Meminjam terminologi Rhenald Kasali,
era ini disebut sebagai era disrupsi. Perubahan berlangsung dengan sedemikian
cepat.
Era ini menantang sekaligus
mengancam. Menantang karena setiap orang ditantang untuk melakukan berbagai
upaya agar bisa eksis dalam menghadapi arus perubahan yang ada. Mengancam
ketika orang tidak memahami dan mengikuti arus perubahan ini secara konstruktif
maka ia akan tergilas. Hal ini disebabkan karena kompetisi berlangsung dengan
sedemikian kompetitif (Rhenald Kasali, 2017).
Faktor yang mempercepat
perubahan adalah media sosial. Media sosial ini—misalnya facebook, blog,
instagram—menghubungkan orang dari berbagai penjuru dunia untuk berbagai
kepentingan. Informasi apa pun begitu cepat tersebar di media sosial. Karena
itu, sesungguhnya media sosial memiliki konteks fungsi yang efektif dalam
membangun budaya menulis.
Media sosial bisa dimanfaatkan
sebagai media untuk menampung dan menyosialisasikan tulisan. Tulisan yang sudah
diunggah dapat menjadi media untuk melatih menulis. Tidak sedikit orang yang
akhirnya menjadi penulis terkenal karena terbiasa menulis di media sosial.
Raditya Dika adalah contoh
orang yang sukses menjadi penulis karena memanfaatkan blog untuk menyebarkan
tulisan-tulisannya. Bukunya yang sangat fenomenal, Kambing Jantan, awalnya diunggah ke blog. Seiring perjalanan waktu,
kumpulan catatan di blog itu kemudian bertransformasi menjadi buku, komik, dan
bahkan film. Raditya Dika dan Kambing
Jantan adalah contoh bagaimana blog sebagai media sosial menjadi pintu
untuk mengembangkan budaya menulis.
Ada banyak lagi penulis yang
sukses karena mengunggah tulisannya di blog, facebook, instagram, dan beberapa
media sosial lainnya. Bagi Anda sekalian yang ingin menjadi penulis sukses,
media sosial adalah tempat yang tepat untuk mengasah kemampuan. Penulis sukses
adalah penulis yang berhasil mengalahkan rasa malu dan minder. Karena itu,
unggah saja tulisan Anda secara konsisten, nanti Anda akan menemukan manfaat
yang tidak terduga.
Kedua, munculnya fenomena penerbit
indie. Jika dulu menerbitkan buku di penerbit mayor membutuhkan proses dan
tahapan yang cukup rumit dan panjang. Naskah yang bisa terbit adalah naskah
yang memenuhi kriteria tertentu. Tidak semua naskah yang masuk bisa terbit.
Penolakan demi penolakan sering harus dialami oleh para penulis pemula.
Implikasinya, mereka menjadi patah hati dan merasa tidak memiliki masa depan di
dunia menulis.
Era
disrupsi yang ditandai dengan perubahan secara cepat di berbagai bidang
kehidupan berdampak juga terhadap dunia menulis. Penerbitan buku kini tidak
harus melalu jalur penerbit mayor. Sekarang ini berkembang apa yang disebut
sebagai penerbit indie.
Penerbit
indie bisa dipilih oleh penulis pemula maupun penulis yang sudah senior. Ada
beberapa kelebihan penerbit indie: (1) secara finansial, penulis buku mendapatkan keuntungan royalti
penuh karena tidak ada profit sharing dengan penerbit atau distributor;
(2) secara eksistensial; penulis, khususnya pemula, bisa dengan cepat
membranding dirinya dengan karyanya tanpa harus menunggu lama proses seleksi
naskah sebagaimana penerbit mayor; (3) monumental; setidaknya bagi orang yang
punya impian jadi penulis dan sulit menembus penerbit mayor, bisa mengabadikan
buah pikirnya sesuai dengan kehendak hatinya melalui penerbit indie.
Meskipun demikian, penerbit indie juga memiliki
beberapa tantangan yang harus dipertimbangkan bagi mereka yang memilih jalur
ini. (1) penulis harus merogoh kocek pribadi (nominalnya tergantung jumlah
cetaknya). (2) Kalau berorientasi profit atau minimal balik modal maka penulis
harus menjadi marketing yang giat
atas bukunya sendiri. (3) Tidak sedikit juga orang mencemooh karena beranggapan
bahwa buku yang diterbitkan oleh penerbit indie kurang berkualitas. Dan (4)
harus jeli memilih penerbit indie yang tidak asal-asalan apalagi abal-abal.
Ketiga, gerakan menulis secara
masif. Di kalangan guru, ada gerakan Sagu
Sabu, Satu Guru Satu Buku. Gerakan ini memiliki dampak sangat luar biasa.
Banyak guru yang akhirnya berhasil menerbitkan buku. Menulis dan menerbitkan
buku menjadi fenomena yang semakin biasa. Semakin hari semakin banyak guru yang
berpartisipasi dalam aktivitas menulis dan kemudian menerbitkan menjadi buku.
Profesi
lain juga banyak yang memiliki spirit yang sejenis. Mereka membangun slogan dan
berusaha keras membantu anggotanya dalam menerbitkan karya. Ada kalangan
ibu-ibu, manajer, dosen, mahasiswa, dan berbagai profesi yang lainnya.
Keempat,
pelatihan.
Semakin meningkatnya minat menulis diikuti dengan semakin seringnya diadakan
pelatihan menulis. Ada pelatihan untuk profesi tertentu, misalnya guru atau
dosen. Ada juga pelatihan untuk masyarakat umum.
Ada juga pelatihan untuk
penulisan secara spesifik. Misalnya pelatihan menulis artikel di jurnal
terakreditasi, pelatihan menulis buku ajar, pelatihan menulis cerpen, dan
sejenisnya. Namun ada juga menulis secara umum saja.
Minat mengikuti pelatihan
ternyata cukup lumayan, meskipun tidak semua yang menjadi peserta pelatihan
pada akhirnya bisa menjadi penulis. Menulis itu membutuhkan proses dan
ketekunan. Tidak ada jalan instan. Hanya mereka yang bertahan menjalani proses
menulis saja yang akhirnya berhasil menjadi penulis.
Saya sering mencermati
buku-buku yang terbit, baik oleh penerbit mayor maupun penerbit indie. Salah
satu aspek yang saya perhatikan adalah penulisnya. Kesimpulan sementara saya,
sebagian besar penulis itu tidak memiliki latar belakang pendidikan yang
berkaitan erat dengan teori-teori menulis. Para penulis justru berasal dari
latar belakang yang tidak berkaitan secara langsung dengan teori menulis.
Konteks yang sama sebenarnya
bisa kita gunakan untuk menganalisis bidang-bidang lainnya. Bidang dakwah, misalnya.
Para mubaligh terkenal ternyata sebagian besar bukan lulusan fakultas dakwah.
Mereka justru berasal dari bidang keilmuan lain. Banyak yang tidak menempuh
pendidikan tinggi. Beberapa di antaranya justru berasal dari bidang keilmuan
yang “jauh” dari dunia dakwah. Mereka menjadi penceramah handal karena praktik
ceramah yang tanpa henti.
Praktik dan praktik menjadi
kunci penting agar seseorang sukses menjadi seorang penulis. Mustahil seseorang
bisa menjadi penulis unggul jika tidak pernah praktik menulis. Praktik menulis
sesungguhnya ajang pembelajaran yang sesungguhnya. Tidak ada penulis sukses
yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kesalahan sesungguhnya media untuk
belajar memperbaiki tulisan demi tulisan yang dihasilkan.
Berkaitan dengan praktik,
penting merenungkan pendapat penulis senior St. Kartono (2011). Menurut St.
Kartono, impian hidup adalah energi yang menggerakkan seseorang untuk terus
praktik menulis. Jika seseorang tidak memiliki impian hidup maka kecil
kemungkinan akan menghasilkan tulisan.
Proses panjang praktik menulis
membuat seseorang bisa menemukan “gaya” menulisnya sendiri. Tulisan yang
dihasilkan akan terasa khas. Gaya ini ditemukan seiring perjalanan proses
kepenulisan dan durasi waktu yang tidak singkat.
Aspek lain yang ditekankan
oleh St. Kartono adalah tentang lawan dari penulis. Menurut wartawan senior
ini, seorang penulis itu bukan bertanding melawan orang lain, melainkan
berlomba dengan dirinya sendiri. Seorang penulis yang sukses adalah penulis
yang terus praktik menulis. Godaan yang ada mampu ditepisnya. Godaan itu berupa
ketidakmampuan menyisihkan saldo waktu, mudah putus asa, dan—yang justru
menjadi dasar—membaca. Jika godaan ini bisa diatasi maka peluang menjadi
penulis yang sukses terbuka lebar.
Tulungagung, 27 Juni 2019
Bahan
Bacaan
Rhenald Kasali, Disrupstion, Jakarta: Gramedia, 2017.
Raditya Dika, Kambing Jantan, Jakarta: Gagas Media,
2005.
St. Kartono, Menulis Tanpa Rasa Takut, Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
bapak panutan memang:)
BalasHapusTerima kasih Mbak. Hanya belajar menyalurkan hobi saja.
Hapussetuju, menaklukan ribuan org belum tentu disebut sebagai pemenang, tapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yg disebut penakluk gemilang
BalasHapusTerima kasih banyak Omjay atas masukannya.
Hapus