Menulis Bukan Sekadar Teori, Tetapi Juga Praktik

Juni 28, 2019


Minat menulis belakangan menunjukkan kecenderungan meningkat. Orang-orang dari berbagai profesi berbondong-bondong belajar menulis dan menerbitkan karya. Fenomena ini tentu saja menggembirakan karena akan memiliki implikasi yang positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat yang maju ditandai oleh—salah satunya—tumbuh suburnya budaya menulis di kalangan masyarakat.
Peningkatan semangat menulis ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada berbagai faktor yang saling berkait-kelindan. Beberapa faktor yang dapat diidentifikasi adalah: pertama, media sosial. Era internet ditandai oleh perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi informasi. Meminjam terminologi Rhenald Kasali, era ini disebut sebagai era disrupsi. Perubahan berlangsung dengan sedemikian cepat.
Era ini menantang sekaligus mengancam. Menantang karena setiap orang ditantang untuk melakukan berbagai upaya agar bisa eksis dalam menghadapi arus perubahan yang ada. Mengancam ketika orang tidak memahami dan mengikuti arus perubahan ini secara konstruktif maka ia akan tergilas. Hal ini disebabkan karena kompetisi berlangsung dengan sedemikian kompetitif (Rhenald Kasali, 2017).
Faktor yang mempercepat perubahan adalah media sosial. Media sosial ini—misalnya facebook, blog, instagram—menghubungkan orang dari berbagai penjuru dunia untuk berbagai kepentingan. Informasi apa pun begitu cepat tersebar di media sosial. Karena itu, sesungguhnya media sosial memiliki konteks fungsi yang efektif dalam membangun budaya menulis.
Media sosial bisa dimanfaatkan sebagai media untuk menampung dan menyosialisasikan tulisan. Tulisan yang sudah diunggah dapat menjadi media untuk melatih menulis. Tidak sedikit orang yang akhirnya menjadi penulis terkenal karena terbiasa menulis di media sosial.
Raditya Dika adalah contoh orang yang sukses menjadi penulis karena memanfaatkan blog untuk menyebarkan tulisan-tulisannya. Bukunya yang sangat fenomenal, Kambing Jantan, awalnya diunggah ke blog. Seiring perjalanan waktu, kumpulan catatan di blog itu kemudian bertransformasi menjadi buku, komik, dan bahkan film. Raditya Dika dan Kambing Jantan adalah contoh bagaimana blog sebagai media sosial menjadi pintu untuk mengembangkan budaya menulis.
Ada banyak lagi penulis yang sukses karena mengunggah tulisannya di blog, facebook, instagram, dan beberapa media sosial lainnya. Bagi Anda sekalian yang ingin menjadi penulis sukses, media sosial adalah tempat yang tepat untuk mengasah kemampuan. Penulis sukses adalah penulis yang berhasil mengalahkan rasa malu dan minder. Karena itu, unggah saja tulisan Anda secara konsisten, nanti Anda akan menemukan manfaat yang tidak terduga.
Kedua, munculnya fenomena penerbit indie. Jika dulu menerbitkan buku di penerbit mayor membutuhkan proses dan tahapan yang cukup rumit dan panjang. Naskah yang bisa terbit adalah naskah yang memenuhi kriteria tertentu. Tidak semua naskah yang masuk bisa terbit. Penolakan demi penolakan sering harus dialami oleh para penulis pemula. Implikasinya, mereka menjadi patah hati dan merasa tidak memiliki masa depan di dunia menulis.
Era disrupsi yang ditandai dengan perubahan secara cepat di berbagai bidang kehidupan berdampak juga terhadap dunia menulis. Penerbitan buku kini tidak harus melalu jalur penerbit mayor. Sekarang ini berkembang apa yang disebut sebagai penerbit indie.
Penerbit indie bisa dipilih oleh penulis pemula maupun penulis yang sudah senior. Ada beberapa kelebihan penerbit indie: (1) secara finansial, penulis buku mendapatkan keuntungan royalti penuh karena tidak ada profit sharing dengan penerbit atau distributor; (2) secara eksistensial; penulis, khususnya pemula, bisa dengan cepat membranding dirinya dengan karyanya tanpa harus menunggu lama proses seleksi naskah sebagaimana penerbit mayor; (3) monumental; setidaknya bagi orang yang punya impian jadi penulis dan sulit menembus penerbit mayor, bisa mengabadikan buah pikirnya sesuai dengan kehendak hatinya melalui penerbit indie.
Meskipun demikian, penerbit indie juga memiliki beberapa tantangan yang harus dipertimbangkan bagi mereka yang memilih jalur ini. (1) penulis harus merogoh kocek pribadi (nominalnya tergantung jumlah cetaknya). (2) Kalau berorientasi profit atau minimal balik modal maka penulis harus menjadi marketing yang giat atas bukunya sendiri. (3) Tidak sedikit juga orang mencemooh karena beranggapan bahwa buku yang diterbitkan oleh penerbit indie kurang berkualitas. Dan (4) harus jeli memilih penerbit indie yang tidak asal-asalan apalagi abal-abal.
Ketiga, gerakan menulis secara masif. Di kalangan guru, ada gerakan Sagu Sabu, Satu Guru Satu Buku. Gerakan ini memiliki dampak sangat luar biasa. Banyak guru yang akhirnya berhasil menerbitkan buku. Menulis dan menerbitkan buku menjadi fenomena yang semakin biasa. Semakin hari semakin banyak guru yang berpartisipasi dalam aktivitas menulis dan kemudian menerbitkan menjadi buku.
Profesi lain juga banyak yang memiliki spirit yang sejenis. Mereka membangun slogan dan berusaha keras membantu anggotanya dalam menerbitkan karya. Ada kalangan ibu-ibu, manajer, dosen, mahasiswa, dan berbagai profesi yang lainnya.
Keempat, pelatihan. Semakin meningkatnya minat menulis diikuti dengan semakin seringnya diadakan pelatihan menulis. Ada pelatihan untuk profesi tertentu, misalnya guru atau dosen. Ada juga pelatihan untuk masyarakat umum.
Ada juga pelatihan untuk penulisan secara spesifik. Misalnya pelatihan menulis artikel di jurnal terakreditasi, pelatihan menulis buku ajar, pelatihan menulis cerpen, dan sejenisnya. Namun ada juga menulis secara umum saja.
Minat mengikuti pelatihan ternyata cukup lumayan, meskipun tidak semua yang menjadi peserta pelatihan pada akhirnya bisa menjadi penulis. Menulis itu membutuhkan proses dan ketekunan. Tidak ada jalan instan. Hanya mereka yang bertahan menjalani proses menulis saja yang akhirnya berhasil menjadi penulis.
Saya sering mencermati buku-buku yang terbit, baik oleh penerbit mayor maupun penerbit indie. Salah satu aspek yang saya perhatikan adalah penulisnya. Kesimpulan sementara saya, sebagian besar penulis itu tidak memiliki latar belakang pendidikan yang berkaitan erat dengan teori-teori menulis. Para penulis justru berasal dari latar belakang yang tidak berkaitan secara langsung dengan teori menulis.
Konteks yang sama sebenarnya bisa kita gunakan untuk menganalisis bidang-bidang lainnya. Bidang dakwah, misalnya. Para mubaligh terkenal ternyata sebagian besar bukan lulusan fakultas dakwah. Mereka justru berasal dari bidang keilmuan lain. Banyak yang tidak menempuh pendidikan tinggi. Beberapa di antaranya justru berasal dari bidang keilmuan yang “jauh” dari dunia dakwah. Mereka menjadi penceramah handal karena praktik ceramah yang tanpa henti.
Praktik dan praktik menjadi kunci penting agar seseorang sukses menjadi seorang penulis. Mustahil seseorang bisa menjadi penulis unggul jika tidak pernah praktik menulis. Praktik menulis sesungguhnya ajang pembelajaran yang sesungguhnya. Tidak ada penulis sukses yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kesalahan sesungguhnya media untuk belajar memperbaiki tulisan demi tulisan yang dihasilkan.
Berkaitan dengan praktik, penting merenungkan pendapat penulis senior St. Kartono (2011). Menurut St. Kartono, impian hidup adalah energi yang menggerakkan seseorang untuk terus praktik menulis. Jika seseorang tidak memiliki impian hidup maka kecil kemungkinan akan menghasilkan tulisan.
Proses panjang praktik menulis membuat seseorang bisa menemukan “gaya” menulisnya sendiri. Tulisan yang dihasilkan akan terasa khas. Gaya ini ditemukan seiring perjalanan proses kepenulisan dan durasi waktu yang tidak singkat.
Aspek lain yang ditekankan oleh St. Kartono adalah tentang lawan dari penulis. Menurut wartawan senior ini, seorang penulis itu bukan bertanding melawan orang lain, melainkan berlomba dengan dirinya sendiri. Seorang penulis yang sukses adalah penulis yang terus praktik menulis. Godaan yang ada mampu ditepisnya. Godaan itu berupa ketidakmampuan menyisihkan saldo waktu, mudah putus asa, dan—yang justru menjadi dasar—membaca. Jika godaan ini bisa diatasi maka peluang menjadi penulis yang sukses terbuka lebar.

Tulungagung, 27 Juni 2019

Bahan Bacaan
Rhenald Kasali, Disrupstion, Jakarta: Gramedia, 2017.
Raditya Dika, Kambing Jantan, Jakarta: Gagas Media, 2005.
St. Kartono, Menulis Tanpa Rasa Takut, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih Mbak. Hanya belajar menyalurkan hobi saja.

      Hapus
  2. setuju, menaklukan ribuan org belum tentu disebut sebagai pemenang, tapi mampu mengalahkan diri sendiri itulah yg disebut penakluk gemilang

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.