Kaum Muslim dalam Kegamangan Zaman

November 01, 2019

Judul Buku: Muslim Tanpa Masjid, Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai al-Qur’an pada Masa Kini
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: IRCISOD Yogyakarta
Edisi: Juli 2018
Tebal: vii+451 halaman


Kuntowijoyo adalah salah seorang intelektual besar Indonesia. Ia tidak hanya seorang intelektual, tetapi juga seorang sejarawan, sastrawan, budayawan, novelis, cerpenis, dan seabrek gelar lainnya. Berbagai gelar itu disematkan karena kiprah dan karya yang dihasilkannya sepanjang hayat.
Sepanjang karirnya, ia telah melahirkan puluhan karya. Sakit yang dideritanya tidak membuat Kuntowijoyo berhenti berkarya. Meskipun penuh perjuangan, Kuntowijoyo terus menulis. Buku dengan judul Muslim Tanpa Masjid ini lahir ketika Kuntowijoyo sedang sakit.
Saya membayangkan betapa Kuntowijoyo adalah seorang pembaca yang gigih. Hal ini bisa dilihat pada tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Tulisannya mendalam, reflektif, dan sarat dengan pemikiran yang melampaui pemikiran orang-orang di zamannya. Buku ini adalah buktinya.
Buku ini merupakan edisi baru dari buku yang pernah terbit sebelumnya. Edisi lama buku ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada tahun 2001. Ketika buku ini terbit lagi pada tahun 2018, aktualitasnya secara umum tidak hilang. Tentu, pada bagian-bagian tertentu ada yang kurang relevan lagi karena tulisan-tulisan di dalamnya dibuat sebelum tahun 2000.
Ada beberapa bagian dari buku yang cukup tebal ini. Bagian pertama bertajuk “Esai-Esai Agama”. Bagian kedua bertajuk “Esai-Esai Budaya”. Bagian ketiga adalah “Esai-Esai Politik”. Kemudian ada satu artikel di bagian “Penutup”.
Ditinjau dari sistematika, buku ini jelas bukan buku yang disusun dengan sistematika yang kaku model tugas akhir kuliah (skripsi, tesis, disertasi). Pembagiannya tampaknya berdasarkan kedekatan tema. Jika dicermati, isi setiap judul di dalam buku ini tampaknya merupakan kumpulan esai, makalah, dan tulisan lainnya yang kemudian dirangkai menjadi buku. Wajar jika pada beberapa bagian terjadi pengulangan pembahasan.
Meskipun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Kuntowijoyo di pengantar, tujuan buku ini adalah untuk mencari metode yang tepat guna menerapkan teks yang merujuk pada gejala sosial 15 abad yang lalu pada konteks masa kini dan di sini. Model berpikir ini tampaknya diadaptasi dan dikembangkan dari gagasan double movement Prof. Dr. Fazlur Rahman.
Metode yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo disebutnya dengan Strukturalisme Transendental. Menurut Kuntowijoyo, ada tiga ciri struktur. Pertana, keseluruhan (wholeness).—yang dimaknai sebagai suatu koherensi (keterpaduan). Kedua, perubahan bentuk (transformation). Ketiga, mengatur diri sendiri (self regulation) (h. 5-7). Ketiganya menjadi satu rangkaian yang kemudian dibingkai oleh transendensi.
Bagian pertama yang bertajuk “Esai-Esai Agama” membahas berbagai aspek agama secara kritis. Watak kritisnya ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai seorang ilmuwan. Ada telaahnya secara kritis tentang sejarah, tentang pluralitas, perubahan sosial, dan berbagai aspek lainnya yang harus dihadapi umat Islam. Sejauh ini belum ada tawaran yang sistematis dalam menghadapinya. Pada titik inilah tawaran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP) penting untuk diapresiasi.
Menurut Kuntowijoyo, ISP merupakan bentuk tawaran yang diharapkan mampu memecahkan persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Hal ini disebabkan karena komitmen ISP cukup strategis, yaitu umat. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa. Tiga program ISP adalah: pertama, teorisasi. Kata Kuntowijoyo, yang kita butuhkan adalah teori yang berbicara tentang sejarah, proses, dan hubungan. Kita sudah punya modal akhlak, tetapi di zaman modern ini kita juga perlu teori.
Kedua, strukturasi. Pengetahuan tentang struktur itu sangat penting. Pengetahuan ini bisa menjadi alat untuk membaca, mengetahui, dan menganalisis tentang apa yang harus dikerjakan.
Ketiga, transformasi. Perubahan merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk dihindari. Transformasi seharusnya diarahkan bagaimana umat memiliki kehidupan yang lebih baik (108-111).
Sebagai kumpulan esai, ada banyak hal yang dibahas pada bagian pertama buku ini. Meskipun demikian, ada hal yang sama pada setiap tulisannya, yaitu sikap kritis dan tawaran solusi atas setiap hal yang ia kaji. Hal ini menarik karena sikap kritis saja tidak cukup. Kita sudah terlalu banyak memiliki orang yang kritis. Rasanya sampai riuh. Keriuhan karena kritis yang berhenti sebatas sikap kritis. Bahkan ada kecenderungan mencela. Tapi Kuntowijoyo bersikap kritis berbasis ilmu dan menawarkan solusi.
Bagian kedua buku ini bertajuk “Esai-Esai Budaya”. Sebagaimana bab pertama, bab ini juga menghadirkan sesuatu yang menarik. Kuntowijoyo memang piwai mengolah kata. Saya sendiri merasa mendapatkan banyak sekali pengetahuan dari tulisan-tulisan Kuntowijoyo, termasuk dari buku ini.
Saya ingin mengutip salah satu pokok pikiran Kuntowijoyo di halaman 201 buku ini. “Ilmu didapatkan dari sekolah, kebijaksanaan didapatkan dari pengalaman atau pembacaan, tetapi kebenaran dari Tuhan”. Kalimat yang terlihat sederhana tetapi sesungguhnya sangat fundamental. Kuntowijoyo terlihat mampu menghadirkan posisi sesuatu yang selama ini kurang mendapatkan.
Penjelasannya tentang sekularisasi juga cukup baru buat saya. Orang boleh bilang saya ketinggalan zaman. Tulisan ini lho sudah dibuat Kuntowijoyo sekitar 20 tahun lalu. Tidak apa-apa. Saya baru sekarang membacanya. Bagi saya ini sebuah keberuntungan. Saya mendapatkan pengetahuan yang cukup bermanfaat. Ia membagi sekularisasi menjadi dua, yaitu sekularisasi objektif dan sekularisasi subjektif. Sekularisasi objektif adalah dipisahkannya agama dari lembaga lain. Sedangkan sekularisasi subjektif adalah ketika orang merasa tidak ada hubungan antara pengalaman keagamaan dengan pengalaman hidup sehari-hari (h. 204).
Bagian ketiga bertajuk “Esai-Esai Politik”. Sama seperti bagian-bagian sebelumnya, bagian ini menunjukkan bagaimana Kuntowijoyo sangat kritis. Tentang partai politik, misalnya, Kuntowijoyo memberikan telaah sangat fundamental. Menurut Kuntowijoyo, jangan sampai energi kita dihabiskan hanya untuk aspek politik saja. Itu yang membuat kita tidak bisa maju. Fokus perhatian pada umat jauh lebih penting daripada hanya pada politik yang cenderung sesaat.
Kuntowijoyo juga membuat analogis yang menarik tentang relasi antara Islam dan kebangsaan. Relasi keduanya itu ibarat dua sisi mata uang. Hal ini sejalan dengan slogan unity of the opposite dalam logika, atau loro-loroning atunggal dalam bahasa Jawa. Jadi tidak perlu dipertentangkan (h. 288).
Penutup buku ini bertajuk “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pembangunan Ilmu-Ilmu Sosial”. Tulisan menjelaskan secara memadai tentang kontribusi Kuntowijoyo terhadap pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Terlihat sekali bagaimana “kecerdasan” Kuntowjoyo dalam membaca fenomena, merangkai gagasan demi gagasan, membangun metodologi, dan kemudian merangkainya menjadi sebuah gagasan yang utuh. Sebuah kreativitas yang sangat jarang dilakukan oleh ilmuwan Muslim lainnya.

IAIN Tulungagung, 1 Nopember 2019

2 komentar:

  1. Terimakasih pak Dr. Naim, semangat literasi yang tetap memberi inspirasi dan motivasi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali. Hanya merawat tradisi menulis saja.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.