Kaum Muslim dalam Kegamangan Zaman
Judul Buku: Muslim
Tanpa Masjid, Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai al-Qur’an pada Masa Kini
Penulis:
Kuntowijoyo
Penerbit: IRCISOD
Yogyakarta
Edisi: Juli 2018
Tebal: vii+451
halaman
Kuntowijoyo adalah salah
seorang intelektual besar Indonesia. Ia tidak hanya seorang intelektual, tetapi
juga seorang sejarawan, sastrawan, budayawan, novelis, cerpenis, dan seabrek
gelar lainnya. Berbagai gelar itu disematkan karena kiprah dan karya yang
dihasilkannya sepanjang hayat.
Sepanjang karirnya, ia
telah melahirkan puluhan karya. Sakit yang dideritanya tidak membuat
Kuntowijoyo berhenti berkarya. Meskipun penuh perjuangan, Kuntowijoyo terus
menulis. Buku dengan judul Muslim Tanpa
Masjid ini lahir ketika Kuntowijoyo sedang sakit.
Saya membayangkan betapa
Kuntowijoyo adalah seorang pembaca yang gigih. Hal ini bisa dilihat pada
tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Tulisannya mendalam, reflektif, dan sarat
dengan pemikiran yang melampaui pemikiran orang-orang di zamannya. Buku ini
adalah buktinya.
Buku ini merupakan edisi
baru dari buku yang pernah terbit sebelumnya. Edisi lama buku ini diterbitkan
oleh Penerbit Mizan Bandung pada tahun 2001. Ketika buku ini terbit lagi pada
tahun 2018, aktualitasnya secara umum tidak hilang. Tentu, pada bagian-bagian
tertentu ada yang kurang relevan lagi karena tulisan-tulisan di dalamnya dibuat
sebelum tahun 2000.
Ada beberapa bagian dari
buku yang cukup tebal ini. Bagian pertama bertajuk “Esai-Esai Agama”. Bagian
kedua bertajuk “Esai-Esai Budaya”. Bagian ketiga adalah “Esai-Esai Politik”.
Kemudian ada satu artikel di bagian “Penutup”.
Ditinjau dari
sistematika, buku ini jelas bukan buku yang disusun dengan sistematika yang
kaku model tugas akhir kuliah (skripsi, tesis, disertasi). Pembagiannya
tampaknya berdasarkan kedekatan tema. Jika dicermati, isi setiap judul di dalam
buku ini tampaknya merupakan kumpulan esai, makalah, dan tulisan lainnya yang kemudian
dirangkai menjadi buku. Wajar jika pada beberapa bagian terjadi pengulangan
pembahasan.
Meskipun demikian,
sebagaimana dijelaskan oleh Kuntowijoyo di pengantar, tujuan buku ini adalah
untuk mencari metode yang tepat guna menerapkan teks yang merujuk pada gejala
sosial 15 abad yang lalu pada konteks masa kini dan di sini. Model berpikir ini
tampaknya diadaptasi dan dikembangkan dari gagasan double movement Prof. Dr. Fazlur Rahman.
Metode yang ditawarkan
oleh Kuntowijoyo disebutnya dengan Strukturalisme
Transendental. Menurut Kuntowijoyo, ada tiga ciri struktur. Pertana, keseluruhan (wholeness).—yang dimaknai sebagai suatu
koherensi (keterpaduan). Kedua, perubahan
bentuk (transformation). Ketiga, mengatur diri sendiri (self regulation) (h. 5-7). Ketiganya
menjadi satu rangkaian yang kemudian dibingkai oleh transendensi.
Bagian pertama yang
bertajuk “Esai-Esai Agama” membahas berbagai aspek agama secara kritis. Watak
kritisnya ini tampaknya tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai seorang
ilmuwan. Ada telaahnya secara kritis tentang sejarah, tentang pluralitas,
perubahan sosial, dan berbagai aspek lainnya yang harus dihadapi umat Islam.
Sejauh ini belum ada tawaran yang sistematis dalam menghadapinya. Pada titik
inilah tawaran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP) penting untuk
diapresiasi.
Menurut Kuntowijoyo, ISP
merupakan bentuk tawaran yang diharapkan mampu memecahkan persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam. Hal ini disebabkan karena komitmen ISP cukup
strategis, yaitu umat. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat, komunitas,
rakyat, kaum, bangsa. Tiga program ISP adalah: pertama, teorisasi. Kata
Kuntowijoyo, yang kita butuhkan
adalah teori yang berbicara tentang sejarah, proses, dan hubungan. Kita sudah
punya modal akhlak, tetapi di zaman modern ini kita juga perlu teori.
Kedua, strukturasi. Pengetahuan tentang struktur itu
sangat penting. Pengetahuan ini bisa menjadi alat untuk membaca, mengetahui,
dan menganalisis tentang apa yang harus dikerjakan.
Ketiga,
transformasi. Perubahan merupakan suatu hal yang
tidak mungkin untuk dihindari. Transformasi
seharusnya diarahkan bagaimana umat memiliki kehidupan yang lebih baik (108-111).
Sebagai kumpulan esai,
ada banyak hal yang dibahas pada bagian pertama buku ini. Meskipun demikian,
ada hal yang sama pada setiap tulisannya, yaitu sikap kritis dan tawaran solusi
atas setiap hal yang ia kaji. Hal ini menarik karena sikap kritis saja tidak
cukup. Kita sudah terlalu banyak memiliki orang yang kritis. Rasanya sampai
riuh. Keriuhan karena kritis yang berhenti sebatas sikap kritis. Bahkan ada
kecenderungan mencela. Tapi Kuntowijoyo bersikap kritis berbasis ilmu dan
menawarkan solusi.
Bagian kedua buku ini
bertajuk “Esai-Esai Budaya”. Sebagaimana bab pertama, bab ini juga menghadirkan
sesuatu yang menarik. Kuntowijoyo memang piwai mengolah kata. Saya sendiri
merasa mendapatkan banyak sekali pengetahuan dari tulisan-tulisan Kuntowijoyo,
termasuk dari buku ini.
Saya ingin mengutip salah
satu pokok pikiran Kuntowijoyo di halaman 201 buku ini. “Ilmu didapatkan dari
sekolah, kebijaksanaan didapatkan dari pengalaman atau pembacaan, tetapi
kebenaran dari Tuhan”. Kalimat yang terlihat sederhana tetapi sesungguhnya
sangat fundamental. Kuntowijoyo terlihat mampu menghadirkan posisi sesuatu yang
selama ini kurang mendapatkan.
Penjelasannya tentang
sekularisasi juga cukup baru buat saya. Orang boleh bilang saya ketinggalan
zaman. Tulisan ini lho sudah dibuat Kuntowijoyo sekitar 20 tahun lalu. Tidak apa-apa.
Saya baru sekarang membacanya. Bagi saya ini sebuah keberuntungan. Saya mendapatkan
pengetahuan yang cukup bermanfaat. Ia membagi sekularisasi menjadi dua, yaitu sekularisasi objektif dan sekularisasi subjektif. Sekularisasi
objektif adalah dipisahkannya agama dari lembaga lain. Sedangkan sekularisasi subjektif adalah ketika
orang merasa tidak ada hubungan antara pengalaman keagamaan dengan pengalaman
hidup sehari-hari (h. 204).
Bagian ketiga bertajuk “Esai-Esai
Politik”. Sama seperti bagian-bagian sebelumnya, bagian ini menunjukkan
bagaimana Kuntowijoyo sangat kritis. Tentang partai politik, misalnya,
Kuntowijoyo memberikan telaah sangat fundamental. Menurut Kuntowijoyo, jangan
sampai energi kita dihabiskan hanya untuk aspek politik saja. Itu yang membuat
kita tidak bisa maju. Fokus perhatian pada umat jauh lebih penting daripada
hanya pada politik yang cenderung sesaat.
Kuntowijoyo juga membuat analogis yang menarik tentang relasi antara
Islam dan kebangsaan. Relasi keduanya itu ibarat dua sisi mata uang. Hal ini
sejalan dengan slogan unity of the
opposite dalam logika, atau loro-loroning
atunggal dalam bahasa Jawa. Jadi tidak perlu dipertentangkan (h. 288).
Penutup buku ini bertajuk
“Ilmu Sosial Profetik: Etika Pembangunan Ilmu-Ilmu Sosial”. Tulisan menjelaskan
secara memadai tentang kontribusi Kuntowijoyo terhadap pengembangan ilmu sosial
di Indonesia. Terlihat sekali bagaimana “kecerdasan” Kuntowjoyo dalam membaca
fenomena, merangkai gagasan demi gagasan, membangun metodologi, dan kemudian
merangkainya menjadi sebuah gagasan yang utuh. Sebuah kreativitas yang sangat
jarang dilakukan oleh ilmuwan Muslim lainnya.
Terimakasih pak Dr. Naim, semangat literasi yang tetap memberi inspirasi dan motivasi...
BalasHapusTerima kasih kembali. Hanya merawat tradisi menulis saja.
Hapus