Pancasila Sebagai Jalan Tengah
Ngainun Naim
Sebuah
pesan masuk via messenger pada tanggal 16 Februari 2020. Pengirimnya adalah
seorang peneliti senior dari LIPI, Prof. Dr. Anas Saidi, M.A.
“Mas...aku
minta alamat ya...aku mau kirim buku...”.
Saya terkejut
bukan main. Apa tidak salah Mas Anas—begitu saya biasa menyapa beliau—mau
mengirimkan buku? Ah, semoga saja tidak salah. Segera kubalas pesan tersebut
dengan menyebutkan alamat.
“Ok...tunggu
ya...”.
Hati
bertanya-tanya sekaligus senang. Buku apa gerangan yang beliau kirimkan.
Saya
mengenal beliau sebagai narasumber pelatihan penelitian awal tahun 2000 saat
saat saya masih sebagai dosen baru di STAIN Tulungagung. Saya suka sekali
dengan cara beliau menjelaskan berbagai teori dan metode penelitian. Sebagai
peneliti yang sarat pengalaman, banyak sekali ilmu yang beliau berikan.
Motivasi demi motivasi juga beliau tanamkan kepada kami agar rajin membaca,
berpikir kritis, dan banyak melakukan penelitian.
Jujur
saya sangat termotivasi dengan apa yang beliau sampaikan. Setelah itu beberapa
kali saya bertemu beliau. Pernah juga saya sengaja “sowan” beliau di LIPI pada
tahun 2016. Setelah itu beberapa kali saya juga bertemu beliau di berbagai
momentum.
Buku yang
beliau kirim saya terima tanggal 24 Februari 2020. Ada dua eksemplar. Karena judulnya
sama maka satu buah saya berikan kepada Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan
Dakwah (FUAD), Dr. Akhmad Rizqon Khamami, M.A. yang kebetulan duduk di kursi
yang sama saat buku saya buka.
Buku tersebut
ternyata merupakan naskah orasi Profesor Riset yang tidak dibacakan di LIPI. Judulnya
keren, “Islamisme, Pancasila, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia”. Saya merasa
gembira sekali mendapatkan hadiah buku ini. Saya membaca pelan-pelan buku ini. Bagian
demi bagian saya cermati. Terlihat sekali buku ini menyuguhkan argumentasi yang
sangat menarik tentang fenomena demokrasi di Indonesia di tengah menguatnya
Islamisme.
Anas
Saidi menyajikan argumentasi bahwa Islamisme merupakan fenomena yang mengancam
terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia sesungguhnya
mengalami perkembangan yang cukup penting semenjak era Reformasi. Namun perkembangannya
sejauh ini masih jauh dari harapan.
Realitas
kehidupan sosial politik yang sekarang gaduh tak berkesudahan merupakan potret
lain demokrasi Indonesia. Jika dibiarkan maka masa depan Indonesia bisa suram. Pada
titik inilah maka diperlukan jalan tengah yang dapat menjembatani berbagai
perbedaan yang ada.
Pancasila,
menurut Anas Saidi, adalah jawabannya. Ia menyajikan delapan argumentasi yang
cukup mapan mengapa Pancasila bisa menjembatani berbagai perbedaan yang ada. Titik
temu jauh lebih penting dibandingkan mencari titik perbedaan. Aspek titik temu
inilah yang harus terus diupayakan agar perjalanan bangsa ini semakin mengarah
menuju kehidupan kebangsaan ideal sebagaimana cita-cita bersama.
Orasi Profesor
Riset ini sangat menarik dan bisa menjadi titik pijak yang sangat fundamental. Agenda
selanjutnya adalah bagaimana membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila
yang semakin terasing ini membutuhkan strategi pembumian. Bukan sekadar jargon
tetapi menjadi aksi nyata.
Keren bapak 👍👍👍
BalasHapusTerima kasih Mas.
HapusAlhmdulillah membaca lagi.... Masih jam 02.03 sudah rame ronda musik koplo Pak... Gerrrrrr....
BalasHapusHe he he. Mari terus budayakan membaca dan menulis.
HapusTulisan yang bagus.
BalasHapusMatur suwun
HapusBaru saja mendapatkan buku ini versi pdf. Jadi penasaran untuk membacanya berkat catatan prof. Terimakasih.
BalasHapusKeren Prof...
BalasHapusKeren abis prof
BalasHapus