Empat Level Malu dalam Menulis

Juni 24, 2020

Ngainun Naim



Malu itu ternyata memiliki relasi yang erat dengan aktivitas menulis. Rasa malu bisa menjadi pengganggu sehingga tidak menulis. Bisa juga sebaliknya, rasa malu menjadi energi yang menggerakkan untuk menulis.
Berdasarkan pengamatan, malu dalam kaitannya dengan menulis itu ada empat level. Level pertama, malu untuk mulai menulis sehingga tidak menulis. Malu jenis ini menghinggapi sebagian besar mereka yang memiliki minat menulis tetapi memiliki hambatan psikologis berupa rasa malu. Hambatan ini sesungguhnya menjadi penentu. Jika mampu diatasi maka akan bisa menjalani proses menulis. Jika gagal diatasi maka sampai kapan pun tidak akan pernah menulis.
Saya kebetulan memiliki beberapa grup WA kepenulisan. Berbagai upaya mendorong anggota untuk menulis telah saya lakukan. Tetapi hasilnya belum maksimal. Rata-rata keaktifan menulis belum menyentuh angka 50 persen. Memang ada juga yang lebih 50 persen. Saya kira salah satu hambatannya karena malu level pertama ini.
Malu level kedua sudah melangkah lebih baik. Mereka sudah mulai menulis namun muncul rasa malu jika dibaca orang lain. Mereka masih malu-malu untuk menulis. Sebenarnya ini sudah lumayan. Sudah ada kemajuan. Hanya jika rasa malu ini terus dipelihara bisa membuat proses kepenulisan menjadi terhambat.
Malu level ketiga sudah sangat baik. Kemajuannya signifikan. Level ini adalah menulis tanpa rasa malu. Pokoknya menulis. Apa pun tanggapan orang, siap menghadapi. Dipuji tentu menyenangkan. Jika dikritik dijadikan sebagai bahan perbaikan.
Malu level keempat adalah malu tidak menulis. Ini, menurut saya, merupakan level tertinggi. Jika sudah sampai di level ini maka menulis menjadi kebutuhan. Sebagai kebutuhan akan merasa ada yang kurang jika tidak menulis.
Setelah membaca catatan ini, Anda malu di level berapa?

Tulungagung, 24 Juni 2020

Ngainun Naim, Dosen IAIN Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Literasi dari Brunei Darussalam (2020),  Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), dan Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019). Untuk komunikasi via email: naimmas22@gmail.com. WA: 081311124546.

37 komentar:

  1. Saya masih level 3 ...makasih spiritnya Pak

    BalasHapus
  2. Ada saja ide menulis bapak...
    Jd introspeksi diri
    Hehe

    BalasHapus
  3. Semoga saya sdh di level ke-4. Malu tidak menulis. Thanks pak.

    BalasHapus
  4. Semoga saya sdh di level ke-4. Malu tidak menulis. Thanks pak.

    BalasHapus
  5. Saya tidak malu untuk komentar Pak. tulisannya ilmu baru Pak Malu level 1 bisa ditutupi pakai nama samaran atau nama pena. Seperti penulis jaman dulu. Musalnya Buya Syafi'i Ma'arif pakai nama pena Darwis. Nanti kalau sdh level 3 baru nongol aslinya.😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan ini idenya perbincangan di grup tadi pagi he he he

      Hapus
    2. Nggeh pak. Pembaca situasi yang baik. Pengikat makna yang jos.👍👍👍😁

      Hapus
  6. Saya masih di level 2...jadi malu🤭.

    BalasHapus
  7. untuk sementara di level satu dulu Prof, semoga bisa melawan kebiasaan buruk saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ustadz Irfan sudah lebih dari level 1. Sudah lumayan banyak tulisannya.

      Hapus
  8. Saya tengah tengah prof...2,5

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya di artikel saya belum ada level 2,5 he he he

      Hapus
  9. Saya masi malu di level 2...malu jadinya..😂

    BalasHapus
  10. Malu karena nanti tulisannya malu2in...😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak perlu malu Bu. Seharusnya malu jika tidak menulis

      Hapus
  11. Harapannya malu tidak menulis Pak... Amin.

    BalasHapus
  12. Baca tulisan ini jadi malu sendiri Pak...

    BalasHapus
  13. Si malu ngga mau kalah sama sambal berlevel.level

    BalasHapus
  14. Level mana yach? Yang pasti malu klu ditagih atau tdk nyetor tulisan

    BalasHapus
  15. Makasi Gus saya jadi semangat ini

    BalasHapus
  16. Alhamdulillah, saya sudah malu level 4. Mudah-mudahan tidak akan pernah mengalami degradasi ke level di bawahnya untuk selamanya. Terima kasih atas pemetaan malunya, Prof. Ngainun Naim.
    Menulis terus dan terus menulis selama masih bernapas.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.