Plong
Ngainun
Naim
Menulis itu perjuangan. Tanpa
perjuangan, tulisan tidak akan jadi. Menyisihkan waktu untuk menulis itu juga
perjuangan. Sering kali tidak mudah. Kalau tanpa perjuangan, jelas sebuah
tulisan semacam ini juga tidak jadi.
Saya mulai membuka laptop
sudah jauh malam ketika anak-anak dan istri sudah tidur. Jika bukan karena
dorongan internal, saya sudah tidur dari tadi. Bagi saya, itu perjuangan juga.
Seorang kawan bercerita
bahwa ia menulis itu melewati perjuangan yang—menurut saya—sangat heroik. Ia menulis
sebagian besar bukunya di buku tulis. Ya, buku tulis. Kok tidak di lapotop? Ia
tidak punya. Laptop jadul yang pernah dimilikinya sudah rusak beberapa waktu
lalu. Kini, berbekal buku tulis, ia dengan sabar menuangkan kata demi kata
sampai akhirnya menjadi buku. Setelah itu ia akan mengetik di rental.
Ingin tahu berapa bukunya
yang sudah terbit? 23 judul. Anda tentu melongo. Padahal, beberapa buku lainnya
sudah antri di penerbit.
Kawan penulis lainnya
bercerita bagaimana naskah demi naskah yang ia tulis ditolak penerbit. Namun ia
tidak patah semangat. Ia terus menulis. Ketika satu demi satu naskahnya mulai
terbit, naskah yang dulu ditolak oleh beberapa penerbit justru kini antri di
penerbit berbeda.
Catatan ini hanya ingin
menyatakan bahwa menulis itu perjuangan. Ya, perjuangan sebagai proses. Hasil itu penting tetapi tanpa perjuangan,
hasil akan memiliki makna yang berbeda.
Ketika sebuah tulisan
selesai, apalagi kemudian terbit, ada kepuasan psikologis yang luar biasa. Rasanya
plong. Sungguh sebuah rasa yang
sulit untuk diungkapkan. Itulah rasa puas karena telah berjuang menyelesaikan
sebuah tulisan.
Rasa plong hanya dimiliki
oleh orang yang berproses menulis.
Trenggalek, 29-6-2020
Untuk menuju plong.banyak cara dan seni.mengatur waktu dan meluruskan niat ya
BalasHapusBetul Bu Kanjeng
HapusBetul sekali prof...
BalasHapusTerima kasih
HapusDengan menikmati suatu proses, maka beban menjadi nikmat dan hasil menjadi suatu yang sangat berharga tak ternilai karena sudah menjadi hobi. Sperti orang mancing... Dia berjam2 betah dan belum tentu dpt hasil tp senang, dan bagi yg tidak hobi sudut pandangnya cuma hasil di ikannya, komentarnya mending beli ikan dibpasar.
BalasHapusBegitulah Bu
HapusTerimakasih, menunggu versi kedua prof
BalasHapusHe he he. Semoga.
Hapuskonsisten dalam berjuang...
BalasHapusInsyaallah
HapusPerjuangannya itu ketika harus memulai.
BalasHapusMelawan rasa malas dan tidak semangat
Begitu jadi rasanya benar2 plong...
Betul Bu
HapusPerjuangan memang pahit didepan. Namun, nanti jika sudah usai. Semuanya terasa benar benar plong. Apapun hasilnya, hati tetap menerima. Karena melalui proses. Al ajru biqadrit ta'ab.
BalasHapusMenginspirasi sekali Bapak. Barakallah👍👍
Terima kasih. Amin.
HapusBenar pak, dan menulis berjuang melawan hawa nafsu malas hhh
BalasHapusBegitulah
HapusMenulis itu perjuangan jalan sunyi. Medannya sepi, tak banyak saksi. Yang heroiklah perjuangan yg banyak dipilih. makamnya bertabur bunga, kusuma bangsa. Pujangga dipuja setelah tiada. Tapi penulis tak pernah mati. Karyanya masuk ke pikiran dari zaman ke zaman. Dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai inspirasi. Para pahlawan telah berpulang, para dermawan tersapu dari ingatan, ilmuwan sudah pergi menunaikan tugasnya. Para penulis, sejarawan yang membuat kita mengenal orang orang besar bersama pikiran pikirannya. Penulis yang mengabadikannya. Karena itu menulis adalah bekerja untuk keabadian.
BalasHapusSepakat.
Hapusmantap bapak.
BalasHapusbetul perjuabgan. Kdang juga tertenbak kadang menembak.
BalasHapusTerima kasih Pak
Hapus