Plong

Juni 29, 2020

Ngainun Naim


Menulis itu perjuangan. Tanpa perjuangan, tulisan tidak akan jadi. Menyisihkan waktu untuk menulis itu juga perjuangan. Sering kali tidak mudah. Kalau tanpa perjuangan, jelas sebuah tulisan semacam ini juga tidak jadi.
Saya mulai membuka laptop sudah jauh malam ketika anak-anak dan istri sudah tidur. Jika bukan karena dorongan internal, saya sudah tidur dari tadi. Bagi saya, itu perjuangan juga.
Seorang kawan bercerita bahwa ia menulis itu melewati perjuangan yang—menurut saya—sangat heroik. Ia menulis sebagian besar bukunya di buku tulis. Ya, buku tulis. Kok tidak di lapotop? Ia tidak punya. Laptop jadul yang pernah dimilikinya sudah rusak beberapa waktu lalu. Kini, berbekal buku tulis, ia dengan sabar menuangkan kata demi kata sampai akhirnya menjadi buku. Setelah itu ia akan mengetik di rental.
Ingin tahu berapa bukunya yang sudah terbit? 23 judul. Anda tentu melongo. Padahal, beberapa buku lainnya sudah antri di penerbit.
Kawan penulis lainnya bercerita bagaimana naskah demi naskah yang ia tulis ditolak penerbit. Namun ia tidak patah semangat. Ia terus menulis. Ketika satu demi satu naskahnya mulai terbit, naskah yang dulu ditolak oleh beberapa penerbit justru kini antri di penerbit berbeda.
Catatan ini hanya ingin menyatakan bahwa menulis itu perjuangan. Ya, perjuangan sebagai proses. Hasil itu penting tetapi tanpa perjuangan, hasil akan memiliki makna yang berbeda.
Ketika sebuah tulisan selesai, apalagi kemudian terbit, ada kepuasan psikologis yang luar biasa. Rasanya plong. Sungguh sebuah rasa yang sulit untuk diungkapkan. Itulah rasa puas karena telah berjuang menyelesaikan sebuah tulisan.
Rasa plong hanya dimiliki oleh orang yang berproses menulis.

Trenggalek, 29-6-2020

21 komentar:

  1. Untuk menuju plong.banyak cara dan seni.mengatur waktu dan meluruskan niat ya

    BalasHapus
  2. Dengan menikmati suatu proses, maka beban menjadi nikmat dan hasil menjadi suatu yang sangat berharga tak ternilai karena sudah menjadi hobi. Sperti orang mancing... Dia berjam2 betah dan belum tentu dpt hasil tp senang, dan bagi yg tidak hobi sudut pandangnya cuma hasil di ikannya, komentarnya mending beli ikan dibpasar.

    BalasHapus
  3. Terimakasih, menunggu versi kedua prof

    BalasHapus
  4. Perjuangannya itu ketika harus memulai.
    Melawan rasa malas dan tidak semangat
    Begitu jadi rasanya benar2 plong...

    BalasHapus
  5. Perjuangan memang pahit didepan. Namun, nanti jika sudah usai. Semuanya terasa benar benar plong. Apapun hasilnya, hati tetap menerima. Karena melalui proses. Al ajru biqadrit ta'ab.

    Menginspirasi sekali Bapak. Barakallah👍👍

    BalasHapus
  6. Benar pak, dan menulis berjuang melawan hawa nafsu malas hhh

    BalasHapus
  7. Menulis itu perjuangan jalan sunyi. Medannya sepi, tak banyak saksi. Yang heroiklah perjuangan yg banyak dipilih. makamnya bertabur bunga, kusuma bangsa. Pujangga dipuja setelah tiada. Tapi penulis tak pernah mati. Karyanya masuk ke pikiran dari zaman ke zaman. Dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai inspirasi. Para pahlawan telah berpulang, para dermawan tersapu dari ingatan, ilmuwan sudah pergi menunaikan tugasnya. Para penulis, sejarawan yang membuat kita mengenal orang orang besar bersama pikiran pikirannya. Penulis yang mengabadikannya. Karena itu menulis adalah bekerja untuk keabadian.

    BalasHapus
  8. betul perjuabgan. Kdang juga tertenbak kadang menembak.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.