Rezeki Menulis

Juni 26, 2020

Ngainun Naim


Menulis telah mewarnai perjalanan hidup saya menjadi begitu indah. Melalui menulis, saya memperoleh banyak hal, mulai dari uang, teman, kesempatan, hingga keberkahan. Begitu banyak hal yang saya peroleh dari menulis sehingga saya berkomitmen pada diri sendiri untuk terus berusaha menulis.
Bagi saya, menulis adalah sumber rezeki. Ini bukan sekadar apologi tetapi saya sendiri mengalaminya. Bentuknya bermacam-macam. Rezeki pertama adalah uang. Ya, uang sudah saya peroleh dari kegiatan menulis. Uang yang pertama saya peroleh sebesar 6 ribu rupiah untuk sebuah cerita humor yang dimuat majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya. Majalah yang terbit di Surabaya ini merupakan tempat persemaian awal jejak saya di dunia menulis. Di media inilah, uang 6 ribu sangat berarti. Bisa dibayangkan, sebagai anak kos dengan uang kiriman tidak pasti, suntikan 6 ribu rupiah tentulah sangat berarti. Itu terjadi pada tahun 1995.
Honor menulis 6 ribu tersebut menjadi pendorong bagi saya untuk terus menulis. Aktivitas menulis saya terus berlanjut—walaupun intensitasnya naik turun—saat saya duduk di bangku kuliah strata satu. Sayangnya, setiap tulisan yang saya kirim selalu saja ditolak. Kecewa itu pasti, tetapi saya berusaha tidak menyerah. Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan, akhirnya artikel yang pertama dimuat Harian Surya Surabaya edisi Oktober 1996. Bisa dibayangkan betapa senangnya. Honor yang saya terima saat itu 70 ribu. Jumlah sebanyak itu jelas sangat berarti bagi seorang mahasiswa semester 5.
Pada masa selanjutnya, artikel demi artikel mulai dimuat di berbagai media massa. Beberapa media yang pernah memuat artikel dan resensi buku yang saya tulis adalah Jawa Pos, Republik, Kompas, Bhirawa, Duta Masyarakat, Bali Post, Rindang, MPA, dan beberapa media yang lainnya.
Saya terus menulis artikel dan resensi buku. Honor yang saya terima cukup membantu membiayai studi S-2. Aktivitas saya saat itu nyaris hanya kuliah, mengerjakan tugas, dan menulis untuk media massa. Pernah suatu ketika, tepatnya di bulan Agustus tahun 2000, sebulan ada 12 artikel dan resensi buku yang dimuat. Tentu saja, honornya sangat berarti untuk memperpanjang nafas studi karena saya studi tanpa mengandalkan biaya dari orang tua. Saya berusaha membiayai sendiri studi yang saya tempuh mengingat masih ada 5 orang adik yang membutuhkan biaya studi juga. Saya tidak ingin membebani lagi kedua orang tua.
Mulai tahun 2007, saya mengalihkan konsentrasi untuk menulis buku. Kesulitan demi kesulitan pasti saya hadapi. Penolakan demi penolakan dari penerbit juga saya alami. Tetapi saya terus melaju. Satu per satu buku yang saya tulis mulai terbit. Sekarang, beberapa buku sudah terbit. Suatu kebahagiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Terbitnya buku demi buku telah memberikan rezeki berupa uang. Saya tidak banyak berpikir soal jumlahnya. Jika berpikir aspek uang, sering kekecewaan yang saya rasakan. Tetapi saya sudah bertekad untuk terus saja menulis tanpa banyak berpikir soal uang. Saya yakin akan keadilan Allah. Jika terus menulis maka Allah akan memberikan rejeki dari banyak jalan.
Aktivitas menulis juga memberi rezeki kedua, yaitu teman. Sebagai makhluk sosial, salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah dengan semakin bertambahnya jumlah teman. Karena aktif menulis, teman yang saya kenal terus bertambah. Di antara mereka adalah para penulis juga. Berteman dengan sesama penulis telah memberi suntikan energi buat saya untuk terus berkarya. Melihat mereka menulis dan menghasilkan karya, energi menulis saya kembali terlecut. Saya berusaha memanfaatkan pertemanan ini sebagai sarana berbagi ilmu dan inspirasi dalam hal menulis.
Teman-teman penulis maupun non-penulis telah memberi saya banyak rezeki. Sekali lagi, rezeki yang saya maksudkan tidak harus berupa uang. Persahabatan ini semakin berkembang luas seiring dengan ditemukannya jejaring sosial semacam facebook, WA, blog, dan sejenisnya. Media sosial tersebut telah mempertemukan saya dengan banyak orang secara maya. Beberapa orang di antaranya bahkan akhirnya bertemu secara fisik.
Rezeki yang lainnya adalah kesempatan. Menulis telah memberi saya banyak efek positif dalam menjalani hidup. Karya tulis yang saya hasilkan membuat saya berkesempatan untuk hadir di berbagai acara. Undangan sebagai nara sumber seminar atau pemateri sebuah acara beberapa kali saya terima, mulai di daerah sekitar hingga keluar daerah. Ini tentu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Hasil tulisan yang saya buat ternyata memberikan kesempatan yang sangat luar biasa.
Buku memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal banyak kota di Indonesia. Beberapa undangan yang pernah saya terima untuk bedah buku ini, antara lain, dari Kebumen, Madiun, Blitar, Tulungagung, dan yang paling jauh ke Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Karena menulis buku, saya berkesempatan untuk hadir di berbagai tempat. Ini tentu merupakan rezeki luar biasa yang tidak akan saya lupakan. Ini merupakan anugerah yang harus saya syukuri.
Karena buku pula saya pernah diundang untuk memberikan kuliah tamu di Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Ceritanya salah seorang mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi Agama baru saja membaca sebuah buku yang saya tulis, yaitu Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Teras Yogyakarta pada tahun 2011 ini telah menginspirasi sang mahasiswa untuk mengundang saya dan memberikan kuliah tamu di kelas mereka.
Sang mahasiswa kemudian berkonsultasi kepada Direktur Pascasarjana, Dr. David Samiyono. Setelah berdiskusi, Dr. David setuju untuk mengundang saya. Maka, undangan resmi pun di kirim melalui email. Saya pun menyambut gembira dan penuh semangat. Bagi saya, ini sebuah kesempatan yang tidak terduga. Kalau saja tidak menulis buku maka kecil kemungkinan saya mendapatkan rejeki dan kesempatan untuk memberikan kuliah di sebuah universitas yang sedemikian besar.
Karena aktif menulis—buku, artikel, dan jenis-jenis tulisan lainnya—saya acapkali mendapatkan beberapa kesempatan yang sering tidak terduga. Salah satunya adalah menjadi pembicara dalam forum seminar. Saya memang tidak selalu bertanya mengapa mereka mengundang saya, tetapi beberapa orang menjelaskan bahwa saya diundang karena—salah satu alasannya—saya memiliki beberapa karya tulis. Karya tulis yang saya buat ternyata menjadi pertimbangan tersendiri buat mereka. Begitulah, menulis telah memberikan rezeki yang tidak ternilai. Menulis merupakan sumber rezeki yang harus saya rawat dan kelola secara baik. Ini merupakan anugerah Allah yang tidak semua orang mendapatkannya. Karena itulah, sepanjang masih mampu, saya bertekad untuk terus menulis.

55 komentar:

  1. salut pak..Allah swt telah menagtur segalanya

    BalasHapus
  2. Luar biasa kisahnya. Izinkan kami untuk menjadi muridnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kebalik Om. Saya banyak belajar dari Omjay.

      Hapus
  3. Mirecle....

    barokah dr sebuah istiqomah menulis.

    BalasHapus
  4. Subhanallah hebat. Matur nuwun kisahnya

    BalasHapus
  5. Subhanallah, semakin saya bangga bisa bertemu, berteman dengan bapak meskipun lewat dunia maya dalam wa grup.terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, jadi malu saya Bu. Biasa saja Bu. Grup dan pertemanan ini adalah rezeki yang luar biasa.

      Hapus
  6. Luar biasa tulisan bapak...
    Saya juga merasa bangga bisa mengenal bapak meski lewat dumay...
    Apalagi bisa belajar langsung dg orang yg hebat

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah. Mantab. Semoga menular

    BalasHapus
  8. Luar biasa kisahnya menginspirasi sekali Pak... Reski tak perlu dicari, akan tetapi reski akan mengampiri siapa saja yang berusaha keras.

    BalasHapus
  9. Tulisan yang Keren Jos. Pertama saya menulis tahun 1984 dimuat di majalah kuncup di kolom surat pembaca. Kelas 4 SD. Tidak ada honornya. Kebanggaan anak anak yang luar biasa. Spirit berprestasi tertanam sejak saat itu.

    BalasHapus
  10. Sangat menginspirasi Bapak. Semoga saya diberi kesempatan untuk merasakan perjalanan perjuangan seperti panjenengan. 🤲

    BalasHapus
  11. Sungguh ini adalah perjuangan yabg luar biasa pak..

    BalasHapus
  12. Perjalanan menuju penulis begitu berliku liku dan panjang

    BalasHapus
  13. Menulis adalah sebuah perjuangan...

    BalasHapus
  14. Menulis harus dipaksakan,biar menjadi kebiasaan

    BalasHapus
  15. MasyaAllah pak, kisah panjengan begitu luar biasa. Sangat menginspirasi. Terima kasih pak atas inspirasinya🙏

    BalasHapus
  16. Menulis membuka pintu rezeki zhahir maupun batin. Menginspirasi tiada henti prof

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah Bu. Terima kasih berkenan membaca dan berkomentar.

      Hapus
  17. alhamdulillah, teruslah menulis agar banyak orang mengenal dirimu

    BalasHapus
  18. Sangat mengisnspirasi. Patut dijadikan panutan...

    BalasHapus
  19. Sayapun demikian pak naim di tahun 2018-2019 pernah ajeg nulis status panjang di fb pertemanan pun juga meluas terutama dengan penulis dan pecinta buku, pernah juga dihadiai buku dari kawan salah satu teman fb, Alhamdulillah. Meskipun akhir2 ini sering vakum saya berusaha mengajegkan lagi, pangestune bapak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat ya. Menulis itu sepanjang diniati baik, Insyaallah barakah.

      Hapus
  20. Semoga kami juga diberi kemampuan n kemauan agar giat berkarya seperti Gus Naim. Amin!

    BalasHapus
  21. Selamat ya..pak..perjuangan yg benar2 gigih...haru membacanya..semangat yg luar biasa....

    BalasHapus
  22. Semoga syaa juga bs mengikuti jejak literasinya Pak,

    BalasHapus
  23. MasyaAllah Pak ...perjalanan dunia tulis menulis menjadi semangat saya untuk belajar menulis ..sukses selalu y pak 🙏🏻

    BalasHapus
  24. Perkenalan yang tertunda....andai beberapa tahun lalu...masih ada kesempatan untukku berlatih menulis...tuk berkarya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Blog Ibu juga keren .Terus menulis adalah cara efektif untuk terus mengembangkan potensi diri. Salam

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.