Rezeki Menulis
Ngainun Naim
Menulis telah mewarnai perjalanan hidup saya menjadi begitu indah. Melalui
menulis, saya memperoleh banyak hal, mulai dari uang, teman, kesempatan, hingga
keberkahan. Begitu banyak hal yang saya peroleh dari menulis sehingga saya
berkomitmen pada diri sendiri untuk terus berusaha
menulis.
Bagi
saya, menulis adalah sumber rezeki.
Ini bukan sekadar apologi tetapi saya sendiri
mengalaminya. Bentuknya bermacam-macam. Rezeki pertama
adalah uang. Ya, uang sudah saya peroleh
dari kegiatan menulis. Uang yang pertama saya peroleh sebesar 6 ribu rupiah
untuk sebuah cerita humor yang dimuat majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya. Majalah yang terbit di
Surabaya ini merupakan tempat persemaian awal jejak saya di dunia menulis. Di
media inilah, uang 6 ribu sangat berarti. Bisa dibayangkan, sebagai anak kos
dengan uang kiriman tidak pasti, suntikan 6 ribu rupiah tentulah sangat
berarti. Itu terjadi pada tahun 1995.
Honor menulis 6 ribu tersebut menjadi pendorong bagi saya untuk terus
menulis. Aktivitas menulis saya terus berlanjut—walaupun intensitasnya naik
turun—saat saya duduk di bangku kuliah strata satu. Sayangnya, setiap tulisan
yang saya kirim selalu saja ditolak. Kecewa itu pasti, tetapi saya berusaha
tidak menyerah. Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan, akhirnya
artikel yang pertama dimuat Harian Surya Surabaya
edisi Oktober 1996. Bisa dibayangkan betapa senangnya. Honor yang saya terima
saat itu 70 ribu. Jumlah sebanyak itu jelas sangat berarti bagi seorang
mahasiswa semester 5.
Pada masa selanjutnya, artikel demi artikel mulai dimuat di berbagai media
massa. Beberapa media yang pernah memuat artikel dan resensi buku yang saya tulis
adalah Jawa Pos, Republik, Kompas,
Bhirawa, Duta Masyarakat, Bali Post, Rindang, MPA, dan beberapa media yang
lainnya.
Saya terus menulis artikel dan resensi buku. Honor
yang saya terima cukup membantu membiayai studi S-2. Aktivitas saya saat itu nyaris hanya kuliah, mengerjakan
tugas, dan menulis untuk media massa. Pernah suatu ketika, tepatnya di bulan
Agustus tahun 2000, sebulan ada 12 artikel dan resensi buku yang dimuat. Tentu
saja, honornya sangat berarti untuk memperpanjang nafas studi karena saya studi
tanpa mengandalkan biaya dari orang tua. Saya berusaha membiayai sendiri studi yang saya tempuh
mengingat masih ada 5 orang adik yang membutuhkan biaya studi juga. Saya tidak
ingin membebani lagi kedua orang tua.
Mulai tahun 2007, saya mengalihkan konsentrasi untuk menulis buku. Kesulitan
demi kesulitan pasti saya hadapi. Penolakan demi penolakan dari penerbit juga saya
alami. Tetapi saya terus melaju. Satu per satu buku yang saya tulis mulai
terbit. Sekarang, beberapa buku sudah terbit. Suatu kebahagiaan yang tidak bisa
dilukiskan dengan kata-kata.
Terbitnya buku demi buku telah memberikan rezeki berupa uang. Saya tidak
banyak berpikir soal jumlahnya. Jika berpikir aspek uang, sering kekecewaan
yang saya rasakan. Tetapi saya sudah bertekad untuk terus saja menulis tanpa
banyak berpikir soal uang. Saya yakin akan keadilan Allah. Jika terus menulis
maka Allah akan memberikan rejeki dari banyak jalan.
Aktivitas menulis juga memberi rezeki kedua,
yaitu teman. Sebagai makhluk sosial,
salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah dengan semakin bertambahnya
jumlah teman. Karena aktif menulis, teman yang saya kenal terus bertambah. Di
antara mereka adalah para penulis juga. Berteman dengan sesama penulis telah
memberi suntikan energi buat saya untuk terus berkarya. Melihat mereka menulis
dan menghasilkan karya, energi menulis saya kembali terlecut. Saya berusaha
memanfaatkan pertemanan ini sebagai sarana berbagi ilmu dan inspirasi dalam hal
menulis.
Teman-teman penulis maupun non-penulis telah memberi saya banyak rezeki. Sekali
lagi, rezeki yang saya maksudkan
tidak harus berupa uang. Persahabatan ini semakin berkembang luas seiring
dengan ditemukannya jejaring sosial
semacam facebook, WA, blog, dan sejenisnya. Media sosial tersebut telah mempertemukan saya dengan banyak orang secara maya.
Beberapa orang di antaranya bahkan akhirnya bertemu secara fisik.
Rezeki yang lainnya
adalah kesempatan. Menulis telah
memberi saya banyak efek positif dalam menjalani hidup. Karya tulis yang saya
hasilkan membuat saya berkesempatan untuk hadir di berbagai acara. Undangan sebagai
nara sumber seminar atau pemateri sebuah acara beberapa kali saya terima, mulai
di daerah sekitar hingga keluar daerah. Ini tentu merupakan sebuah kebanggaan
tersendiri. Hasil tulisan yang saya buat ternyata memberikan kesempatan yang
sangat luar biasa.
Buku memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal banyak kota di
Indonesia. Beberapa undangan yang pernah saya terima untuk bedah buku ini,
antara lain, dari Kebumen, Madiun, Blitar, Tulungagung, dan yang paling jauh ke
Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Karena menulis buku, saya berkesempatan untuk
hadir di berbagai tempat. Ini tentu merupakan rezeki luar biasa yang tidak akan saya
lupakan. Ini merupakan anugerah yang harus saya syukuri.
Karena buku pula saya pernah diundang untuk memberikan kuliah tamu di
Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Ceritanya salah seorang
mahasiswa Program Pascasarjana Sosiologi Agama baru saja membaca sebuah buku yang
saya tulis, yaitu Teologi Kerukunan,
Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit
Teras Yogyakarta pada tahun 2011 ini telah menginspirasi sang mahasiswa untuk
mengundang saya dan memberikan kuliah tamu di kelas mereka.
Sang mahasiswa kemudian berkonsultasi kepada Direktur Pascasarjana, Dr.
David Samiyono. Setelah berdiskusi, Dr. David setuju untuk mengundang saya.
Maka, undangan resmi pun di kirim melalui email. Saya pun menyambut gembira dan
penuh semangat. Bagi saya, ini sebuah kesempatan yang tidak terduga. Kalau saja
tidak menulis buku maka kecil kemungkinan saya mendapatkan rejeki dan
kesempatan untuk memberikan kuliah di sebuah universitas yang sedemikian besar.
Karena aktif menulis—buku, artikel, dan jenis-jenis tulisan lainnya—saya acapkali
mendapatkan beberapa kesempatan yang sering tidak terduga. Salah satunya adalah
menjadi pembicara dalam forum seminar. Saya memang tidak selalu bertanya
mengapa mereka mengundang saya, tetapi beberapa orang menjelaskan bahwa saya
diundang karena—salah satu alasannya—saya memiliki beberapa karya tulis. Karya
tulis yang saya buat ternyata menjadi pertimbangan tersendiri buat mereka. Begitulah, menulis telah memberikan rezeki yang tidak ternilai. Menulis merupakan sumber rezeki yang harus saya rawat dan kelola secara baik. Ini merupakan anugerah
Allah yang tidak semua orang mendapatkannya. Karena itulah, sepanjang masih
mampu, saya bertekad untuk terus menulis.
salut pak..Allah swt telah menagtur segalanya
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusLuar biasa kisahnya. Izinkan kami untuk menjadi muridnya.
BalasHapusWah, kebalik Om. Saya banyak belajar dari Omjay.
HapusMirecle....
BalasHapusbarokah dr sebuah istiqomah menulis.
Subhanallah hebat. Matur nuwun kisahnya
BalasHapusBiasa mawon
HapusSubhanallah, semakin saya bangga bisa bertemu, berteman dengan bapak meskipun lewat dunia maya dalam wa grup.terima kasih
BalasHapusWaduh, jadi malu saya Bu. Biasa saja Bu. Grup dan pertemanan ini adalah rezeki yang luar biasa.
HapusLuar biasa tulisan bapak...
BalasHapusSaya juga merasa bangga bisa mengenal bapak meski lewat dumay...
Apalagi bisa belajar langsung dg orang yg hebat
Terima kasih Bu
HapusAlhamdulillah. Mantab. Semoga menular
BalasHapusAmin
HapusInsya'Allah barokah
BalasHapusAmin
HapusLuar biasa kisahnya menginspirasi sekali Pak... Reski tak perlu dicari, akan tetapi reski akan mengampiri siapa saja yang berusaha keras.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusTulisan yang Keren Jos. Pertama saya menulis tahun 1984 dimuat di majalah kuncup di kolom surat pembaca. Kelas 4 SD. Tidak ada honornya. Kebanggaan anak anak yang luar biasa. Spirit berprestasi tertanam sejak saat itu.
BalasHapusMantap
HapusSangat menginspirasi Bapak. Semoga saya diberi kesempatan untuk merasakan perjalanan perjuangan seperti panjenengan. 🤲
BalasHapusAmin
HapusSungguh ini adalah perjuangan yabg luar biasa pak..
BalasHapusBiasa saja Mas
HapusLanjutkan om
BalasHapusPerjalanan menuju penulis begitu berliku liku dan panjang
BalasHapusDan melelahkan
HapusMenulis adalah sebuah perjuangan...
BalasHapusPerjuangan sepanjang hayat
HapusMenulis harus dipaksakan,biar menjadi kebiasaan
BalasHapusMasyaAllah pak, kisah panjengan begitu luar biasa. Sangat menginspirasi. Terima kasih pak atas inspirasinya🙏
BalasHapusBiasa saja. Terima kasih berkenan membaca.
HapusLuar biasa Pk
BalasHapusSangat menginspirasi
Terima kasih Ibu. Salam.
HapusMenulis membuka pintu rezeki zhahir maupun batin. Menginspirasi tiada henti prof
BalasHapusBegitulah Bu. Terima kasih berkenan membaca dan berkomentar.
Hapusalhamdulillah, teruslah menulis agar banyak orang mengenal dirimu
BalasHapusTerima kasih Omjay
HapusSangat mengisnspirasi. Patut dijadikan panutan...
BalasHapusSuwun mas
HapusSayapun demikian pak naim di tahun 2018-2019 pernah ajeg nulis status panjang di fb pertemanan pun juga meluas terutama dengan penulis dan pecinta buku, pernah juga dihadiai buku dari kawan salah satu teman fb, Alhamdulillah. Meskipun akhir2 ini sering vakum saya berusaha mengajegkan lagi, pangestune bapak..
BalasHapusSemangat ya. Menulis itu sepanjang diniati baik, Insyaallah barakah.
HapusSemoga kami juga diberi kemampuan n kemauan agar giat berkarya seperti Gus Naim. Amin!
BalasHapusAmin.
HapusSelamat ya..pak..perjuangan yg benar2 gigih...haru membacanya..semangat yg luar biasa....
BalasHapusTerima kasih
HapusKeren pak tulisannya
BalasHapusTerima kasih
HapusSemoga syaa juga bs mengikuti jejak literasinya Pak,
BalasHapusAmin
HapusMasyaAllah Pak ...perjalanan dunia tulis menulis menjadi semangat saya untuk belajar menulis ..sukses selalu y pak 🙏🏻
BalasHapusTerima kasih doanya
HapusPerkenalan yang tertunda....andai beberapa tahun lalu...masih ada kesempatan untukku berlatih menulis...tuk berkarya....
BalasHapusBlog Ibu juga keren .Terus menulis adalah cara efektif untuk terus mengembangkan potensi diri. Salam
HapusMenarik, Pak Ngainun
BalasHapusTerima kasih Bu Lina
Hapus