Secuil Kisah Berburu Buku
Ngainun Naim
Buku
sudah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan saya. Saya tidak ingat
persis sejak kapan menyukai membaca. Jika saya ingat-ingat, kuliah S-1 menjadi
momentum saya menyukai buku, meskipun pada masa-masa sebelumnya saya sudah
mulai menyukai berbagai bacaan, khususnya koran dan majalah.
Kecintaan
pada buku membuat saya selalu berusaha dekat dengan buku. Di tas yang saya bawa
ke kantor atau bepergian selalu terselip buku. Saat ada kesempatan saya segera
membukanya dan menelusuri deretan kata demi kata. Rasanya nikmat sekali
memiliki kesempatan membaca.
Kedekatan
dengan buku terasa kurang nyaman jika bukunya bukan milik sendiri. Maka
memiliki buku menjadi sebuah kebutuhan yang sulit untuk dihindarkan.
Hasrat
untuk memiliki buku mulai tumbuh saat saya duduk di bangku kuliah di IAIN Sunan
Ampel Surabaya. Tetapi hasrat itu tidak diimbangi dengan dana yang memadai.
Jangankan untuk membeli buku, sekadar makan saja harus berjuang keras dengan
bekerja. Siasat yang biasanya saya lakukan ketika baru beli buku adalah dengan
mengurangi jatah makan.
Masa
kuliah selama beberapa tahun membuat saya memiliki koleksi buku. Tidak terlalu
banyak karena memang dana yang tersedia juga terbatas. Tetapi cukup lumayan.
Jumlahnya kisaran 100 eksemplar.
Tamat
kuliah saya mulai bekerja. Saat itulah nafsu beli buku semakin tak terkendali.
Namun di kota kecil tempat saya tinggal, Tulungagung, belum ada toko buku yang
memadai. Beberapa toko buku lebih banyak menjual buku tulis dan ATK. Buku
bacaannya sama sekali tidak memadai. Maka tidak ada pilihan selain harus pergi
ke kota yang ada toko bukunya yang representatif. Biasanya saya ke Malang,
Surabaya atau pernah juga ke Yogyakarta.
Setiap
ada kesempatan, saya berusaha untuk pergi ke Malang hanya demi memuaskan hasrat
beli buku. Kadang naik bus dan kadang naik sepeda motor.
Bertahun
tahun buku demi buku saya beli. Kegilaan terhadap buku semakin menjadi-jadi
saat tahun 2007 saya kuliah lagi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kota Pelajar
Yogyakarta merupakan sorga buku. Ada banyak toko buku dan pameran. Buku-buku
aneka jenis dengan harga murah begitu mudah diperoleh.
Selama
kuliah S-3 di Yogyakarta saya mengoleksi sekitar 600 eksemplar buku. Suatu
jumlah yang saya kira cukup lumayan untuk ukuran saya sendiri.
Tamat
kuliah tidak menghentikan hasrat beli buku. Nyaris setiap ada kesempatan saya
selalu belanja buku. Kini buku semakin menyesaki rumah kami yang sempit.
Dua
tahun belakangan model beli buku berkembang seiring hadirnya jejaring sosial. Satu
hal yang saya syukuri dari adanya facebook, WA, dan instagram adalah
berkembangnya informasi penting yang tidak mungkin didapatkan dari media lain.
Informasi tentang buku, misalnya. Selama ini informasi tentang buku bisa
diperoleh melalui rubrik resensi buku atau dengan rajin mengunjungi toko buku.
Informasi semacam ini, selain memiliki kelebihan, juga ada kelemahan. Kelemahan
pertama, buku yang dihadirkan di
rubrik resensi sangat terbatas. Umumnya satu judul buku setiap minggunya.
Itupun belum tentu buku yang sesuai dengan minat. Kedua, toko buku yang representatif tidak ada di setiap kota. Toko
buku representatif kebanyakan ada di kota besar.
Pada kondisi semacam
inilah, saya merasakan betul betapa FB menjadi seolah ”toko buku” alternatif.
Yang saya maksudkan adalah tidak setiap buku bisa beredar di toko buku.
Buku-buku penting yang dicetak terbatas juga tidak bisa nangkring di toko buku.
Order buku semacam ini biasanya bisa dilakukan melalui pemesanan langsung. Cara
semacam ini semakin banyak dalam beberapa waktu terakhir.
Selain
itu, saya juga menjadi anggota beberapa grup WA jual beli buku. Lewat grup-grup
inilah saya membeli buku. Beberapa buku lama atau buku terbitan penerbit
tertentu yang tidak saya temukan di toko buku justru saya temukan di jaringan
maya ini.
Begitulah,
membeli buku menjadi semacam ritual yang mengesankan. Ada harapan, tantangan,
kepuasan, dan juga kadang kekecewaan. Saya kira hal yang sama juga terjadi
dalam bidang kehidupan yang lainnya.
Kini,
ribuan buku teronggok di berbagai sudut rumah. Setiap tambahan rak selalu tidak
berumur panjang karena dalam waktu yang tidak terlalu lama rak tersebut penuh
oleh deretan buku.
Memiliki
buku tidak harus dibaca semuanya. Memang, idealnya dibaca sampai tuntas. Tetapi
melihat kesibukan dan kesempatan yang ada, membaca semua buku-buku itu secara
tuntas nyaris mustahil.
Saya
memang membaca setiap hari. Tetapi paling satu bulan hanya tamat 1 atau 2 buku.
Padahal, sebulan minimal mendapatkan 3 buku baru.
"Memiliki
buku itu penting. Soal membacanya itu soal lain", kata dosen saya Prof.
Dr. M. Amin Abdullah.
Kata
itulah yang saya ingat betul. Buku yang dimiliki memudahkan saat dibutuhkan.
Saat menulis, misalnya. Tidak jarang saya justru menemukan gagasan menarik
dari buku yang pernah saya miliki.
Sampai
sekarang dan entah sampai kapan saya akan terus membeli dan membaca buku.
Alasannya sederhana, yaitu membaca buku membuat saya memiliki wawasan yang
bermakna untuk memperkayan kehidupan.
Ngainun Naim, Pengajar IAIN Tulungagung. Aktif menulis buku dan melakukan penelitian. Penulis bisa dihubungi di Nomor WA 081311124546, atau email: naimmas22@gmail.com
Semoga ke depannya koleksi buku saya juga makin banyak. Inspirasi buat saya
BalasHapusAmin
HapusSungguh mantab....
BalasHapusInspirate abah
BalasHapusAmin
HapusBagaimana pak yang seperti saya, sangat tergantung dg buku digital. Karena buku fisik sering tdk terbaca. Dibawa pindah2 ahirnya malah hilang.
BalasHapusSaya selalu mencetak buku digital karena--entahlah--belum bisa menikmati secara tuntas buku digital
HapusSetali tiga uang sama perpustakaan Prof. Mulyadhi. Mantab prof
BalasHapusBelumlah Bu. Masih jauh
HapusAda harapan, tantangan, kepuasan, dan kekecewaan. Mungkin bisa dipertajam, terkait kecewa.
BalasHapusInsyaallah lain kali
HapusTerima Bapak Ngainun Naim, sangat menginspirasi bagi kami
BalasHapusSama-sama Bapak
HapusAlhamdulillah saya memiliki puluhan buku yang pernah saya beli dan tertata rapi di dalam lemari triplek di pesantren.. bukan hanya itu kitab" juga tertata rapi di atas lemari... memang saya suka beli buku tapi entah kenapa bacanya itu lambat.. smoga saya bisa tetap istiqomah membaca
BalasHapusMantap. Lambat tidak apa-apa asal istiqamah.
HapusPak Naim ...bravo Pak,,, orang hebat kebanyakan konsumsinya buku ya kan Pak,,, nt bisa mengikuti jejak Pak Habibie bukunya sampai 6 kontainer tidak muat ( bu sri)
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusLuar biasa pak
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusAlhamdulillah saya suka mengoleksi dan berburu buku.
BalasHapusMantap Pak
HapusLuar biasa menginspirasi
BalasHapusMantap sekali pak. Sangat menginspirasii..
BalasHapusMantap dan luar biasa menginspirasi.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusBuku saya hbis dimakan banjir dan saya merasa zedih zekali
BalasHapusMasyaallah. Tentu sedih Om. Itu harta yang sangat berharga
Hapushebat Gus sangat menginspirasi
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusMasya Allah, pak. Luar biasa.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSelalu penuh dengan inspirasi. Four thumbs up, as always 👍👍👍👍
BalasHapusTerima kasih
HapusTrimakasih pak. Mugi saget nulari...
BalasHapusAmin
HapusSemoga sy bs mengikuti jejak he he, buku saya banyak entah brp jumlahnya blm semua terbaca walau membelinya ketika masih kuliyah di Malang, dan sy anak oenjual buku, buku buku yg tdkblaku jual dan sy tertarik sy ambil seblm dikilokan, sayang buku sy tdk menetap tempatnya kesana kemari ada yg blm pulang he he
BalasHapusAmin. Monggo terus membaca dan menulis
HapusWow... Inspiratif
BalasHapusSangat Inspiratif. Semoga virus ini menular...
BalasHapusAmin
Hapus