Antologi
Ngainun Naim
Proses menekuni dunia menulis yang saya alami sangat dinamis. Saya pernah mengalami jatuh bangun berkali-kali. Pernah lama jatuh dan tidak segera bangun. Saya kira kondisi semacam ini sifatnya universal. Artinya, dalam bidang kehidupan yang sangat luas, kita semua pernah mengalaminya. Pernah sangat bersemangat, cukup bersemangat, kurang bersemangat, dan tidak bersemangat sama sekali
Penulis profesional yang produktif dan memiliki jam terbang tinggi pun mengalami hal yang sama. Karakteristik manusia memang semacam itu. Aspek yang berbeda adalah bagaimana segera menyadari ketika semangat menurun dan strategi untuk mengatasinya. Penulis profesional biasanya—tetapi tidak selalu juga—segera bangkit dan menulis, sementara yang belum profesional biasanya—tetapi juga tidak selalu—menikmati kondisi semangat yang menurun.
Salah satu cara yang bisa dipilih untuk menjaga semangat menulis adalah ikut antologi. Ya, menulis buku keroyokan. Tulisan banyak orang yang dikumpulkan menjadi satu buku.
Di kampus tempat saya bekerja, sejak pandemi sudah menghasilkan beberapa buku antologi. Temanya bermacam-macam, tergantung kesepakatan. Biaya penerbitan ditanggung bersama.
Sekarang saya sedang mengerjakan editing sebuah buku antologi yang temanya unik, yaitu Jangan Blendrang. Jika Anda bukan orang Jawa mungkin agak kesulitan memahaminya, walaupun sangat mungkin di tempat Anda juga ada jangan blendrang. Sayur kemarin yang dihangatkan untuk dikonsumsi hari ini itulah yang disebut jangan blendrang.
Untuk apa menulis antologi dengan tema tidak ilmiah semacam ini? Tentu ada banyak alasannya. Buat saya sendiri ya buat meyakinkan banyak kawan bahwa mereka bisa menulis buku. Paling tidak dalam hidup mereka pernah memiliki buku yang ada nama mereka di dalamnya. Masak dalam hidup hanya memiliki buku tabungan dan buku nikah saja. Kan keren jika memiliki buku antologi.
Apakah yang terlibat dalam menulis di buku antologi belum mampu menerbitkan buku secara mandiri? Jangan salah. Sejauh pengalaman dan pengamatan, banyak yang sudah memiliki buku mandiri. Meskipun demikian, mereka tetap bersemangat menulis antologi. “Sensasinya berbeda”, kata salah seorang teman.
Namun ada juga kawan yang sudah ikut menulis puluhan buku antologi. Rupanya itu menjadi daya dorong untuk berani menulis buku mandiri. Jadi dari menulis antologi menjadi menulis buku mandiri.
Saya teringat kawan saya Agung Nugroho Catur Saputro, dosen di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta yang menulis buku keren, Ketika Menulis Menjadi Sebuah Klangenan (2018). Di buku tersebut Agung menulis bahwa menulis antologi itu merepresentasikan keseriusan dan kebersamaan di antara sesama penulis. Terbitnya sebuah buku antologi merupakan ikhtiar serius untuk menghidupkan budaya literasi.
Adanya buku antologi menunjukkan bahwa di negeri ini masih ada yang peduli dengan dunia literasi. Kata Agung Nugroho, “Buku karya antologi adalah simbol kepedulian, simbol kebersamaan, simbol persatuan, dan simbol bersatunya hati dan pikiran para penulisnya”.
Nah, jika ada tawaran antologi, meskipun harus membayar, sebaiknya diikuti. Itu sarana belajar yang baik. Persoalan membayar itu saya kira wajar, asal membayarnya juga wajar. Tidak sangat mahal. Jika tulisan yang dibuat belum layak terbit di penerbit mayor, berharap mendapatkan royalty dari tulisan kita itu kok berlebihan. Saatnya belajar, investasi, dan jika perjuangan sudah dilakukan secara konsisten, saat mendapatkan honor itu sesungguhnya sebuah berkah. Salam.
Trenggalek, 30 Agustus 2020
Siap menunggu terbitnya sang blendrang
BalasHapusDoakan semoga lancar
HapusMembaca alenia ke enam menggelitik untuk senyum-senyum sendiri, Pak DR Naim bercanda, canda motivasi ha ha...
BalasHapusHe he he
HapusMenulis antologi bagi saya adalah wadah untuk mengasah rasa percaya diri dalam menulis. Terimakasih prof untuk tawaran-tawaran antologinya.
BalasHapusSama-sama belajar Bu
HapusAsikkk buku antologi, bida menyatukan karya ...
BalasHapusBegitulah
HapusMengena sekali, semoga ini menjadi motivasi khususnya buat saya, Terimakasih...
BalasHapusSama-sama
HapusYa Pak, menginspirasi. Terima kasih
BalasHapusSama-sama
HapusYang saya,alami..justru di alenia kedua.. Ada rasa bersalah karena belum bisa konsisten menulis setiap hari 😊🙏🙏 atas motivasinya..
BalasHapusSama-sama
HapusSelamat menulis buku
BalasHapusSebagai pegiat literasi jalur Antologi tersanjung pokoknys.nulis dan bukukan
BalasHapusMari terus merawat spirit literasi ya Bu Kanjeng
Hapushebat dg antologi ada rasa kesatuan dan persatuan
BalasHapusBegitulah
HapusPasang surut semangat menulis tidak jauh beda dengan kadar kondisi keimanan seseorang...
BalasHapusKetika imannya tipis, sombongnya minta ampun, lupa bahwa kita makhluk yg lemah....
Begitu juga sebaliknya
Terima kasih tambahan perspektifnya Pak Ketua
HapusSpektrum jangan blendrang ternyata cukup luas, dari jawa timur mataraman sampai arekan mengenal istilah yg sama. Jarang2 ada sayuran yg namanya menglokal, apalagi jenis kuliner minor.
BalasHapusNah, ini yang menarik
HapusBenar sekali adanya bahwa, karya antologi adalah simbol kebersamaan, simbol persatuan, simbol kepedulian.
BalasHapusTerimakasih Bapak, tulisan yg jadi suntikan motivasi
Sama-sama
HapusAlhamdulillah dapat tambahan ilmu. Tapi kapan tulisan saya menjadi buku
BalasHapusAmin. Kapan jadi buku? Tulisan ibu sudah banyak. Tinggal kumpulkan, beri judul, dan segera terbitkan. Insyaallah jadi buku
HapusMenulis antologi juga ada manfaatnya. Saya bisa belajar dari tulisan teman-teman
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusMsih berproses untuk bisa menulis... Bismilah.. Berawal dr ikut kroyokan..smg bs segera mnerbitkn buku solo.
BalasHapusAmin
HapusAntologi itu apa pak prof🙏
BalasHapusBuku yang ditulis oleh banyak orang. Foto di atas adalah contohnya.
HapusAlhamdulillah saya juga sudah punya 7 buku antologi. Belum bisa buku mandiri. Tetapi tetap semangat....
BalasHapusMantap Bu
Hapussatu tema dengan beragam tulisan
BalasHapusseneng baca pemikiran penulis lain
menambah wawasan juga
terima kasih utk motivasinya pak doktor
Sama-sama Bu
HapusYang menukik dari tulisan ini adalah, masak kita cuma memiliki buku tabungan dan buku nikah? Sampek ditulis tebal... Disitu tersirat mana buku karya kita sendiri??
BalasHapusSi Blendrang kita tunggu prof.
Mohon doanya. Naskah dikerjakan di sela kesibukan yang padat.
HapusHarkat dan martabat sayur blendrang terangkat. Energinya mbarokahi penulisnya.
BalasHapusAmin
HapusSaya suka di kalimat, buku karya antologi adalah simbol kepedulian ... Betul 👍
BalasHapusTerima kasih
Hapus