Kisah Kasih dengan Orang Terdekat
Judul Buku: A Cup of Tea, Kasih Kasih Keluarga
Penulis: Mianto Nugroho Agung, dkk
Penerbit: Fire Publisher Pati
Edisi: 2020
Tebal: vi+140 halaman
Ngainun Naim
Kisah dengan orang-orang terdekat adalah kisah yang tidak mudah diungkapkan dalam tulisan. Ingatan, kenangan, dan pengaruhnya membekas kuat sepanjang hidup. Buku ini contohnya.
Saya menerima buku ini dari “Bu Kanjeng” Sri Sugiastuti. Saya baca buku ini secara “ngemil”. Setiap ada kesempatan saya baca buku. Butuh waktu sekitar seminggu untuk menamatkan buku ini.
Kisah demi kisah di dalam buku ini sungguh menyentuh aspek kemanusiaan kita. Relasi erat dengan orang-orang terdekat tidak akan tergantikan. Tulisan yang keluar dari hati bisa masuk ke hati.
Natalia Susiana, misalnya, berkisah panjang lebar tentang bagaimana ia mendampingi ibunya—beliau memanggil Mbah—di ujung usia dengan penuh perjuangan. Sungguh tidak mudah. Cara bertuturnya sangat detail. Terlihat dari kisahnya Natalia Susiana memiliki pengetahuan kesehatan yang cukup baik. Terbukti ada banyak hal-ikhwal medis yang beliau tulis dengan baik. Emosi saya terlibat masuk dalam menelusuri deretan kalimat yang sangat indah dan menyentuh.
Peng Kheng Sun yang menekuni dunia literasi dan banyak menawarkan kreasi-inovasi ternyata memiliki akar dari masa kecilnya. Temuan demi temuannya ternyata terinspirasi dari mainan di masa kecilnya yang dibuatkan oleh Papanya. Mainan tersebut menorehkan pengaruh sangat dalam di kemudian hari.
Tulisan Suprihatono Sardi, “Malam Pertamaku Bersamamu”, berkisah tentang Andi dan Srikandi. Tulisan ini seperti cerpen. Pembaca sangat mungkin menebak ini adalah kisah hidup penulisnya yang diolah menjadi cerpen. Namun bisa juga ini kisah orang lain. Kisah tentang bagaimana pasangan pengantin Andi dan Srikandi yang pada malam pertama justru harus berpisah. Andi harus pergi ke Tegal dari rumah mereka di Kudus karena harus mengikuti sumpah jabatan sebagai PNS.
Rinz Yummeina Ryuri menulis tentang kasih saying, keluarga, penuh prestasi, dan idealis. Saat masuk kuliah, gagal diterima di PTN. Luluh lantak perasaannya tetapi orang tuanya dengan penuh kasih saying menguatkan. Ia pun bangkit, berproses, dan menekuni dunia menulis.
Tulisan lain yang juga menarik adalah anggitan Mansyur Arta Qomarudin. Menurut saya, bahasanya sangat indah, puitis. Kisah di masa kecil yang sulit dalam matematika terpecahkan dengan metode jaritmatika yang diajarkan oleh bapaknya saat mereka di sawah. Satu bagian yang menarik dari tulisan Mansyur adalah pernyataannya bahwa guru hebat itu dapat tercipta melalui Pendidikan tinggi namun guru berkarakter hebat hanya mampu terwujud melalui tempaan pengalaman hidup.
Mianto Nugroho Agung berkisah dengan sangat menyentuh tentang neneknya. Namanya Rukayati, akrab dipanggil Mbah Ti. Nenek yang meninggal di usia 93 tahun tersebut mengisi hidupnya dengan kebajikan. Prinsip hidupnya ini dipegang teguh. Bagi Mbah Ti, kebajikan itu abadi. Setiap kebajikan akan menuai hasilnya. Jika bukan kita maka yang menuai kebajikan itu bisa jadi anak atau bahkan cucu kita.
Kisah demi kisah di buku ini sungguh luar biasa. Semuanya menarik. Beberapa yang saya sebutkan di atas adalah contoh bagaimana kasih sayang—kepada siapa pun dan dalam bentuk apa pun—sungguh tidak mudah diekspresikan. Tulisan di buku ini saya yakin tidak mampu mengungkapkan semuanya. Pada tulisan di buku ini kita selayaknya belajar tentang kasih sayang dalam kehidupan.
Sebagai penutup, saya terkesan dengan Kata Pengantar yang dibuat oleh Bapak Ludwig Suparno. Beliau menulis,
…Saya juga gemar menulis, dan hingga umur hamper 80 tahun sekarang ini saya tetap menulis. Saya harus belajar menulis kisah agar menarik, memang demikian sesuai dengan motto hidup membaktikan diri saya “Learning Never Stops”. Bagi siapa pun yang mau menulis artikel, kisah pendek, cerpen sampai menulis buku yang lengkap dua ratus halaman lebih, belajarlah terus.
Kutipan pendapat Bapak Ludwig Suparno, menurut saya, sungguh berenergi. Lewat tulisan itu beliau mengajak untuk terus belajar. Ketika seseorang telah merasa cukup dan tidak mau belajar maka kemampuannya akan status. Begitu juga dengan dunia menulis.
Lengkap Pak Naim literasinya...kutipannya juga sangat menarik " learning never stop " ( bu sri )
BalasHapusAlhamdulillah, buku yang saya kirim menemui prmbacanya Terima kasih untuk.diapresiasinya
BalasHapusSama-sama Bu Kanjeng
HapusLuar biasa...para guru tulisannya...👍
BalasHapusSangat menginspirasi...terima kasih
Terima kasih
HapusLuar biasa Prof. Kutipan terakhir sangat menginspirasi..
BalasHapusMatur nuwun, Pak Naim sudah berkenan mengapresiasi tulisan saya. Menambah semangat saya untuk terus menulis. Salam literasi.
BalasHapusInggih Bu. Sami-sami. Salam literasi.
HapusInspiratif kisahnya
BalasHapusMatur sembah nuwun Bu In
HapusAda satu hal yang sangat menarik yang dapat saya petik dari tulisan yang pak Naim unggah tersebut yaitu cara membuat resensi yang sangat apik dan mengalir dengan enak. Tentu ini sebuah pembelajaran yang bisa jadikan acuan dalam penulisan resensi. Mantap.
BalasHapusMari sama-sama belajar Pak Sam
HapusTerima kasih Bp Na'im, tulisannya selalu menginspirasi..usia tidak menjadi kendala spirit literasi yang luar biasa
BalasHapusTerima kasih
HapusMengisahkan kisah orang terdekat memang sulit, terlebih kisahnya rumit dan menyedikan,jadi ingatan sepanjang tulisan terbaca.
BalasHapusBetul Bu
HapusInspiratif, terimakasih atas pelajarannya prof... Saya masih terus belajar menulis yang isinya mengalir, ringan dibaca namun penuh makna...
BalasHapusTeruslah belajar. Jangan pernah bosan.
HapusTerima kasih telah mengapresiasi tulisan saya, terlebih buku yang diinisiasi oleh komunitas penggemar menulis. Enerji yang dialirkan Pak Naim sunguh menggugah gairah untuk terus menulis. Slam hormat.
BalasHapusTerima kasih kembali Pak. Salam.
HapusSemoga menjadi inspirasi dan semangat utk pembaca... Tuhan memberkati
BalasHapusAmin
HapusSebuah narasi yang mudah dicerna dan sarat makna, terima kasih Bapak, mampir lagi ya Bapak
BalasHapusSiap Pak
Hapus