Kisah Para Pemburu Buku

Oktober 16, 2020

 

Judul Buku: Atas Nama Buku, Memoar Teladan Para Pembelanja Buku

Penulis: M. Ginanjar Eka Arli, Dkk.

Penerbit: Dio Media

Edisi: Juni 2017

Halaman: 440 halaman

 


Buku adalah pesona. Ia mengandung magnet bagi para pemburunya. Di mana pun ia berada, ia senantiasa terendus. Para pemburu buku acapkali tidak rasional berhadapan dengan buku. Demi buku, apa pun akan dilakukan. Uang habis, berhutang, dan bahkan kelaparan adalah hal biasa yang tidak menakutkan.

Sayang, tidak banyak yang tahu bagaimana pengalaman personal para pemburu buku. Padahal, heroisme mereka sesungguhnya sangat luar biasa. Apa yang mereka lakukan bukan sekadar bagaimana membeli buku, tetapi ada banyak sisi unik yang inspiratif.

Tulisan yang berkisah tentang bagaimana para pecinta buku mencari buku bukan sekadar kisah semata. Ada banyak hikmah, nilai, dan manfaat yang bisa diaktualisasikan dalam kerangka yang luas.

Buku yang sangat tebal ini mengisi kekosongan tentang kisah para pembeli buku. Membaca kisah demi kisah di dalam buku ini sungguh inspiratif. Salah satu yang bisa dipetik dari kisah mereka adalah kritik terhadap rendahnya budaya membaca, termasuk di kalangan mahasiswa. “Mahasiswa sekarang sibuk mencari colokan charger smartphone ketimbang mencari dan membaca buku”, kritik Rizky Pujianto (h. 182).

Kritik ini sesungguhnya tidak berlebihan. Padahal membaca buku itu memiliki manfaat yang sangat banyak. Kata M. Dalhar, “Buku membentangkan sebuah kisah panjang, menjadi teman dialog, menumbuhkan semangat, mengundang kepiluan, menertawakan hidup, mempertanyakan makna masa depan, dan entah apa lagi” (h. 396).

Dibandingkan dengan buku tampaknya mahasiswa sekarang lebih akrab dengan smartphone. Generasi penerus intelektual ini lebih resah pulsa paket internet habis daripada membeli buku. Mereka rela berhutang demi membeli pulsa daripada berhutang demi buku. “Berhutang buku adalah sebuah kehormatan. Banyak yang berhutang demi buku, termasuk Bung Hatta”, sergah Fildzah Syafarina (h. 244).

Berhutang sesungguhnya bukan hanya untuk membeli buku saja. Cerita banyak penulis di buku ini menegaskan bahwa berhutang itu juga berkaitan dengan isi buku. Ya, berhutang membaca. Membeli buku itu penting. Memiliki buku juga penting. Tetapi yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana buku demi buku yang telah dimiliki ditelusuri halaman demi halaman sampai tuntas. Jika belum dibaca berarti menanggung hutang yang harus ditunaikan.

Mereka yang mencintai buku memiliki geneaologi yang unik. Ada yang memang sejak kecil keluarganya sudah akrab dengan buku. Ada yang mulai menyukai membaca sejak di pesantren. Ada yang mulai mengenal aktivitas membaca di kampus atau di tempat kursus. Dan semaunya bermuara pada satu hal, yakni tradisi membaca itu harus terus disemai. Tidak penting lagi bagaimana tradisi bermula. Aspek yang jauh lebih penting adalah bagaimana tradisi itu dijaga, dikelola, diberdayakan, dan dikembangkan secara lebih optimal.

Elliya Nuril yang membuat catatan berjudul “Berkah Buku” menceritakan bahwa pesantren adalah tempat yang membuat tradisi membacanya tersemai. Ia menulis bahwa, “pesantren adalah gudang para penikmat literasi” (h. 249). Pesantren pula yang membuatnya bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan jualan buku. Tidak hanya itu, bonus wawasan luas juga diperoleh karena setiap buku yang dijual dibaca terlebih dulu. Usai pesantren dan kuliah, hidup Elliya tetap berkaitan dengan buku. Maka wajar jika ia merasa bahwa hidupnya diikat oleh satu kata, “berkah buku”.

 

Harta Karun

Buku demi buku yang terkumpul adalah harta karun. Juga kebanggaan. Bisa juga pencitraan. Tergantung niat, tujuan, dan perspektif yang digunakan. Namun demikian memiliki buku bukan berarti selalu menyenangkan. Bagi pemiliknya jelas menyenangkan. Tapi bagi orang lain belum tentu.

Itulah yang dialami oleh Istifarwati Hafidzah Sudarsono. Minat membacanya disemai sejak kecil oleh ayahnya. Minat itu terus berkembang pesat seolah tanpa kendali. Membaca dan membeli buku menjadi bagian dari ritme hidup yang begitu menyenangkan. Sampai suatu ketika muncul larangan untuk membeli buku. Dan yang melarang itu adalah ibunya.

Tentu, larangan ini sangat menyiksanya. Tidak mudah bagi orang yang sudah kecanduan buku sebagaimana Istifarwati untuk menghentikan membeli buku. Beberapa kali ia melanggar larangan itu. Dan beberapa kali pula ketahuan ibunya. Akar masalahnya satu, yaitu tempat yang sudah tidak memadai lagi.

Akibat larangan itu, Istifarwati berusaha membaca buku di tempat lain. “Saya lebih sering nangkring lama sampai betis bengkak demi membaca buku gratis”, tulisnya (h. 258). Hal itu dilakukan karena buku memiliki peranan yang sangat penting bagi Istifarwati. Buku bukan sekadar “pelepas dahaga” yang sifatnya tentatif. “Kita perlu buku sebagaimana oksigen yang berkolaborasi dengan hemoglobin dan jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh agar kesehatan individu tetap terjaga” (h. 262).

Penulis demi penulis di buku ini menuturkan bagaimana pergulatan mereka dalam berburu dan membaca buku. Sungguh, membaca kisah mereka di buku super tebal ini dapat menjadi energi tersendiri dalam mengarungi dunia literasi yang luas tak bertepi.

 

Ngainun Naim, Pembaca buku dan penulis.

 

12 komentar:

  1. Bingung lekne Ajeng komentar... Mm ungkin kalau saya baca 440 halaman tidak katam-katam.hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. He he he. Sama saja Pak. Saya membacanya secara "ngemil", sedikit demi sedikit.

      Hapus
  2. Jadi ingat sebelum menikah saya kredit buku buku tebal, supaya saat menikah bila kebutuhan keluarga banyak maka buku sudah terkumpul

    BalasHapus
  3. Benar Pak saya termasuk pemburu buku, waktu kuliah pernah jual gelang emas yang baru saya beli ketika ada bazar buku di balai rakyat Tulungagung. Dan kini entah sebenarnya gak ada dana untuk beli buku, tetap beli entah hutang ataupun uang anak..toh nanti buat mereka juga kalau.hehhe.. pernah ikut essai judulnya "Aku, Buku dan Membaca" walau gak menang, di sana saya tulis manfaat buku dari buku La Tahzan bahwa buku adalah teman duduk yang paling setia, dia tak pernah bohong pada kita hehehe..buku adalah sahabat setia kita.. saya kalau sedang galau baca buku bisa sembuh... menulis juga bisa sembuh tapi belum punya buku solo... Alhamdulillah bergabung dengan grup penulis hebat.. semoga bisa tertular..mohon bimbingannya pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perjuangan luar biasa. Mari terus menulis. Insyaallah bermanfaat.

      Hapus
  4. Kisahnya mengingatkan perburuan saya pada dua buku yang sangat luar biasa, yang pertama bukunya Ary Ginanjar Agustian yang berjudul ESQ. Untuk memiliki buku ini saya membutuhkan waktu 3 tahunan. dan yang kedua adalah buku yang berjudul ThePower of Reading karya Prof. Ngainum. Mungkin sudah sekitar 3 tahunan samapi sekarang belum mendapatkannya.

    BalasHapus
  5. Buku adalah barang berharga yg sangat menyenangkan. Saya lebih suka koleksi buku dari pada yg lain. Salut sama pemburu-buru buku, yang rela berkorban demi mendapatkan ilmunya. Thanks pak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berapa persen mahasiswa yang bernafsu terhadap buku hingga level tertentu bisa menjadi bidang kajian atau tema riset yang menarik.

      Hapus
  6. Banyak membaca buku pasti membuat berbeda, dimanapun dia berada

    BalasHapus
  7. Membaca buku dapat mengisi seseorang yang lagi kesepian...
    Buku bikin candu...
    Bermanfaat sekali Prof.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.