Potret Ayah Teladan

Oktober 24, 2020

 

Judul Buku: Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya

Penulis: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, Halida Nuriah Hatta

Penerbit: Kompas Jakarta

Cetakan: 1, 2015

Tebal: x+294 halaman

ISBN: 978-979-709-988-6.

Kategori Buku: Biografi


 

Satu teladan lebih dahsyat dibandingkan seribu nasihat. Pepatah ini secara jelas menunjukkan efektivitas dan signifikansi teladan. Jika ingin membangun karakter seorang anak, maka berikan teladan secara langsung. Cara ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan ceramah berbusa-busa tetapi minus contoh nyata.

Teladan utama seorang anak adalah orang tua. Orang tua yang menghabiskan sebagian besar waktunya bersama anak-anaknya. Orang tua pula yang membangun konsepsi, menorehkan mimpi, dan menjadi titik pijak anak-anaknya dalam menapaki jalan kehidupan. Oleh karena itu, sedapat mungkin orang tua memberikan yang terbaik buat anak-anaknya.

Teladan orang tua adalah pembentuk utama karakter anak. Apa yang diajarkan oleh orang tua, baik dalam bentuk ucapan atau tindakan, akan menancap kuat dalam kesadaran anak. Karena itu, perilaku anak merupakan cerminan karakter orang tuanya. Bahkan sepanjang usia si anak, pengaruh itu masih akan tetap terasa.

Pengaruh seorang ayah dirasakan sedemikian kuat menancap pada tiga putri Bung Hatta. Mereka adalah Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Bagi ketiga putri Bung Hatta, ayah mereka adalah teladan dalam makna yang sesungguhnya. Hampir semua hal yang ada dalam diri Bung Hatta berada dalam garis linier, yakni selaras antara ucapan dengan tindakannya. Kondisi inilah yang menjadikan Bung Hatta seorang figur dengan integritas tinggi, baik di mata keluarga atau masyarakat Indonesia secara umum.

Buku yang ditulis oleh tiga putri Bung Hatta ini bisa diposisikan sebagai praktik pendidikan karakter. Bung Hatta tidak sedang berdebat secara teoritis. Melalui buku ini ketiga putri Bapak Koperasi Indonesia menjelaskan bagaimana pendidikan karakter itu diimplementasikan. Kunci yang selalu berusaha dilakukan oleh Bung Hatta adalah satunya kata dan perbuatan.

Saat Bung Hatta mengajarkan kepada ketiga putrinya tentang pentingnya membaca, beliau sudah melakukannya nyaris sepanjang hidup beliau. Anak-anaknya, sebagaimana ditulis di buku penuh informasi dan teladan ini, menulis secara detail dan dilandasi oleh penghayatan yang mendalam tentang bagaimana Bung Hatta menjalani ritual membaca. Semuanya berlangsung dalam ritme yang sangat rapi dan teratur.

Demikian juga dengan disiplin. Jadwal kegiatan sehari-hari diatur secara cermat dan detail. Semua anggota keluarga Bung Hatta mengetahui secara pasti apa saja kegiatan rutin beliau. Dalam soal disiplin, Bung Hatta adalah teladan terdepan. Dan sifat disiplin ini menjadi karakter yang ditularkan kepada keluarganya, termasuk ketiga putrinya.

Bung Hatta sudah wafat pada tahun 1980. Puluhan buku yang mengulas tentang sosok beliau telah ditulis. Berbagai perspektif telah digunakan untuk meneropong sosok yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia tersebut. Namun demikian, selalu tersedia ruang kosong untuk dimasuki. Selalu terdapat celah di mana sisi itu belum dieksplorasi dan dimunculkan ke ruang publik.

Satu perspektif yang belum pernah ditulis adalah perspektif ketiga putri beliau. Memang putri beliau sudah ada yang menuliskan kenangan tentang sang ayah, tetapi itu dilakukan secara pribadi. Karena itu menjadi menarik tatkala tiga putri Bung Hatta menulis tentang sang ayah secara bersama-sama dalam sebuah buku seperti buku ini.

Bagian terbanyak dalam buku ini ditulis oleh Meutia Farida Hatta. Putri tertua Bung Hatta  yang kini merupakan guru besar antropologi Universitas Indonesia menulis kata pengantar yang cukup panjang. Tulisannya menghadirkan potret sosok ayahnya dari berbagai perspektif. Di dalam ulasannya yang panjang lebar, Meutia menceritakan betapa pengalaman hidupnya sungguh unik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai anak seorang tokoh besar. Tentang ayahnya, Meutia secara tegas menyebutnya sebagai ”Payung dan Pengarah Hidup”. Pilihannya untuk menekuni bidang antropologi sampai menjadi seorang guru besar tidak bisa dilepaskan dari kiprah ayahnya.

Paparan Meutia tentang ayahnya sangat menyentuh sisi kemanusiaan. Meutia bercerita dengan paparan yang membuat emosi pembaca larut dalam alur yang runtut. Diceritakan tentang bagaimana keseharian Bung Hatta sejak menjabat sebagai Wakil Presiden sampai Bung Hatta usia senja. Terlihat jelas di paparannya bagaimana ia mengagumi sepenuh hati ayahnya yang serba disiplin, teguh pendirian, rapi, halus budinya, dan jujur. Ditinjau untuk konteks sekarang ini, sosok Bung Hatta yang serba lurus seolah menjadi cahaya di tengah kehidupan sosial politik yang kini semakin redup karena belitan anomali yang kompleks.

Pada diri Bung Hatta terdapat segenap keteladanan dalam mengelola negara. Kepentingan negara menjadi hal yang utama dalam hidup Bung Hatta. Beliau sangat benci terhadap segala hal yang merugikan negara. Demi negara, beliau sampai menikah di usia tua.

Semua pihak mengakui bahwa hidup Bung Hatta sedemikian lurus. Begitu lurusnya sehingga banyak pihak yang menilai jika beliau itu kaku. Tidak sedikit pihak yang kemudian tidak suka terhadap beliau karena kepentingannya terganggu. Bahkan ketidaksukaan itu diwujudkan dalam intrik politik kotor.

Buku ini menjadi menarik karena tidak hanya menghadirkan berbagai keteladanan dari sosok Bung Hatta. Ada berbagai informasi baru yang ditulis di buku ini, di antaranya tentang perlakuan tidak adil terhadap Bung Hatta. Perlakuan semacam ini berlangsung semenjak era Orde Lama, Orde Baru, bahkan hingga era Reformasi sekarang ini. Informasi semacam ini menjadikan buku ini berbeda dengan buku-buku lain yang menulis tentang Bung Hatta.

Perbedaan politik membuat Bung Hatta berbeda jalan dengan Bung Karno. Beliau mengambil keputusan bulat mundur sebagai Wakil Presiden. Semenjak tidak menjadi Wakil Presiden, beliau mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan, di antaranya mengajar di beberapa perguruan tinggi. Faktor politik menjadikan beliau mendapatkan perlakuan tidak adil.  Beliau dilarang mengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti UGM, Universitas Pajajaran, dan Universitas Hasanuddin. Padahal, Bung Hatta memiliki jasa besar pada universitas-universitas tempatnya mengajar. Bahkan Universitas Hasanuddin bisa berdiri karena peran Bung Hatta.

Penzaliman terhadap Bung Hatta, sebagaimana ditulis oleh Gemala Rabi’ah Hatta, juga dilakukan dalam bentuk pelarangan terhadap artikel-artikel beliau di media massa. Orang-orang yang tidak memperdulikan terhadap larangan tersebut mendapatkan sangsi berat. Beberapa orang ditangkap dan dipenjara.

Naamun demikian, di antara beberapa bentuk penzaliman yang betul-betul menorehkan luka batin mendalam pada ketiga putri Bung Hatta adalah tuduhan bahwa Bung Hatta terlibat dalam upaya menggoyang kekuasaan Orde Baru. Secara panjang lebar Meutia menulis tentang hal ini. Nada tulisannya terlihat emosional. Secara argumentatif Meutia menyatakan bahwa semua tuduhan itu tidak lepas dari konspirasi jahat orang yang bernama Sawito. Sawito memanfaatkan kejujuran dan ketulusan Bung Hatta untuk tujuan politis yang justru mencemarkan nama baik Bung Hatta.

Ada begitu banyak upaya penzaliman terhadap Bung Hatta, termasuk bagaimana namanya disamarkan dan diupayakan untuk dihilangkan dari peta sejarah Indonesia. Namun semua itu tidak akan mampu menghilangkan fakta bahwa Bung Hatta adalah sosok yang penuh keteladanan. Saat realitas penuh kelicikan dan ketidakwarasan seperti sekarang ini, justru kerinduan terhadap sosoknya semakin menguat.


 

6 komentar:

  1. Saya juga pengagum Bung Hatta, pak. Terutama saat beliau berpindah2 tempat, tapi tak lupa selalu membawa sekitar 6 peti berisi buku2. al Fatihah

    BalasHapus
  2. Terimakasih bapak, mohon izin menjadikan tulisan bapak sebagai referensi ketika mengulas sebuah buku🙏

    BalasHapus
  3. Tokoh besar yang banyak berjasa bagi Bangsa Indonesia

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.