Menulis, Bersyukur, dan Eksistensi Diri
Ngainun Naim
Seorang kolega beberapa waktu lalu mengirimkan pesan WA. Beliau seorang pembaca yang aktif dan penulis, namun—menurut pengakuannya—tidak terlalu produktif. Inti pesan beliau adalah mengapa saya bisa terus menekuni dunia menulis sampai sekarang ini.
Jujur saya bingung menjawabnya. Saya jauh dari apa yang beliau tulis. Menurut pengalaman subjektif saya, kata "produktif" masih jauh dari diri saya. Begitu juga dengan kualitas. Intinya masih banyak yang jauh lebih produktif dengan karya yang juga jauh lebih berkualitas.
Saya cukup lama terdiam. Pikiran berkecamuk. Beberapa kemungkinan jawaban saya susun. Tibalah kemudian saya pada sebuah jawaban yang kemudian saya tulis di WA. “Saya hanya ingin mensyukuri anugerah bisa menulis dengan menulis”.
Usai mengetik segera saya kirim. Tetiba saat senggang jawaban itu membuat saya tidak tenang. Ah, saya kok bergaya religius. Betulkah saya menulis sebagai aktualisasi dari rasa syukur?
Semoga ia, walaupun mungkin kadarnya rendah. Bukan kadar tinggi sebagaimana alim ulama yang rasa syukurnya sudah mendarah daging. Saya baru level belajar. Jadi jauh dari idealitas syukur yang sesungguhnya.
Alasan lainnya adalah eksistensi diri. Mungkin Anda membacanya sebagai kesombongan. Itu pandangan yang sah. Sebuah teks ketika dibaca orang sudah bukan milik penulisnya. Saya tidak berwenang lagi terhadap yang saya tulis. Semuanya boleh menafsirkan.
Saya cukup lumayan lama menulis, mengajak menulis, melatih menulis, dan ada sebagian orang yang mengenal saya sebagai penulis. Tentu hanya penulis kelas bawah. Bukan penulis level intelektual kelas hebat yang karyanya bertebaran di jurnal-jurnal internasional bereputasi. Meskipun demikian saya cukup menikmatinya. Saya tetap menulis dan akan terus menulis sepanjang saya mampu. Itulah yang saya maksud dengan eksistensi diri.
Alasan lainnya? Banyak. Tulisan ini akan saya akhiri dengan cukup menjelaskan dua alasan di atas. Terima kasih.
Trenggalek, 9 Desember 2020
Kalau pak Ngainun merasa penulis kls bawah, sy yg pemula ini di mana hehe
BalasHapusHe he he
HapusBagus Pak...saya ingin bisa menulis...seperti yang Bapak lakukan...semoga Allah memmapukan Aamiin...
BalasHapusAaminn
HapusEksistensi diri yg mengisnpirasi orang lain
BalasHapusterima aksih pak kyai, selalu menginspirasi kami
BalasHapusSama-sama Om
HapusMenginspirasi pak
BalasHapusTerima kasih
HapusTerimakasih Pak..
BalasHapusMemotivasi, menginspirasi
Sehat selalu
Amin. Terima kasih.
HapusSangat inspiratif, pak. Thanks pak. Sy menilai bapak sbg penulis produktif yg sll memberikan support untuk kami dlm menulis.
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusSangat keren pak prof...eksistensi diri dengan tulisan...apakah sebelumnya harus punya bakat menulis pak prof.?
BalasHapusMenulis saja. Tidak usah berpikir soal bakat.
HapusWah keren prof, ini menjadi motivasi saya untuk terus belajar menulis prof
BalasHapusMari terus menulis
HapusSebuah dialog dalam dunia psikis, yang jujur, tawaduk, saya juga merasa seperti itu pak Doktor.
BalasHapusDisisi lain saya berpikir bahwa penulis hebat itu bisa menyentuh psikis, seolah olah pembaca juga mengalaminya sendiri, atau beda tadi tidak dituliskannya.
Terima kasih Pak KS atas tambahan perspektifnya
HapusSama-sama pak Doktor, suatu saat insyaallah akan mampir ke rumah pak Doktor, entah ketemu atau tidak, semoga Allah nempertemukan dalam sehat dan kebaikan
BalasHapusAmin. Semoga bisa bertemu
Hapus"tulis saja. apapun. jgn hanya dipikirkan", yg selalu menginspirasi saya. terimakasih.
BalasHapusTerima kasih
Hapus