Membangun Tradisi Menulis di Kalangan Birokrat

Januari 31, 2021

 

Ngainun Naim


 

Dunia menulis Indonesia sedang menggeliat. Komunitas menulis tumbuh subur. Profesi-profesi tertentu menggerakkan literasi. Pelatihan juga terus digelar dengan peminat yang tidak sedikit. Penulis baru pun bermunculan.

Fenomena ini tentu menggembirakan. Spirit literasi yang tumbuh ini jika terus terawat dengan baik bisa menghadirkan budaya yang semakin kuat. Literasi pun pada akhirnya bukan sebatas slogan atau gerakan, tetapi telah bermetamorfosis menjadi budaya yang membumi. Tulisan demi tulisan dihasilkan. Buku demi buku diterbitkan. Betapa sangat indahnya.

Membangun budaya literasi tidak mudah, apalagi merawatnya. Spirit besar biasanya hanya di awal. Banyak yang ingin menulis tetapi tidak berproses. Jika pun berproses tidak tuntas. Berhenti di tengah jalan. Menulis itu awalnya merupakan perjuangan. Begitu juga saat sudah di tahap selanjutnya. Besar kecilnya perjuangan sesungguhnya berkaitan dengan kondisi personalitas. Semakin keras perjuangan dilakukan maka semakin besar peluang keberhasilan.

Pada titik inilah saya belajar pada Adrinal Tanjung. Sosok gigih dan birokrat tulen yang tidak pernah capek mengajak orang untuk terus menulis. Satu programnya yang kini ia kawal adalah Satu Birokrat Satu Buku (Sabi Sabu). Program ini penting sekali dalam kerangka membangun tradisi menulis buku di kalangan birokrat.

Sebagaimana dikatakan Ibu Sri Hadiati Wara Kustriani dalam acara “Peluncuran Buku SABISABU Satu Birokrat Satu Buku Bukan Birokrat Biasa#2” dan peluncuran website menulis online www.birokratmenulis.com” Sabtu 30 Januari 2021, bahwa salah satu kelemahan birokrat adalah menulis. Padahal ada banyak pengalaman selama duduk di birokrasi. Jika ditulis itu bisa menjadi legacy untuk para yuniornya. Tanpa ditulis, apa yang kita lakukan kita bawa sendiri. Birokrat bisa memulainya secara sederhana, misalnya, dengan satu hari satu paragraf. Terlihat sederhana tetapi jika dilakukan secara serius akan memiliki manfaat yang sangat besar.

Pada kegiatan tersebut kebetulan saya diminta menyampaikan testimoni. Tentu ini merupakan anugerah dan kehormatan yang luar biasa. Saya bisa bertemu dan mendengarkan paparan menarik para tokoh seperti Prof. Suhubdy, Ph.D., Dr. Sumarto, Pak Bambang Trim, Bapak Tri Widodo Wahyu Utomo, Yanuardi Syukur, dan sederet nama lainnya.

Pada kesempatan tersebut saya menyampaikan lima hal. Pertama, Adrinal Tanjung adalah sosok makhluk langka, out of the box. Saya menyebut demikian karena umumnya birokrat fokus pada jenjang karirnya, Adrinal Tanjung justru melakukan hal yang berbeda. Bukan berarti ia tidak mengurusi karir, tetapi ia juga menulis buku. Aktivitas ini kurang lazim di kalangan birokrat namun justru di sinilah keistimewaannya. Ia melakukan aktivitas kreatif-produktif yang justru bisa memberikan makna yang sangat penting.

Kedua, Adrinal Tanjung adalah sosok yang tidak pelit ilmu. Banyak orang pandai tetapi kepandainnya tidak untuk orang lain. Pandainya untuk diri sendiri. Ia kuatir jika ada orang yang bisa menyainginya. Ilmunya dianggap barang istimewa yang tidak boleh orang lain menguasainya.

Adrinal Tanjung berbeda. Ia tidak pelit ilmu, bahkan royal. Segenap pengetahuannya ia bagikan kepada banyak orang. Tidak hanya itu, ia juga mengajak dan memfasilitasi orang lain untuk menulis. Program Sabisabu adalah bukti nyata komitmennya. Ia terus berbagi untuk kemajuan bersama.

Ketiga, energi menulis Adrinal Tanjung sungguh luar biasa. Kesibukannya sebagai birokrat jelas padat, bahkan sangat padat. Namun kesibukan bukan alasan baginya untuk berhenti menulis. Saya yakin ia memiliki manajemen waktu yang sangat bagus. Jika tidak kecil kemungkinannya buku demi buku terus lahir tanpa jeda.

Keempat, Adrinal Tanjung adalah pembaca buku yang tangguh. Tulisan bermutu tidak lahir dari orang yang tidak pernah membaca buku. Kualitas dan produktivitas berkait-kelindan dengan tradisi membaca. Semakin kuat tradisi membaca maka semakin berkualitas dan produktif. Sebaliknya, semakin kurang juga jelas semakin tidak berkualitas tulisannya. Saya yakin terhadap tradisi membaca Adrinal Tanjung. Buku-bukunya yang kerap menyebut tokoh tertentu adalah buktinya.

Kelima, Adrinal Tanjung telah memulai tradisi yang sungguh luar biasa. Tugas orang yang didampingi beliau adalah merawat dan menumbuhkembangkan rintisan Adrinal Tanjung. Jika ini mampu dilakukan jelas akan luar biasa. "Seandainya 10 persen saja birokrat yang mau menulis buku, itu sungguh luar biasa", kata Bambang Trim.

Secara personal saya mengapresiasi dan mendukung upaya Adrinal Tanjung. Apa yang dilakukannya melengkapi gerakan Sagu Sabu (Satu Guru Satu Buku). Mari terus menulis agar hidup kita semakin bermutu.

 

Trenggalek—Tulungagung, 31 Januari 2021

14 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.