Menulis tentang Orang Tua (2)
Ngainun Naim
Saya selalu bersemangat mengajak siapa saja untuk menulis. Menulis, menurut pengalaman dan pemahaman saya, memiliki banyak manfaat. Sebagai orang yang sering mengajak untuk menulis maka saya juga harus menulis. Tentu naif jika saya mengajak untuk menulis tetapi saya sendiri tidak menulis.
Ajakan untuk menulis itu sering saya sampaikan di berbagai forum. Juga saya sampaikan di berbagai media sosial yang saya aktif di dalamnya. Bisa lewat facebook, instagram, blog, dan status WA. Status saya di beberapa jejaring sosial tersebut sebagian besar berisi ajakan untuk menulis.
Saya juga mendampingi banyak guru untuk menulis. Di Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek, sudah cukup banyak guru yang telah berhasil menerbitkan buku setelah saya dampingi. Di Grup WA Ma’arif Tulungagung, beberapa buku sudah terbit. Tentu ini fenomena yang menggembirakan. Saya berkeyakinan, semakin banyak guru yang menulis akan memiliki implikasi yang bagus bagi kemajuan dunia pendidikan.
Mengapa? Guru yang mau dan mampu menulis adalah orang yang secara langsung tertata pola pikirnya. Menulis itu berbeda dengan berbicara. Menulis itu mengharuskan adanya sistematika berpikir yang mapan. Semakin sering menulis tentu semakin terlatih untuk berpikir secara sistematis dan metodologis.
Menulis juga mengharuskan untuk membaca. Orang yang tidak pernah membaca akan kesulitan untuk menulis. Semakin banyak membaca semakin bagus karena berimplikasi pada dihasilkannya tulisan yang semakin berkualitas. Pembaca yang baik akan memiliki kosakata yang semakin kaya, pilihan kalimat yang baik, dan khazanah pengetahuan yang kaya.
Dengan membaca semoga belajar menulis semakin lancar,klo mau menulis tentang orang tua,outline ya mulai dari mana ya pak? Trins
BalasHapusSaat ini saya sedang menulis pelan-pelan tentang Almarhum Bapak. Sehari paling 2 paragraf. Kalau sedang senggang bisa lebih. Saya menulisnya berdasarkan ingatan Bu. Pokoknya nulis dulu. Nanti ditata kalau sudah banyak. Nah, catatan ini adalah bagian dari buku tentang Almarhum Bapak yang sedang saya tulis.
HapusSaya juga sudah mulai mas Doktor dapat 2 judul
Hapusmantap pak
HapusBetul sekali Prof. Menulis dan membaca adalah dua kegiatan yang tak bisa dipisahkan seperti sepasang kekasih romeo dan juliet hehehe.
BalasHapusHe he he. Terima kasih Omjay.
HapusAda yang pandai menulis, namun saat diajak bicara ternyata tak begitu mengasyikkan. Sebaliknya, ada yang pandai bicara namun minim tulisan.
BalasHapusMenurut Prof. Ngainun, wajarkah jika hanya dikembangkan salah satunya? Atau kita harus mengembangkan kemampuan bahasa verbal dalam (bersosialisasi atau public speaking misalnya) dengan bahasa tulisan?
Tidak ada manusia yang sempurna. Jika memang bisa mengembangkan kedua kemampuan berbahasa tentu ideal. Namun hidup itu kan pilihan. Bagi yang memilih untuk mengembangkan kemampuan menulis, tentu bagus. Mau mengembangkan kemampuan bahasa verbal, juga bagus. Tidak mengembangkan keduanya, juga silahkan. Bagi saya, hidup ini menyediakan segenap pilihan dengan segenap konsekuensinya.
HapusLuar biasa. Saya jadi teringat pesan teman, bahwa kita bisa bebas memilih, tapi tidak dengan konsekuensinya. Setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi.
HapusTerima kasih, Prof.
Sama-sama Mbak Ditta
HapusMenulis dan membaca adalah dua ragam bahasa yang produktif, yang menghasilkan. Itu yang saya ingat ketika sekolah dulu.
BalasHapusSaya bersyukur bisa tergabung dalam komunitas aktif pembelajar, komunitas menulis, komunitas orang-orang yang selalu ingin berkembang dan maju.
ALhamdulillah. Mari terus mengembangkan potensi.
HapusSepakat sekali. Membaca ya, menulis ya.
BalasHapusTerima kasih Pak Emcho
HapusBetul sekali setuju menulis tanpa banyak membaca kurang wawasan dan akan mengalami kebuntuan dan kurang lancarnya menulis. Banyak membaca lancar menulis
BalasHapusSaya sangat setuju menulis ya harus didukung dengan aktivitas membaca
BalasHapusTerima kasih Prof. saya menulis karena sering membaca tulisan Bapak di Wa grup.
BalasHapusAmin. Sama-sama Ibu
HapusDakwah bil hal.....
BalasHapusInggih
Hapus