Prof. Dr. Muwahid Shulhan, Kesalehan, dan Inspirasi Menekuni Studi Islam

Mei 13, 2021

 



 Oleh Dr. Ngainun Naim

 


Salah satu momentum dalam hidup yang tidak akan terlupakan adalah saat Bapak saya wafat. Beliau berpulang tanggal 11 Mei 2020 setelah sakit stroke selama beberapa waktu. Ketika Bapak wafat, suasana kehidupan bangsa ini bisa dikatakan sedang sangat tegang. Virus Corona baru saja datang. Kehidupan benar-benar senyap. Pembatasan sosial membuat interaksi antar manusia tidak bisa dilakukan secara bebas.


Berita tentang Corona seakan menghantui setiap jiwa. Ketakutan demi ketakutan terus saja menjejali alam bawah sadar sebagian masyarakat. Belum jelas kapan virus ini akan lenyap, sementara korban terus berjatuhan, sekolah diliburkan, dan pembatasan sosial berlangsung di mana-mana.


Banyak pihak yang terkejut mendengar informasi Bapak wafat. Semasa hidup Bapak merupakan sosok yang aktif dalam bekerja dan kehidupan sosial. Sebelum sakit sampai kemudian meninggal, Bapak masih keliling desa dengan naik sepeda tua kesayangannya. Wajar jika kemudian banyak yang tidak percaya dengan kepergian Bapak.


Saya sangat memahami jika pentakziah sangat terbatas. Ada ketakutan jika takziah bisa memunculkan klaster baru Corona. Memang beberapa saat sebelumnya di Desa Jabalsari Sumbergempol muncul orang yang positif Corona. Jumlahnya puluhan. Fakta yang semacam menjadikan Desa Jabalsari dikarantina berdasarkan Rapat Satgas Covid-19. Karantani dimulai tanggal 23 April 2020.[1]


Pada hari ketiga meninggalnya Bapak secara mengejutkan Prof. Dr. Muwahid Shulhan, M.Ag datang takziah. Beliau datang seorang diri dengan mengendarai mobil. Di usianya yang sudah sepuh, beliau dengan ramah menyalami saya dan mengucapkan duka cita atas kepergian Bapak.


Sungguh saya merasa sangat terharu. Beliau adalah guru saya. Beliau juga atasan dan kolega di kampus IAIN Tulungagung. Sosok guru besar bersahaja yang sangat luar biasa.


Siang itu beliau memberikan banyak nasihat agar saya tabah. Semua hal itu sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Prof. Dr. Muwahid berkata agar saya memperbanyak doa kepada Allah SWT untuk arwah Almarhum Bapak.


Kehadiran Prof. Dr. Muwahid Shulhan siang itu ibarat oase. Di tengah kedukaan mendalam atas berpulangnya Bapak, nasihat Prof. Dr. Muwahid sungguh menyejukkan. Saya merasakan kedamaian dan ketulusan dari seorang guru besar yang sedemikian sederhana.

 

Figur Saleh dan Berjiwa Sosial

Secara personal sesungguhnya saya tidak terlalu dekat dengan Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Relasi saya dengan beliau tidak banyak berbeda dengan kawan-kawan lainnya. Relasi yang biasa saja. Namun demikian bukan berarti tidak ada hal yang berkesan. Saya justru menemukan banyak inspirasi dari relasi saya dengan beliau.


Tetiba ingatan saya kembali ke belakang, ke masa saya masih menjadi mahasiswa IAIN Tulungagung. Saat itu saya baru saja mutasi dari IAIN Sunan Ampel Surabaya dan menjadi mahasiswa yang mengambil matakuliah yang diampu Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Beliau mengajar matakuliah Bimbingan Membaca Kitab Kuning (BMK). Kitab yang dipergunakan adalah Fathul Qarib. Kitab ini tidak terlalu asing bagi saya karena dulu semasa di pesantren saya sudah mengkajinya.


Suasana kuliah jelas berbeda dengan suasana mondok. Kemampuan kawan-kawan sekelas cukup variatif. Ada yang ilmunya sudah sangat tinggi, sedang, dan ada yang bahkan membaca Arab saja kesulitan. Realitas semacam ini membuat Prof. Dr. Muwahid Shulhan mengajar secara pelan-pelan. Sedikit demi sedikit beliau membaca teks dari kitab Fathul Qarib. Hanya beberapa baris saja yang beliau baca sampai beliau terjemahkan. Setelah itu beliau menjelaskannya.


Bagi yang sudah pernah mengaji Fatkhul Qarib, tentu belajar semacam itu mudah saja. Namun bagi yang membaca huruf Arab saja kesulitan, tentu menghadapi persoalan yang tidak ringan. Kuliah BMK bisa menjadi semacam ancaman. Tidak ikut kuliah menambah daftar ketidakbisaan dan bisa berakibat tidak lulus. Lebih jauh berarti menghambat jalan menjadi seorang sarjana. Namun ikut kuliah juga tidak menambah pengetahuan karena memang tidak bisa.


Pada titik inilah saya kira kearifan Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Beliau dengan telaten mengajari kami kalimat perkalimat dengan maknanya. Saya sendiri berterima kasih kepada cara beliau mengajar dan hadiah nilai A untuk matakuliah ini.


Prof. Dr. Muwahid Shulhan adalah seorang dosen yang saleh. Beliau mengajar beberapa matakuliah, di antaranya akhlak tasawuf. Matakuliah ini tampaknya sejalan dengan jiwa dan laku beliau. SK Guru Besar beliau adalah Ilmu Administrasi Pendidikan tetapi tasawuf tidak lepas dari kehidupan. Sebuah perpaduan unik yang tidak banyak orang bisa melakukannya.


Kesalehan beliau saya saksikan secara langsung saat sama-sama ikut pelatihan di Balai Diklat Keagamaan Kementerian Agama Surabaya tahun 2006. Kalau tidak salah nama kegiatannya adalah Diklat Peningkatan Kompetensi Dosen. Saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme pemilihan peserta. Intinya saya bersama beberapa orang dosen STAIN Tulungagung terpilih menjadi peserta kegiatan.


Saat itu beliau merupakan dosen yang paling senior di antara semua peserta kegiatan. Mantan Ketua STAIN tetapi masih mau mengikuti kegiatan dengan totalitas merupakan sebuah keistimewaan. Ya, saya menyaksikan sendiri beliau mengikuti tahap demi tahap kegiatan secara khusyuk. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa.


Selama beberapa hari bersama dalam sebuah kegiatan membuat saya menjadi tahu tentang bagaimana keseharian beliau. Kebetulan saya satu kamar dengan beliau. Saya tahu bagaimana sekitar jam 02.30 pagi telah bangun lalu shalat tahajud dan membaca dzikir sampai subuh menjelang. Setelah itu beliau menuju mushola Balai Diklat. Aktivitas ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang yang saleh yang istiqamah beribadah.


Istiqamah itu mudah sekali diucapkan, tetapi giliran dipraktikkan beratnya minta ampun. Ibadah Prof. Dr. Muwahid Shulhan secara istiqamah tidak terbangun begitu saja melainkan melalui proses panjang yang berkelanjutan. Tantangan terbesar istiqamah adalah keinginan untuk istiqamah itu sendiri.[2] Prof. Dr. Muwahid Shulhan telah menundukkan tantangan itu. Meskipun hanya sekitar seminggu bersama beliau, saya yakin itu adalah tradisi yang telah mengakar. Tidak mungkin kebiasaan bangun malam semacam itu terjadi secara mendadak.


Prof. Dr. Muwahid Shulhan juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Saya teringat betul pada suatu siang—entah tahun berapa—bertemu beliau di lobi Rektorat IAIN Tulungagung. Saat itu beliau menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) IAIN Tulungagung. Saya agak terkejut saat itu karena setahu saya beliau masih bertugas di Jakarta. Ketika saya konfirmasi beliau menjawab bahwa baru datang jam 07.00 WIB dengan Kereta Api Gajayana. Perjalanan semalam suntuk tentu bukan perjalanan ringan. Ini merupakan perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Namun siang itu, sekitar pukul 11.00 siang, beliau sudah berada di kampus. Beliau menjelaskan bahwa bertemu banyak orang itu memberikan energi hidup tersendiri. Beliau merasakan semangat kembali dan hilang rasa capek setiap bertemu dengan para kolega.


Tentu ini merupakan sebuah karakter penting dalam diri beliau. Relasi sosial menjadikan beliau selalu tergerak untuk bertemu, berdialog, dan berakrab ria dengan orang lain. Berbagai organisasi beliau ikuti. Menurut beliau, ada energi dan kebahagiaan saat bertemu dengan banyak orang. Hal ini menandakan bahwa beliau memiliki jiwa sosial yang besar.

 

Kepergian Mengejutkan

22 Maret 2021 merupakan hari yang sangat bersejarah. Pukul 23.00 WIB Prof. Dr. Muwahid Shulhan berpulang setelah sakit beberapa hari. Kepulangan yang mengejutkan dan sekaligus kehilangan besar bagi IAIN Tulungagung. Tidak ada yang tidak kehilangan. Untaian doa kami panjatkan, khususnya lewat Zoom, selama 7 hari berturut-turut. Ini merupakan upaya batiniah untuk mendoakan tokoh yang sangat berjasa dalam perjalanan IAIN Tulungagung.


Kematian selalu menyisakan kepedihan dan juga pelajaran. Kematian bukan sekadar berpisahnya jasad dan ruh, namun juga momentum bagi kita untuk memperbaiki diri. Tidak ada orang yang tidak takut terhadap kematian. Semuanya mengalami takut, tergantung motif ketakutannya. Ada yang takut berpisah dengan harta, dengan anak-anak, keluarga, dan bagi orang yang saleh mereka takut karena merasa belum memiliki bekal yang memadai.

Prof. Dr. Muwahid Shulhan adalah seorang dosen yang saleh. Beliau mengajar beberapa matakuliah, di antaranya akhlak tasawuf. Matakuliah ini tampaknya sejalan dengan jiwa dan laku beliau. SK Guru Besar beliau adalah Ilmu Administrasi Pendidikan tetapi tasawuf tidak lepas dari kehidupan. Sebuah perpaduan unik yang tidak banyak orang bisa melakukannya.

Jalaluddin Rakhmat pernah menulis bahwa rasa takut terhadap kematian itu tidak perlu untuk dihilangkan. Rasa takut itu sebaiknya dikelola sekaligus dijadikan sebagai daya dorong untuk melakukan amal kebajikan. Amal kebajikan adalah bekal penting untuk kehidupan sesudah kematian. Kata Jalaluddin Rakhmat, sadar akan kematian adalah sadar akan ketiadaan Ego dan nonbeing. Kesadaran ini adalah bagian penting untuk menjadikan hidup yang bermakna. Hidup bermakna tidak egois melainkan menerima kehadiran orang lain dan mempersiapkan diri untuk mati. Berbuat baik adalah bekal penting menyongsong kematian.[3]


Kepergian Prof. Dr. Muwahid Shulhan memberikan banyak pelajaran buat siapa saja, khususnya buat saya. Spirit kebajikan yang beliau tanamkan selama hidup adalah inspirasi yang sungguh indah. Inspirasi itu menjadi energi hidup bagi kami yang yunior untuk tidak lelah berbuat kebajikan. Sungguh, saya bersaksi bahwa beliau adalah orang yang baik.

 

Inspirasi Menekuni Studi Islam

Jika sedang ke kampus untuk suatu urusan, Prof. Dr. Muwahid Shulhan cukup sering bertandang ke ruang kerja saya. Kadang sekadar menyapa, bertanya tentang penelitian, dan pernah juga berdiskusi serius tentang berbagai bidang kehidupan. Momentum kehadiran beliau adalah momentum berharga yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.


Bagi orang lain mungkin terlihat biasa tetapi tidak bagi saya. Salah satu yang saya ingat betul adalah nasihat beliau agar saya serius menekuni bidang ilmu saya. Kata beliau, fokus pada satu bidang ilmu itu sangat penting. Selain membuat kita menguasai secara baik bidang ilmu tersebut, juga memudahkan bagi kita jika ada keperluan naik pangkat.


Beliau mencontohkan tentang bidang yang beliau tekuni, yaitu administrasi pendidikan. Tulisan-tulisan beliau cukup banyak membantu proses beliau menjadi Guru Besar. Memang semangat beliau sungguh luar biasa. Jabatan Guru Besar beliau raih hanya beberapa bulan menjelang pensiun. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah pejuang yang gigih.


Kini beliau telah berpulang. Nasihat beliau untuk menekuni bidang ilmu tetiba menguat. Jujur saja saya ini bidang ilmunya tidak jelas. Studi Islam adalah salah satu bidang yang saya sukai karena memang saya S-2 dan S-3 di Jurusan Studi Islam. SK mengajar saya juga Metodologi Studi Islam. Jadi sesungguhnya sudah klop.


Namun minat saya tidak hanya dalam bidang studi Islam secara khusus. Saya memiliki minat juga terhadap dunia literasi. Buku-buku dan tulisan saya terkait literasi cukup banyak. Saya juga cukup sering mengisi acara literasi dan juga membina banyak komunitas untuk aktif menulis.


Meskipun demikian Studi Islam tidak akan saya abaikan. Ini merupakan bagian dari tugas pokok saya sebagai seorang dosen. Setiap tahun saya melakukan riset dalam wilayah studi Islam. Saya juga menulis dalam topik yang termasuk cakupan studi Islam. Artinya, selain menulis format esai yang ringan-mengalir, saya juga menulis ilmiah.


Menulis ilmiah adalah bagian dari tradisi ilmiah. Sejarawan Taufik Abdullah pernah menulis bahwa tradisi ilmiah itu tidak berakhir dengan kepastian dan tidak pula dapat mendakwakan diri sebagai penemu kebenaran. Aspek yang substansial dalam tradisi ilmiah adalah upayanya untuk menemukan apa yang dianggap sebagai benar.[4] Hal ini bermakna bahwa tradisi ilmiah itu sifatnya dinamis. Ia terus ada, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

 

Catatan Penutup

Kematian sesungguhnya memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Peristiwa kematian menjadi momentum pembelajaran untuk memperbaiki diri. Semua dari kita pasti akan menyusul Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Tidak ada yang tahu kapan waktunya. Justru karena itulah kita seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya.


Apa yang kita lakukan akan menjadi kenangan sekaligus menjadi timbangan amal. Terima kasih kepada Almarhum Prof. Dr. Muwahid Shulhan yang telah menorehkan kebajikan dan inspirasi kepada kami. Kepergianmu memberikan banyak pelajaran berharga buat kami. Selamat jalan Prof. Insyaallah husnul khatimah. Amin.



[1] Desa Jabalsari Tulungagung Segera Dikarantina, Berpotensi Jadi Cluster Baru - Nusa Daily

[2] Nadirsyah Hosen dan Nurussyariah Hammado, Ashabul Kahfi Melek 3 Abad, Ketika Neurosains dan Kalbu Menjelajah Al-Qur’an,  (Jakarta: Noura Books, 2013).

[3] Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik: “Halaman Akhir” Fikri Yathir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).

[4] Taufik Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), xiii.

 

 

10 komentar:

  1. Yg saya kenal sekilas saat menjadi mahasiswa beliau adalah Prof Muwahid adalah sosok yang sederhana dan memiliki akhlak yang sangat baik. Semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah. Terimakasih untuk tulisan yg memberikan energi positif bagi saya🙏

    BalasHapus
  2. Lengkap dan mencerahkan saya suka. "Rasa takut itu sebaiknya dikelola sekaligus dijadikan sebagai daya dorong untuk melakukan amal kebajikan." Siap Pak.

    BalasHapus
  3. Sosok guru yang luar biasa. Semoga semua amal kebaikan beliau diterima sisi-Nya.

    BalasHapus
  4. Amal kebajikan seseorang akan selalu dikenang, walaupun orangnya sudah tiada..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Kebajikan beliau Prof. Dr. Muwahid Shulhan akan selalu kita kenang dan teladani.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.