Prof. Dr. Muwahid Shulhan, Kesalehan, dan Inspirasi Menekuni Studi Islam
Salah
satu momentum dalam hidup yang tidak akan terlupakan adalah saat Bapak saya
wafat. Beliau berpulang tanggal 11 Mei 2020 setelah sakit stroke selama beberapa waktu. Ketika Bapak
wafat, suasana kehidupan bangsa ini bisa dikatakan sedang sangat tegang. Virus
Corona baru saja datang. Kehidupan benar-benar senyap. Pembatasan sosial
membuat interaksi antar manusia tidak bisa dilakukan secara bebas.
Berita
tentang Corona seakan menghantui setiap jiwa. Ketakutan demi ketakutan terus
saja menjejali alam bawah sadar sebagian masyarakat. Belum jelas kapan virus ini
akan lenyap, sementara korban terus berjatuhan, sekolah diliburkan, dan
pembatasan sosial berlangsung di mana-mana.
Banyak
pihak yang terkejut mendengar informasi Bapak wafat. Semasa hidup Bapak
merupakan sosok yang aktif dalam bekerja dan kehidupan sosial. Sebelum sakit
sampai kemudian meninggal, Bapak masih keliling desa dengan naik sepeda tua
kesayangannya. Wajar jika kemudian banyak yang tidak percaya dengan kepergian
Bapak.
Saya
sangat memahami jika pentakziah sangat terbatas. Ada ketakutan jika takziah
bisa memunculkan klaster baru Corona. Memang beberapa saat sebelumnya di Desa
Jabalsari Sumbergempol muncul orang yang positif Corona. Jumlahnya puluhan.
Fakta yang semacam menjadikan Desa Jabalsari dikarantina berdasarkan Rapat
Satgas Covid-19. Karantani dimulai tanggal 23 April 2020.[1]
Pada
hari ketiga meninggalnya Bapak secara mengejutkan Prof. Dr. Muwahid Shulhan,
M.Ag datang takziah. Beliau datang seorang diri dengan mengendarai mobil. Di
usianya yang sudah sepuh, beliau dengan ramah menyalami saya dan mengucapkan
duka cita atas kepergian Bapak.
Sungguh
saya merasa sangat terharu. Beliau adalah guru saya. Beliau juga atasan dan
kolega di kampus IAIN Tulungagung. Sosok guru besar bersahaja yang sangat luar
biasa.
Siang
itu beliau memberikan banyak nasihat agar saya tabah. Semua hal itu sudah
ditakdirkan oleh Allah SWT. Prof. Dr. Muwahid berkata agar saya
memperbanyak doa
kepada Allah SWT untuk arwah Almarhum Bapak.
Kehadiran
Prof. Dr. Muwahid Shulhan siang itu ibarat oase. Di tengah kedukaan mendalam
atas berpulangnya Bapak, nasihat Prof. Dr. Muwahid sungguh menyejukkan. Saya
merasakan kedamaian dan ketulusan dari seorang guru besar yang sedemikian
sederhana.
Figur Saleh dan Berjiwa Sosial
Secara
personal sesungguhnya saya tidak terlalu dekat dengan Prof. Dr. Muwahid
Shulhan. Relasi saya dengan beliau tidak banyak berbeda dengan kawan-kawan
lainnya. Relasi yang biasa saja. Namun demikian bukan berarti tidak ada hal
yang berkesan. Saya justru menemukan banyak inspirasi dari relasi saya dengan
beliau.
Tetiba
ingatan saya kembali ke belakang, ke masa saya masih menjadi mahasiswa IAIN
Tulungagung. Saat itu saya baru saja mutasi dari IAIN Sunan Ampel Surabaya dan
menjadi mahasiswa yang mengambil
matakuliah yang diampu Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Beliau mengajar
matakuliah Bimbingan Membaca Kitab Kuning (BMK). Kitab yang dipergunakan
adalah Fathul Qarib. Kitab ini tidak terlalu
asing bagi saya karena dulu semasa di pesantren saya sudah mengkajinya.
Suasana
kuliah jelas berbeda dengan suasana mondok. Kemampuan kawan-kawan sekelas cukup
variatif. Ada yang ilmunya sudah sangat tinggi, sedang, dan ada yang bahkan
membaca Arab saja kesulitan. Realitas semacam ini membuat Prof. Dr.
Muwahid Shulhan mengajar secara pelan-pelan.
Sedikit demi sedikit beliau membaca teks dari kitab Fathul Qarib. Hanya beberapa baris saja
yang beliau baca sampai beliau terjemahkan. Setelah itu beliau menjelaskannya.
Bagi
yang sudah pernah mengaji Fatkhul Qarib, tentu belajar semacam itu
mudah saja. Namun bagi yang membaca huruf Arab saja kesulitan, tentu menghadapi
persoalan yang tidak ringan. Kuliah BMK bisa menjadi semacam ancaman. Tidak
ikut kuliah menambah daftar ketidakbisaan dan bisa berakibat tidak lulus. Lebih
jauh berarti menghambat jalan menjadi seorang sarjana. Namun ikut kuliah juga
tidak menambah pengetahuan karena memang tidak bisa.
Pada
titik inilah saya kira kearifan Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Beliau dengan
telaten mengajari kami kalimat perkalimat dengan maknanya. Saya sendiri
berterima kasih kepada cara beliau mengajar dan hadiah nilai A untuk matakuliah
ini.
Prof.
Dr. Muwahid Shulhan adalah seorang dosen yang saleh. Beliau mengajar beberapa matakuliah, di
antaranya akhlak tasawuf.
Matakuliah ini tampaknya sejalan dengan jiwa dan laku beliau. SK Guru Besar
beliau adalah Ilmu Administrasi Pendidikan tetapi tasawuf tidak lepas dari
kehidupan. Sebuah perpaduan unik yang tidak banyak orang bisa melakukannya.
Kesalehan
beliau saya saksikan secara langsung saat sama-sama ikut pelatihan di Balai
Diklat Keagamaan Kementerian Agama Surabaya tahun 2006. Kalau tidak salah nama
kegiatannya adalah Diklat Peningkatan Kompetensi Dosen. Saya sendiri tidak tahu
bagaimana mekanisme pemilihan peserta. Intinya saya bersama beberapa orang
dosen STAIN Tulungagung terpilih menjadi peserta kegiatan.
Saat
itu beliau merupakan dosen yang paling senior di antara semua peserta kegiatan.
Mantan Ketua STAIN tetapi masih mau mengikuti kegiatan dengan totalitas
merupakan sebuah keistimewaan. Ya, saya menyaksikan sendiri beliau mengikuti
tahap demi tahap kegiatan secara khusyuk. Sungguh sebuah teladan yang luar
biasa.
Selama
beberapa hari bersama dalam sebuah kegiatan membuat saya menjadi tahu tentang
bagaimana keseharian beliau. Kebetulan saya satu kamar dengan beliau. Saya tahu
bagaimana sekitar jam 02.30 pagi telah bangun lalu shalat tahajud dan membaca
dzikir sampai subuh menjelang. Setelah itu beliau menuju mushola Balai Diklat.
Aktivitas ini menunjukkan bahwa beliau memang seorang yang saleh yang istiqamah
beribadah.
Istiqamah
itu mudah sekali diucapkan, tetapi giliran dipraktikkan beratnya minta ampun.
Ibadah Prof. Dr. Muwahid Shulhan secara istiqamah tidak terbangun begitu saja
melainkan melalui proses panjang yang berkelanjutan. Tantangan terbesar
istiqamah adalah keinginan untuk istiqamah itu sendiri.[2] Prof. Dr. Muwahid Shulhan telah
menundukkan tantangan itu. Meskipun hanya sekitar seminggu bersama beliau, saya
yakin itu adalah tradisi yang telah mengakar. Tidak mungkin kebiasaan bangun
malam semacam itu terjadi secara mendadak.
Prof.
Dr. Muwahid Shulhan juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Saya teringat betul
pada suatu siang—entah tahun berapa—bertemu beliau di lobi Rektorat IAIN
Tulungagung. Saat itu beliau menjabat sebagai Ketua Lembaga Penjaminan Mutu
(LPM) IAIN Tulungagung. Saya agak terkejut saat itu karena setahu saya beliau
masih bertugas di Jakarta. Ketika saya konfirmasi beliau menjawab bahwa baru
datang jam 07.00 WIB dengan Kereta Api Gajayana.
Perjalanan semalam suntuk tentu bukan perjalanan ringan. Ini merupakan
perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Namun siang itu, sekitar pukul 11.00
siang, beliau sudah berada di kampus. Beliau menjelaskan bahwa bertemu banyak
orang itu memberikan energi hidup tersendiri. Beliau merasakan semangat kembali
dan hilang rasa capek setiap bertemu dengan para kolega.
Tentu
ini merupakan sebuah karakter penting dalam diri beliau. Relasi sosial
menjadikan beliau selalu tergerak untuk bertemu, berdialog, dan berakrab ria
dengan orang lain. Berbagai organisasi beliau ikuti. Menurut beliau, ada energi dan kebahagiaan saat
bertemu dengan banyak orang. Hal ini menandakan bahwa beliau memiliki jiwa
sosial yang besar.
Kepergian Mengejutkan
22
Maret 2021 merupakan hari yang sangat bersejarah. Pukul 23.00 WIB Prof. Dr.
Muwahid Shulhan berpulang setelah sakit beberapa hari. Kepulangan yang
mengejutkan dan sekaligus kehilangan besar bagi IAIN Tulungagung. Tidak ada
yang tidak kehilangan. Untaian doa kami panjatkan, khususnya lewat Zoom, selama
7 hari berturut-turut. Ini merupakan upaya batiniah untuk mendoakan tokoh yang
sangat berjasa dalam perjalanan IAIN Tulungagung.
Kematian
selalu menyisakan kepedihan dan juga pelajaran. Kematian bukan sekadar
berpisahnya jasad dan ruh, namun juga momentum bagi kita untuk memperbaiki
diri. Tidak ada orang yang tidak takut terhadap kematian. Semuanya mengalami
takut, tergantung motif ketakutannya. Ada yang takut berpisah dengan harta,
dengan anak-anak, keluarga, dan bagi orang yang saleh mereka takut karena
merasa belum memiliki bekal yang memadai.
Prof. Dr. Muwahid Shulhan adalah seorang dosen yang saleh. Beliau mengajar beberapa matakuliah, di antaranya akhlak tasawuf. Matakuliah ini tampaknya sejalan dengan jiwa dan laku beliau. SK Guru Besar beliau adalah Ilmu Administrasi Pendidikan tetapi tasawuf tidak lepas dari kehidupan. Sebuah perpaduan unik yang tidak banyak orang bisa melakukannya.
Jalaluddin
Rakhmat pernah menulis bahwa rasa takut terhadap kematian itu tidak perlu untuk
dihilangkan. Rasa takut itu sebaiknya dikelola sekaligus dijadikan sebagai daya
dorong untuk melakukan amal kebajikan. Amal kebajikan adalah bekal penting
untuk kehidupan sesudah kematian. Kata Jalaluddin Rakhmat, sadar akan kematian
adalah sadar akan ketiadaan Ego dan nonbeing. Kesadaran ini
adalah bagian penting untuk menjadikan hidup yang bermakna. Hidup bermakna
tidak egois melainkan menerima kehadiran orang lain dan mempersiapkan diri
untuk mati. Berbuat baik adalah bekal penting menyongsong kematian.[3]
Kepergian
Prof. Dr. Muwahid Shulhan memberikan banyak pelajaran buat siapa saja,
khususnya buat saya. Spirit kebajikan yang beliau tanamkan selama hidup adalah
inspirasi yang sungguh indah. Inspirasi itu menjadi energi hidup bagi kami yang
yunior untuk tidak lelah berbuat kebajikan. Sungguh, saya bersaksi bahwa beliau
adalah orang yang baik.
Inspirasi Menekuni Studi Islam
Jika sedang ke kampus untuk suatu urusan,
Prof. Dr. Muwahid Shulhan cukup sering bertandang ke ruang kerja saya. Kadang
sekadar menyapa, bertanya tentang penelitian, dan pernah juga berdiskusi serius
tentang berbagai bidang kehidupan. Momentum kehadiran beliau adalah momentum
berharga yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.
Bagi
orang lain mungkin terlihat biasa tetapi tidak bagi saya. Salah satu yang saya
ingat betul adalah nasihat beliau agar saya serius menekuni bidang ilmu saya.
Kata beliau, fokus pada satu bidang ilmu itu sangat penting. Selain membuat
kita menguasai secara baik bidang ilmu tersebut, juga memudahkan bagi kita jika
ada keperluan naik pangkat.
Beliau
mencontohkan tentang bidang yang beliau tekuni, yaitu administrasi pendidikan.
Tulisan-tulisan beliau cukup banyak membantu proses beliau menjadi Guru Besar.
Memang semangat beliau sungguh luar biasa. Jabatan Guru Besar beliau raih hanya beberapa bulan
menjelang pensiun. Itu menunjukkan bahwa beliau adalah pejuang yang gigih.
Kini
beliau telah berpulang. Nasihat beliau untuk menekuni bidang ilmu tetiba menguat. Jujur saja saya ini bidang ilmunya tidak
jelas. Studi Islam adalah salah satu bidang yang saya sukai karena memang saya
S-2 dan S-3 di Jurusan Studi Islam. SK mengajar saya juga Metodologi Studi
Islam. Jadi sesungguhnya sudah klop.
Namun
minat saya tidak hanya dalam bidang studi Islam secara khusus. Saya memiliki
minat juga terhadap dunia literasi. Buku-buku dan tulisan saya terkait literasi
cukup banyak. Saya juga cukup sering mengisi acara literasi dan juga membina
banyak komunitas untuk aktif menulis.
Meskipun
demikian Studi Islam tidak akan saya abaikan. Ini merupakan bagian dari tugas
pokok saya sebagai seorang dosen. Setiap tahun saya melakukan riset dalam
wilayah studi Islam. Saya juga menulis dalam topik yang termasuk cakupan studi
Islam. Artinya, selain menulis format esai yang ringan-mengalir, saya juga menulis
ilmiah.
Menulis
ilmiah adalah bagian dari tradisi ilmiah. Sejarawan Taufik Abdullah pernah
menulis bahwa tradisi ilmiah itu tidak berakhir dengan kepastian dan tidak pula
dapat mendakwakan diri sebagai penemu kebenaran. Aspek yang substansial dalam
tradisi ilmiah adalah upayanya untuk menemukan apa yang dianggap sebagai benar.[4] Hal ini bermakna bahwa tradisi ilmiah
itu sifatnya dinamis. Ia terus ada, tumbuh, dan berkembang seiring dengan
perkembangan zaman.
Catatan Penutup
Kematian
sesungguhnya memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Peristiwa
kematian menjadi momentum pembelajaran untuk memperbaiki diri. Semua dari kita
pasti akan menyusul Prof. Dr. Muwahid Shulhan. Tidak ada yang tahu kapan
waktunya. Justru karena itulah kita seharusnya mempersiapkan diri
sebaik-baiknya.
Apa
yang kita lakukan akan menjadi kenangan sekaligus menjadi timbangan amal.
Terima kasih kepada Almarhum Prof. Dr. Muwahid Shulhan yang telah menorehkan
kebajikan dan inspirasi kepada kami. Kepergianmu memberikan banyak pelajaran
berharga buat kami. Selamat jalan Prof. Insyaallah husnul khatimah. Amin.
[1] Desa Jabalsari Tulungagung
Segera Dikarantina, Berpotensi Jadi Cluster Baru - Nusa Daily
[2] Nadirsyah Hosen dan
Nurussyariah Hammado, Ashabul Kahfi Melek 3 Abad, Ketika Neurosains dan
Kalbu Menjelajah Al-Qur’an, (Jakarta: Noura Books, 2013).
[3] Jalaluddin
Rakhmat, Reformasi Sufistik: “Halaman Akhir” Fikri Yathir, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998).
[4] Taufik Abdullah, “Kata
Pengantar”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),
xiii.
Aamiin
BalasHapusTerima kasih Bu
HapusYg saya kenal sekilas saat menjadi mahasiswa beliau adalah Prof Muwahid adalah sosok yang sederhana dan memiliki akhlak yang sangat baik. Semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah. Terimakasih untuk tulisan yg memberikan energi positif bagi saya🙏
BalasHapusTerima kasih
HapusLengkap dan mencerahkan saya suka. "Rasa takut itu sebaiknya dikelola sekaligus dijadikan sebagai daya dorong untuk melakukan amal kebajikan." Siap Pak.
BalasHapusTerima kasih Bu Kanjeng
HapusSosok guru yang luar biasa. Semoga semua amal kebaikan beliau diterima sisi-Nya.
BalasHapusAaminnnn
HapusAmal kebajikan seseorang akan selalu dikenang, walaupun orangnya sudah tiada..
BalasHapusBetul. Kebajikan beliau Prof. Dr. Muwahid Shulhan akan selalu kita kenang dan teladani.
Hapus