Keberanian Menulis

September 11, 2021


 

Ngainun Naim

 

Menulis merupakan sebuah capaian yang harus diapresiasiNgainun Naim

 

Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh penulis pemula adalah keberanian. Biasanya mereka belum memiliki keberanian atau takut untuk mulai menulis. Rasa takut ini kadang sulit dijelaskan. Ada yang takut karena merasa tulisannya masih jelek, takut jika tulisannya dibaca orang, takut jika salah, dan seabrek jenis takut lainnya. Takut ini pada akhirnya menjadi pemicu untuk tidak menulis.

Bagi penulis pemula, langkah yang pertama harus dilakukan adalah membangun rasa percaya diri. Takut harus dienyahkan dari dalam diri dan diganti dengan percaya diri. Pokoknya menulis saja. Jika takut kritik dengan tulisan yang kita hasilkan, semestinya disadari bahwa tidak ada fenomena apa pun—termasuk tulisan yang kita hasilkan—yang lepas dari penilaian orang lain. Jangankan tulisan, cara kita berbicara, makan, berpakaian, dan hal apa pun bisa dinilai secara bebas. Penilaian—positif atau negatif—adalah konsekuensi kita sebagai makhluk sosial.

Ada sebuah pendapat yang barangkali penting untuk menjadi pertimbangan buat kita semua, khususnya yang menekuni menulis. Pendapat tersebut berkaitan dengan strategi menghindari kritik. Strategi pertama adalah tidak melakukan apa-apa. Dalam konteks menulis berarti ya tidak menulis. Kedua, tidak berkata apa-apa. Dan ketiga, tidak menjadi apa-apa. Bahkan jika mau jujur, tidak melakukan ketiganya pun bukan berarti juga tidak mendapatkan kritikan. Selalu terbuka peluang untuk dikritik. Jika demikian kondisinya maka menulis menjadi pilihan yang harus segera diambil. Ya, segeralah menulis.

Keberanian itu harus menjadi kesadaran, bukan sekadar pengetahuan. Pengetahuan tentang pentingnya kesadaran itu tidak akan merubah keadaan, tetapi ketika menjadi kesadaran akan bertransformasi menjadi aksi. Ketika kesadaran sudah masuk ke dalam diri maka langkah selanjutnya adalah memulai untuk menulis.

Keberanian untuk menulis harus terus dipupuk. Saya seringkali mendengar curhatan kawan-kawan tentang persoalan semacam ini. Selalu saya katakan kepada mereka bahwa menulis itu ya menulis saja. Jangan pedulikan dengan komentar dan kritik. Bukan berarti komentar dan kritik itu tidak penting tetapi langkah yang utama memang berani dulu. Komentar dan kritik yang kemudian masuk ke hati bisa menjadi hambatan untuk berani menulis.

Saya bukan penulis yang baik. Saya masih terus belajar. Namun demikian saya merasa bahagia manakala ada kawan yang mau belajar menulis. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Arswendo Atmowiloto bahwa menulis itu seharusnya menjadi pekerjaan sosial. Dalam makna ini, seorang penulis idealnya juga menghasilkan penulis-penulis baru.

Dalam spirit ini maka kepada mereka yang belajar selalu saya tekankan pentingnya untuk berani menulis terlebih dulu. Biasanya mereka yang belajar menulis langsung meminta koreksi, tetapi saya nyatakan bahwa koreksi itu langkah selanjutnya setelah berani menulis. Saya kuatir kalau saya koreksi pada tahap awal, keberaniannya akan berkurang, bahkan mungkin hilang.

Menulis itu sebenarnya mudah bagi yang sudah terbiasa. Namun sesungguhnya menulis mudah itu juga relatif. Menulis bebas semacam ini menurut saya mudah saja. Saya hanya perlu duduk, membuka laptop lalu menuliskan apa yang ada di pikiran. Bukan sebaliknya memikirkan apa yang akan saya tulis. Pokoknya menulis saja.

Namun pada tulisan ilmiah, tentu konteksnya berbeda. Harus jujur saya nyatakan bahwa menulis ilmiah seperti menulis artikel jurnal ilmiah, itu tidak mudah. Lebih sulit lagi membuat artikel jurnal internasional. Saya harus melakukan penelitian terlebih dulu, lalu mencari jurnal yang saya tuju. Tulisan yang saya buat harus sesuai dengan template jurnal yang saya tuju. Proses menulisnya juga cukup panjang dan melelahkan. Revisi berkali-kali. Setelah dikirim ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan terburuknya adalah ditolak oleh jurnal yang dituju. Saya cukup berpengalaman ditolak. Jika pun diterima, kemungkinan juga masih harus revisi. Kadang tidak hanya sekali tetapi berkali-kali.

Paparan ini mengingatkan saya pada apa yang ditulis oleh Naning Pranoto lewat bukunya, Creative Writing (2011: 18-19). Ia menyatakan bahwa ada beberapa modal yang penting untuk dimiliki oleh seorang penulis. Pertama, tekad. Menurut Naning, modal utama menulis bukan bakat melainkan tekad yang mantap dan mau melakukan praktik menulis secara berkesinambungan. Tanpa tekad kuat, menulis tidak akan dilakukan. Jika pun dilakukan, biasanya akan berhenti saat menghadapi hambatan. Tekad kuat memungkinkan untuk terus menulis tanpa mengenal kata bosan.

Kedua, banyak membaca. Penulis yang baik adalah pembaca yang rajin. Tidak ada penulis yang mampu menghasilkan karya yang baik tanpa kebiasaan membaca. Tulisan bermutu sesungguhnya buah dari proses membaca yang berkesinambungan. Gugusan ide, pemikiran, imajinasi, dan pemikiran yang diperoleh dari membaca teraktualisasikan dalam kalimat-kalimat indah. Mustahil orang yang tidak pernah membaca mampu menghasilkan gugusan kalimat menawan dan bermutu.

Ketiga, membangun relasi sosial yang luas. Seorang penulis jangan menjadi “manusia kamar”. Idealnya harus memiliki banyak teman. Lewat pertemanan yang luas akan terbangun banyak diskusi, persebaran informasi, dan banyak hal lain yang mendukung proses kepenulisan. Para penulis yang menghasilkan tulisan berbobot biasanya bertahan lama dalam dunia menulis karena relasi sosialnya yang bagus.

Keempat, terus belajar tanpa henti, khususnya bahasa dan kosakata. Sebuah kalimat bijak menyatakan bahwa orang yang berhenti belajar akan merasa tahu padahal sesungguhnya banyak hal yang belum diketahuinya. Sementara orang yang mau terus belajar, ia merasa tidak tahu karena selalu saja ada hal baru dari proses belajar yang berkelanjutan. Bahasa dan kosakata merupakan aspek yang harus terus dipelajari agar kualitas tulisan yang dihasilkaan semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Kelima, memiliki sarana yang memadai. Sarana itu kunci, namun jangan menjadikan sarana sebagai hambatan. Jangan berasumsi bahwa sarana utama menulis itu komputer. Komputer memang penting tetapi memiliki komputer bukan jaminan bisa menulis. Banyak orang yang memiliki komputer canggih dengan harga mahal tetapi tidak menghasilkan satu tulisan pun. Komputer merupakan sarana, bukan penentu keberhasilan menelurkan karya. Memiliki pulpen dan kertas pun sesungguhnya sudah bisa menghasilkan karya. Intinya sarana itu penting tetapi jangan menjadikannya sebagai penghambat. Justru sarana yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menghasilkan karya.

Keenam, bertekad kuat menghasilkan karya yang baik. Menulis itu kadang mudah, kadang sulit. Meskipun demikian aspek mendasar yang penting ditanamkan adalah pentingnya tekad menghasilkan karya yang baik. Tekad itu bukan sekadar tekad namun diwujudkan dalam tulisan yang dihasilkan. Intinya ada perjuangan. Persoalan hasil tentu membutuhkan proses. Proses menulis itu bukan instan tetapi sepanjang hidup.

Jika dicermati, basis bagi proses menulis adalah tekad. Tekad yang kuat kemudian bermetamorfosis menjadi aksi. Tekad adalah wujud dari keberanian. Jadi mari hilangkan rasa takut dan segera menulis. Jika ditekuni menulis akan memberikan banyak manfaat dalam kehidupan.

 

Trenggalek, 11-9-2021

 

 

 

23 komentar:

  1. Strong will, tekad yang kuat mengalahkan rasa takut dan mind block. Terimaksih sharenya Bapak

    BalasHapus
  2. Sangat memotivasi. Tekad kuat, praktk berulang, belajar terus tanpa henti.

    BalasHapus
  3. Siap Prof. Terima kasih pencerahannya

    BalasHapus
  4. Sangat INSPIRATIF DAN MEMOTIVASI. MATUR NUWUN PROF....🙏🙏

    BalasHapus
  5. menulis akan memberikan banyak manfaat dalam kehidupan, semoga

    BalasHapus
  6. Tekad yang kuat,dan segera beraksi. Semoga saya bisa. Terima kasih sharingnya Pak

    BalasHapus
  7. Terimakasih Prof...tulisan sangat inspiratif dan motivatif

    BalasHapus
  8. TERIMAKASIH PAK...SANGAT MENGINSPIRASI SEKALI

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.