Literasi Sebagai Pilihan Hidup

September 17, 2021

Salah satu buku antologi bersama kawan-kawan
 

Oleh Ngainun Naim

 

Menjadi penulis itu kerja sosial. Parameter suksesnya adalah ketika seorang penulis mampu mengantarkan orang lain untuk bisa menulisArswendo Atmowiloto

 

Mungkin judul tulisan ini terlalu berlebihan. Namun sesungguhnya saya hanya ingin menegaskan bahwa jalan hidup saya sampai sekarang ini berkaitan erat dengan dunia literasi. Membaca, meneliti, dan menulis menjadi bagian tidak terpisaah dari aktivitas sehari-hari.

Inilah pilihan hidup saya. Sebuah pilihan yang sesungguhnya tidak sederhana. Ada banyak konsekuensi yang harus saya terima—positif atau negatif—dari aktivitas bergelut di dunia literasi ini. Meskipun demikian sampai sekarang saya masih dengan setia bergulat dengan dunia aksara.

Bibit awal untuk menekuni dunia literasi saya peroleh dari membaca majalah. Tentu bukan majalah milik sendiri karena orang tua saya tidak memiliki dana untuk berlangganan majalah. Terlalu mewah untuk berlangganan majalah atau koran. Majalah yang saya baca adalah milik orang lain. Sungguh saya merasa beruntung memiliki tetangga dan famili yang ketika itu berlangganan majalah. Beberapa majalah seperti Jaya Baya, Anita Cemerlang, Kartini, dan beberapa majalah lainnya saya baca secara gratis saat saya berkunjung ke rumah para famili pemilik majalah.

Interaksi dengan dunia bacaan itu—pelan tapi pasti—membuat saya memiliki mimpi untuk menjadi pengarang. Beberapa kali saya membaca tentang wawancara dengan pengarang yang dimuat di majalah. Isi wawancara yang paling berkesan adalah bagaimana proses kreatif mereka dalam menghasilkan karya. Setelah membaca tulisan semacam itu, saya kemudian membayangkan saya pada posisi pengarang itu. Betapa indahnya. Rasanya bahagia sekali seandainya tulisan saya dimuat dan dibaca oleh para pembaca dari berbagai daerah di Indonesia.

Jika ditelisik jejak awal saya “tercebur” ke dunia literasi maka jawabannya jelas, yaitu interaksi saya dengan majalah demi majalah di masa kecil. Majalah yang saya baca membuat saya kemudian memiliki mimpi untuk bisa menjadi pengarang. Memang butuh waktu sangat panjang dan perjuangan yang tidak ringan untuk mewujudkannya, tetapi saya merasakan betul bahwa membaca adalah kunci penting untuk menyemai potensi saya dalam menekuni dunia menulis.

Terkait dengan aktivitas membaca, saya menemukan pernyataan yang cukup menarik dari (Alm.) Hernowo. Dalam buku berjudul Membacalah Agar Dirimu Mulia, Pesan dari Langit (Bandung: MLC, 2008) Hernowo menulis:

Membaca akan membuat kita berpikir dalam bentuk yang terbaik. Membaca akan melatih kita untuk bertafakur. Bertafakur adalah berpikir secara sistematis, hati-hati, dan dalam. Membaca akan menghindarkan diri kita dari kegiatan yang asal-asalan dan tidak bertanggung jawab. Membaca akan menguji seberapa tinggi dan jauh kesungguhan kita dalam memahami dan memecahkan sesuatu.

 

Membaca memang penting namun ada aspek lain yang memperkuat minat saya untuk menekuni dunia literasi, yaitu interaksi dengan orang-orang yang telah menekuni literasi. Saat saya sedang duduk di MTsN, ada guru yang memikat saya. Beliau ke mana-mana menenteng buku dan membacanya saat senggang. Selain itu beberapa kali saya membaca artikel beliau di majalah.

 Buku antologi Ibu. Sangat tebal.

 

Saat duduk di MAN, saya memiliki kiai idola dalam bidang literasi, yaitu KH A Aziz Masyhuri. Beliau merupakan kiai yang sangat rajin membaca dan menulis buku. Beberapa pelajaran di kelas menggunakan buku karya tulis beliau. Interaksi sebagai santri beliau menjadi pendorong saya untuk ikut mengikuti jejak beliau, walaupun saya hanya menulis hal remeh dan sederhana.

Inspirasi literasi dari KH. A. Aziz Masyhuri telah saya tulis secara khusus di buku yang diedit oleh Mbak Fathonah K. Daud dengan judul Mengenang KH. A. Aziz MAsyhuri (1942-2017) (Yogyakarta: Diva Pres, 2018). Di buku ini saya menulis catatan dengan judul “KH. A. Aziz Masyhuri dan Inspirasi Menekuni Dunia Literasi”.

Selain beliau, ada banyak kiai dan guru yang menginspirasi semasa saya studi di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Para kiai dan guru tersebut adalah role model bagi saya dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam persoalan literasi. Interaksi dengan para beliau menjadi modal penting dalam mengkristalkan gagasan dan persentuhan dengan dunia literasi.

Kuliah S-1 semakin meneguhkan minat saya untuk bisa menulis. Saya semakin sering membaca buku, koran, dan majalah karena memang bisa saya akses di perpustakaan. Saya juga menyaksikan para dosen dan kakak-kakak senior yang karya-karyanya kerap bermunculan di media massa. Selain itu pergaulan yang luas membuat saya semakin dekat dengan dunia menulis meskipun menulis itu sendiri masih sangat sulit untuk saya lakukan. Berat, sulit, dan berliku.

Kuliah di tingkat S-2 dan S-3 semakin meneguhkan minat saya untuk bergiat di dunia literasi. Jika dulu saya menekuni membuat artikel di koran dan resensi buku, belakangan saya mulai merambah dunia buku. Pelan-pelan saya menulis buku dan menawarkan ke penerbit. Tentu saja pada masa awal banyak penolakan yang saya terima. Namun saya terus menulis. Satu demi satu buku saya mulai diterima penerbit mayor. Kini saya sudah menulis buku yang cukup lumayan dari sisi jumlah.

Saya sangat bersyukur mendapatkan anugerah Allah berupa kemampuan untuk menulis. Banyak sekali orang yang berminat untuk menulis tetapi tidak juga berhasil mewujudkan minatnya. Banyak juga kawan yang sesungguhnya kemampuan akademiknya jauh di atas saya tetapi mereka tidak mau menulis. Kerkali-kali dalam banyak kesempatan saya sampaikan bahwa kemampuan menulis itu berkaitan dengan dua M, yaitu MAU dan MAMPU. Banyak yang mau tetapi tidak mampu menghasilkan tulisan. Demikian juga banyak yang mampu menulis tetapi tidak mau melakukan.

Seiring waktu mulai timbul keinginan mengajak orang lain untuk menekuni dunia menulis. Rasanya bahagia sekali saat saya bisa mengajak kawan yang awalnya sama sekali tidak berminat menulis menjadi berminat. Saya pernah memiliki seorang mahasiswa yang kini menekuni dunia aksara. Bukunya yang terbit sudah puluhan. Ada juga kawan yang produktif menulis artikel jurnal. Ada juga yang konsisten menulis di blog.

Selain mendampingi secara langsung kegiatan menulis, misalnya lewat pelatihan, saya juga bergabung dalam grup-grup menulis. Meskipun kondisi grup sangat dinamis terkait keaktifan menulis para anggotanya tetapi saya menikmati kondisi yang ada. Secara sederhana anggota grup terbagi menjadi: anggota aktif-rutin menulis, anggota aktif-kurang rutin menulis, anggota aktif-jarang menulis, anggota rajin menyimak, dan anggota yang menyimak pun tidak. Terlepas dari kriterianya, aspek yang lebih substansial adalah saya terus menunggui grup demi grup itu. Tentu ketika ada yang menulis, kebahagiaan saya membuncah. Rasanya bahagia sekali.

Saya juga mengajak banyak kawan untuk menulis buku antologi. Temanya bermacam-macam, sesuai dengan kondisi. Sejauh ini apresiasinya sangat luar biasa. Saya tidak menghitung berapa buku antologi yang telah terbit. Sepanjang kawan-kawan mau menulis saja bagi saya sudah merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.

Saya lebih berbahagia lagi karena banyak kawan yang kemudian mengembangkan tradisi menulis ini di komunitas mereka. Mereka membentuk grup, mengadakan pertemuan, menulis buku antologi, dan usaha-usaha kreatif lainnya. Sayap literasi semakin melebar dan memberikan inspirasi secara lebih luas.

Spirit literasi ini juga saya bawa ke lembaga tempat saya mengajar, yaitu UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Salah satu bentuknya adalah kewajiban mahasiswa yang KKN untuk menghasilkan satu buku wajib bagi setiap kelompok. Lewat program ini ratusan buku antologi telah ditulis oleh para mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.

Sebagaimana saya tulis di bagian awal catatan sederhana ini, menjadi penulis itu kerja sosial. Aspek ini yang menjadi pertimbangan utama. Apakah saya tidak rugi? Saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk tidak melihat segala sesuatu dari ukuran pragmatis. Dari sisi waktu, tenaga, pikiran, dan materi ya tentu saya harus berkorban. Tapi saat melihat karya demi karya yang dihasilkan, kebahagiaan saya membuncah. Saya berharap mereka terus menekuni dunia menulis, menerbitkannya, dan kemudian memberikan banyak manfaat kepada orang lain. Lewat cara demikian saya berharap ada keberkahan dalam kehidupan saya.

Sungguh keberkahan menekuni dunia literasi dan mendampingi grup-grup menulis itu sangat luar biasa. Saya merasakannya. Saya bisa memiliki banyak sahabat lintas pulau. Saya juga merasakan keberkahan lain dalam bentuk diskusi dan juga menghadiri undangan-undangan dalam bidang literasi. Pada titik inilah saya semakin yakin bahwa pilihan hidup untuk menekuni dunia literasi merupakan pilihan yang tepat.

 

Trenggalek, 17 September 2021

18 komentar:

  1. Mantap kisah literasi ya pak Dosen....satu bab sendiri yang inspiratif.

    BalasHapus
  2. Masya Allah, Bapak. Saya salut dengan gerakan Bapak dalam dunia literasi. Kerja sosial sebagai sumber amal jariah. Semoga berkah.

    BalasHapus
  3. Motivator handal dalam literasi... matur nuwun ....

    BalasHapus
  4. Wah, termasuk saya berarti Pak. Saya senang mengajak orang lain menulis walaupun saya belum terampil menulis.
    Terima kasih motivasi dan inspirasinya.

    BalasHapus
  5. Sangat inspiratif Pak, terimakasih sudah diperkenalkan dunia literasi pada saya🙏

    BalasHapus
  6. Terima kasih kisah pengalaman yang hebat semoga saya bisa mengikutinya

    BalasHapus
  7. Sangat menginspirasi sy juga belajar dari Bapak Dr. Ngainun belajar, membaca, menulis dan berbagi dg grup mengadakan pelatihan kecil2 an dg Bu Nora alhamdulillah sdh gel 6. Terima kasih ilmu Pak Ngainun Barokah

    BalasHapus
  8. Pengalaman yang luar biasa, semoga bisa mencontoh

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.