Menulis yang Dialami

September 30, 2021

Ngainun Naim

 

Menulis itu dunia unik. Dunia yang memiliki dinamika, corak, warna, dan hal-hal yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Substansinya sesungguhnya tetap, yaitu mengeluarkan ide dalam bentuk tulisan, namun hal-hal yang berkaitan dengan menulis tidak tetap.

Dulu orang menulis hanya dengan bermodalkan pena dan kertas. Tulisan tangan adalah jejak awal dalam menuangkan gagasan. Ada yang ditindaklanjuti untuk dicetak, ada yang tetap dalam bentuk tulisan tangan. Jika umurnya cukup tua, ia bermetamorfosis menjadi manuskrip.

Menulis itu sesungguhnya merupakan aktivitas berproses sepanjang masa. Tidak ada kata berhenti. Penulis yang baik akan terus belajar dan meningkatkan keterampilan menulisnya. Lewat cara semacam ini diharapkan kualitas tulisan yang dihasilkan semakin baik dari waktu ke waktu.

Bagi penulis, tidak ada proses instan. Semuanya membutuhkan perjuangan, ketekunan, kesabaran, dan ketabahan. Aspek semacam ini yang biasanya belum dipahami dan disadari oleh para penulis pemula. Banyak penulis pemula yang berpikir bahwa menulis itu bisa langsung jadi dan bagus. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh banyak ahli dan penulis ternama, tulisan yang baik itu merupakan akumulasi dari proses menulis dan editing yang dilakukan berkali-kali.

Aspek yang biasanya menjadi masalah bagi penulis pemula adalah ide. Ya, bingung mau menulis apa. Pencarian ide ini bisa menghabiskan banyak energi sehingga kalau belum ketemu ide, tentu tidak akan bisa menulis. Bertemu ide sesungguhnya juga bukan jaminan tulisan akan dapat dengan mudah dibuat. Namun demikian setidaknya ide menjadi kunci untuk membuka tulisan agar bisa selesai.

Salah satu ide yang bisa ditulis adalah hal-hal yang dialami. Pengalaman, pengamatan, renungan, dan interaksi sosial adalah modal penting dalam menghasilkan karya. Menulis akan menjadi mudah manakala yang kita tulis adalah hal-hal yang memang kita ketahui dan kita kuasai. Jadinya tinggal menulis saja karena bahannya sudah tersedia.

Saya ingin memberikan contoh beberapa buku yang isinya adalah hal-hal yang dialami oleh penulisnya. Buku semacam ini bisa menjadi role model bagi kawan-kawan yang ingin menekuni dunia menulis. Membaca buku-buku semacam ini penting artinya agar kita memiliki banyak wawasan, imajinasi sosiologis, dan modal yang akan dikembangkan menjadi tulisan.


 

Buku pertama yang saya jadikan contoh adalah buku karya Kamim Thohari. Judulnya Rumi Kecil, Mereguk Makna di Setiap Cerita (Guepedia, 2021). Buku karya lulusan IAIN Tulungagung ini berisi kumpulan tulisan tentang berbagai topik. Semua yang ditulis oleh Kamim Thohari adalah tentang hal-hal yang ia alami.

Saya ingin mengambil contoh tulisan pertama dalam buku karya Kamim Thohari dengan judul “Pengalaman Berharga”. Tulisan ini bercerita tentang bagaimana Kamim dan kawan-kawannya membuat komunitas literasi. Jadi isinya ya cerita mulai dari bagaimana komunitas terbentuk, aturan, anggota, hambatan, dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan lewat komunitas ini. Sebuah cerita sederhana namun ditulis dengan mengalir karena penulisnya mengalami sendiri. Jadi tulisan ini semacam berbagi pengalaman.

Pada halaman 51-52 Kamim menulis judul “Waktu Bersama Istri”. Membaca judulnya saya yakin kawan-kawan bisa menebak isinya. Ya, tulisan ini berkisah tentang romantika Kamim dan istrinya. Dikisahkan bagaimana Kamim dan istrinya berdialog pada suatu senja dengan ditemani kopi dan teh. Topik perbincangannya adalah tentang hal-hal sederhana dalam kehidupan mereka.

Pada halaman 169-171 Kamim menulis judul “Sarjana Kok Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga?”. Tulisan ini merupakan akumulasi dari membaca buku dan perbincangan dengan beberapa orang. Menurut Kamim, orang umumnya menyepelekan para perempuan yang kuliah sampai menjadi sarjana namun akhirnya “hanya” menjadi ibu rumah tangga. Kamim tidak sependapat dengan pandangan semacam ini. Ia membangun argumen yang cukup kokoh. Argumen Kamim terbangun berbasis pengalaman dan bacaan. Sebuah tulisan yang cukup menarik.

Seluruh isi tulisan di buku karya Kamim ini berasal dari pengalaman. Jadinya terasa sederhana namun tetap tidak kehilangan substansi dan makna. Memang, tulisan yang berasal dari pengalaman cenderung lebih mudah dibuat karena penulis sendiri memiliki modal untuk ditulis. 


 

Saya ingin menunjukkan lagi buku yang ditulis berdasarkan pengalaman. Buku ini ditulis oleh dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah—atau UIN SATU—Tulungagung, Muhammad Mustofa Ludfi. Kebetulan saya mendapatkan kehormatan memberikan kata pengantar pada buku keren dengan judul Menunggu Senja di Pematang Samar (Catatan dari Balik Tangkapan Layar) (Abdullah Arief Publishing, 2021).

Buku ini bisa disebut sebagai catatan harian Habib Ludfi—sapaan akrab penulis buku ini—sebagai Dosen Pembimbing Lapangan KKN UIN SATU Tulungagung. Secara cermat dan rajin Habib Ludfi menulis tahap demi tahap menjadi DPL. Habib Ludfi termasuk novelis terkenal. Wajar ketika menulis nonfiksi seperti buku ini bahasanya mengalir penuh pesona. Sangat memikat dan menggoda untuk dibaca.

Buku ini terdiri dari 13 judul tulisan. Pada bab “Pendahuluan”, Habib Ludfi menceritakan tentang hal-ikhwal menjadi DPL dengan tugas dan kewajibannya. Paparannya cukup menarik dan mengajak pembaca seolah mengalami apa yang ditulisnya. Hal ini—sekali lagi—karena penulis buku ini memiliki modal untuk menulis, yaitu pengalaman. 

Bab “Pembukaan KKN-VDR 2021” berkisah seluk-beluk pelaksanaan KKN di lokasi semasa pandemi. Penuh suka duka. Ada ketegangan, ada komunikasi yang harus dilakukan secara berulang, dan ada dinamika yang menghentak. Semuanya diolah dengan begitu rupa.

Ada bab unik yang berjudul “Pak Lurah Energik dan Harmoni Karawitan”. Bab ini berkisah interaksi Habib Ludfi dengan Kepala Desa Samar, Rubik Astono. Mari simak bagaimana Habib Ludfi menuturkan sosok kepala desa ini.

Beliau bernama Rubik Astono. Lahir di tahun 1978. Pawakannya tidak besar, juga tidak kecil. Ideal sekali sebagai Bapak Kepala Desa. Senyumnya selalu mengandung semangat. Gerak tubuhnya lincah. Isi kepalanya menolak tua. Inovasi-inovasi khas pemuda mengular dari otaknya. Sebagai lulusan Diploma, beliau tidak ingin ilmunya hanya berhenti di selembar kertas yang delaminating. Semua harus diwujudkan dalam gerak pembangunan desa (h. 109-110).

 

Habib Ludfi bisa menulis dengan detail tentang sosok Kepala Desa Rubik Astono karena ia telah bertemu, berinteraksi, dan melakukan observasi. Ya, mengalami—sebagaimana dalam judul tulisan ini—sesungguhnya adalah melakukan observasi. Jika ingin menghasilkan tulisan yang baik memang harus banyak melakukan observasi. Bukan sekadar melakukan pengamatan tetapi juga mencatat. Nah, catatan demi catatan ini akan menjadi modal saat menulis.


 

Saya juga pernah menulis buku berbasis pengalaman. Judulnya Literasi Dari Brunei Darussalam. Buku ini berisi hal-ikhwal perjalanan saya ke negeri tersebut pada bulan Desember 2019. Jadi ya hanya catatan perjalanan saja.

Tiga buku yang saya tulis di atas adalah contoh bagaimana menulis yang dialami. Saya tidak mengatakan mudah untuk menuliskannya tetapi jika Anda menulis tentang hal ini maka Anda memiliki banyak bahan. Tinggal berjuang mewujudkannya. Bukan sekadar berangan-angan lalu hilang ditelan kesunyian.

 

Trenggalek—Tulungagung, 28-30 September 2021

11 komentar:

  1. Sangat menginspirasi. Sia pak Doktor gainun. Mksih

    BalasHapus
  2. Pengalaman yang diabadikan dalam buku. Super Gus

    BalasHapus
  3. Terima kasih Pak Naim, berkat ulasan yang memesona untuk buku solo pertama saya, akhirnya ada yang tertarik meminangnya lagi. Sungguh berkat hadirnya "nyawa" di setiap huruf yang Pak Naim rangkai bisa membuat rekat orang lain untuk mau mereguk makna di setiap cerita. Kalau Pak Naim tidak keberatan, bolehlah juga memberi ulasan di buku kedua saya, siapa tahu ada yang meminangnya lagi, Hehe.

    BalasHapus
  4. Terima kasih Mas Doktor, tambah ilmu, selamat Pak Kamim Tohari.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.