Saya, Bapak, dan Tribute to Ayah

Desember 07, 2021


 

Ngainun Naim

 

BAPAK memiliki tempat spesial dalam diri saya. Saya sekarang ini adalah saya yang dibentuk oleh Bapak. Didikan, mimpi, dan harapan beliau saling berkaitan dan memengaruh jejak perjalanan hidup saya.

Sebagian besar orang memiliki posisi yang mirip dengan saya terkait sosok bapak. Meskipun kita juga tidak bisa menafikan adanya orang yang memiliki sejarah kelam dengan sosok bapak. Namun saya—sesuai pemahaman dan basis ajaran agama yang saya anut—menempatkan sosok Bapak dan Ibu sebagai figur yang sangat penting.

Bapak telah berpulang pada 11 Mei 2020, namun saya selalu berdoa dan berziarah ke makam beliau. Jika tidak banyak kesibukan, saya bisa seminggu dua kali berziarah. Bagi saya, ziarah ke makam Bapak harus saya dulukan sebelum ziarah ke makam wali dan kiai.

Diskusi tentang sosok Bapak memang selalu membuat saya bersemangat. Entahlah, saya merasakan ada energi hidup yang bertambah. Karena itu ketika tanggal 22 Oktober 2021 seorang tokoh literasi nasional, Pak Adrinal Tanjung, mengundang saya dalam diskusi buku beliau yang berjudul Tribute to Ayah, saya merasa sangat tersanjung. Ini sebuah penghargaan luar biasa. Undangan dari seorang birokrat kreatif yang bersemangat dengan Gerakan Sabisabu—Satu Birokrat Satu Buku—segera saya sanggupi.

Akhir tahun biasanya cukup padat dengan kegiatan. Persoalan birokrasi keuangan pemerintah karena Covid-19 yang tidak sederhana berdampak pada mundurnya banyak kegiatan. Saya hanya kuatir ketika acara yang waktunya telah ditentukan oleh Pak Adrinal Tanjung harus berbenturan dengan kegiatan lainnya. Karena itu saya menulis di WA saya, “Semoga tidak kres karena Nopember ini kebetulan sedang banyak kegiatan”.

Rupanya jadwal kegiatan mengalami perubahan. Jadwal awal akan dilaksanakan pada tanggal 7 Nopember. Ternyata pada tanggal itu saya ada kegiatan diskusi via Zoom dengan organisasi di mana saya aktif di dalamnya, yaitu Sahabat Pena Kita (SPK). Saya sampaikan ke Pak Adrinal, “Ternyata jam 15.00 saat acara itu saya juga ada acara yang sudah lama diagendakan. Saya baru ingat saat diberitahukan kembali oleh panitia. Mohon maaf kalau bisa di acara Pak Adrinal saya diberi kesempatan untuk tidak lebih dari jam 15.00 WIB. Biar semuanya bisa jalan”.

Ternyata acaranya diundur. Alhamdulillah, acara dilaksanakan tanggal 20 Nopember 2021. Saya pun bisa mengikuti acara meskipun saat itu saya ada di Jakarta untuk suatu kegiatan.

Sebagai bekal untuk acara saya dikirimi draft buku karya Pak Adrinal Tanjung dengan judul Tribute to Ayah, Mambangkik Batang Tarandam. Buku ini saya baca dengan serius di sela-sela kegiatan yang padat merayap. Setiap ada kesempatan membuka laptop, saya membuka file buku dan menekuni bagian demi bagian. Beberapa bagian yang penting saya catat sebagai pengingat sekaligus pelajaran berharga.

Adrinal Tanjung merupakan seorang birokrat yang sangat produktif dalam menulis. Buku yang dibedah kali ini merupakan karyanya yang kesekian puluh. Tentu ini menarik karena birokrat biasanya jarang yang menulis buku. Adrinal Tanjung menjadikan buku sebagai dokumentasi sekaligus kartu nama. Setiap bertemu orang, ia akan memperkenalkan dirinya lewat buku yang ia tulis.

Di masa lalu saya memiliki ratusan kartu nama dari orang-orang yang saya kenal. Sekarang ini, meskipun masih ada, jumlah yang memberikan kartu nama sebagai perkenalan sudah sangat berkurang. Pada titik inilah strategi buku sebagai kartu nama yang ditempuh Adrinal Tanjung bisa menjadi role model yang penting.

Menulis memang tidak mudah, namun hal yang membuat semakin tidak mudah adalah alasan yang dibuat. Kesibukan menjadi salah satu alasan yang menghambat menulis. Padahal seandainya tidak sibuk pun juga belum tentu menulis. Sesungguhnya menulis bukan soal sibuk atau tidak sibuk tetapi soal kemauan. Adrinal Tanjung menjadi bukti bagaimana ia terus berkarya di tengah kesibukan yang terus mendera. Kesibukan bukan alasan untuk tidak menulis.

Buku Tribute to Ayah adalah bukti bagaimana Adrinal Tanjung tetap konsisten berkarya. Buku demi buku yang lahir disebabkan—antara lain—tradisi bangun pagi yang diajarkan oleh ayahnya. Pagi buta saat orang masih terlelap, Adrinal Tanjung sudah asyik dengan kegiatan kreatif, khususnya membaca dan menulis. Buku-buku Adrinal Tanjung yang sarat dengan kutipan pemikiran dan kata-kata mutiara merupakan bukti bagaimana menulis berpasangan setia dengan membaca.

Meskipun sesungguhnya buku ini dipersembahkan untuk ayahanda Adrinal Tanjung tetapi kandungan buku bersifat universal. Ada banyak ajaran kebajikan yang bisa kita ambil. Pertama, hidup itu harus banyak bersabar dan mengalah. Tidak semua hal sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dibutuhkan perjuangan yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Tidak juga harus menang karena sesungguhnya mengalah juga bagian dari ikhtiar menuju kemenangan yang substantif.

Kedua, tetap bermimpi untuk meraih karya dan prestasi. Mimpi adalah kunci untuk menuju hidup yang lebih baik. Tanpa mimpi, hidup akan datar dan kehilangan makna. Mimpi yang kemudian diwujudkan dalam usaha kreatif adalah titik pijak dalam mencapai prestasi.

Ketiga, kunci nikmat hidup adalah bersyukur. Setiap jejak hidup idealnya dijalani dengan penuh syukur. Bersyukur merupakan jalan yang menjadikan kehidupan kita menjadi indah.

Keempat, bahagia itu tidak selalu datang dengan tiba-tiba. Sangat mungkin kita kehilangan bahagia justru karena hidup kita terhegemoni teknologi. Pada titik ini hegemoni harus diberi jeda. Mematikan HP yang sudah “merenggut” kebebasan kita dalam jangka waktu tertentu bisa jadi merupakan salah satu jalan bahagia. Adrinal Tanjung menulis bagaimana beberapa kawannya justru sukses dan bahagia karena HP tidak selalu on. Saat tertentu ia membukanya, sementara saat yang lain ia meninggalkannya demi ketenangan jiwa saat bekerja.

Kelima, menghadapi masalah dengan biasa-biasa saja. Tidak ada orang yang tidak memiliki masalah. Perbedaan antara satu orang dengan orang yang lainnya adalah cara menghadapi masalah. Adrinal Tanjung memberikan nasihat yang sungguh berharga terkait dengan masalah. Bagi Adrinal Tanjung, masalah itu pemanis. Ia tidak abadi karena masalah itu akan berlalu.

Keenam, menulis itu tidak selalu mudah tetapi harus dijalani. Adrinal Tanjung di buku ini dan buku-buku karyanya yang lain menyebut bahwa aktivitas menulis itu merupakan aktivitas yang berdarah-darah. Namun demikian menulis akan tetap dijalani dengan penuh rasa syukur karena menulis itu pula yang bisa memberikan rasa Bahagia.

Ketujuh, kita hari ini adalah apa yang ditanam oleh orang tua kita. Karena itulah saya setuju sekali dengan pendapat Adrinal Tanjung yang menyatakan bahwa kesuksesan kita sesungguhnya merupakan aktualisasi dari kesuksesan orang tua dalam mendidik kita.

Adrinal Tanjung dan karyanya adalah inspirasi. Inspirasi itulah yang membuat saya menyampaikan beberapa aspek—di antaranya seperti yang saya tulis ini—pada acara online yang digelar pada 20 Nopember 2021. Selamat Pak Adrinal Tanjung atas buku barunya dan tetaplah menginspirasi kita semua. Salam.

 

Trenggalek, 5-12-2021

10 komentar:

  1. Sangat bermanfaat Prof. Menambah wawasan dan semangat terus menulis

    BalasHapus
  2. Ayah...
    Dalam hening sepi kurindu
    Untuk...
    Menusi padi milik kita
    Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
    Sekarang anakmu banyak menanggug beban
    (Ebit)

    Bapak adalah vigur motivator sejati yg tak pernah lelah berjuang demi kami, anak2nya

    BalasHapus
  3. Anak kita adalah cita-cita kita dan kita adalah cita-cita orangtua kita.
    Heeemmm....luar biasa.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.