Meraih Nur Ilmu

Januari 10, 2022


 

Ngainun Naim

 

 

NAMANYA Dr. KH. Muhammad Maksum Zein. Beliau merupakan guru saya semasa di MAN Denanyar Jombang yang berada di PP Mamba’ul Ma’arif. Matakuliah yang beliau ajarkan waktu itu adalah Ushul Fiqh dan Ilmu Kalam.

Pak Kiai Maksum—begitu saya memanggil beliau—merupakan guru yang unik. Saat mengajar beliau tidak mau menggunakan buku karya orang lain. Buku yang digunakan mengajar adalah buku karya tulis beliau sendiri.

Awal tahun 1990-an sarana tulis menulis masih sangat sederhana. Ya, saat itu sarana yang memungkinkan adalah mesin ketik. Melalui alat ini, Kiai Maksum menuliskan karya demi karya.

Hari Sabtu tanggal 8 Januari 2021 saya bersama beberapa kawan silaturrahim ke ndalem Kiai Maksum di Mojongapit Jombang. Alhamdulillah, bisa bertemu beliau.  Di usia yang hampir 65 tahun, Kiai Maksum masih terlihat sehat dan bugar. “Sekarang sudah tidak berani merokok lagi”, jawab beliau terkekeh ketika ditanyakan apa masih merokok.

Salah seorang anggota rombongan kami adalah Drs. Supriono. Beliau merupakan alumni PP Mamba’ul Ma’arif yang menjadi saksi bagaimana Kiai Maksum berkarya. Saat itu seringkali Pak Pri—sapaan akrab saya ke beliau—dimintai bantuan oleh Kiai Maksum untuk mengetik. Kopi, rokok, dan kitab adalah rangkaian yang menemani Kiai Maksum dalam menghasilkan kitab demi kitab.


 

Meskipun saya telah tamat dari MAN Denanyar Jombang pada tahun 1994, relasi saya masih cukup akrab dengan Kiai Maksum. Sekira lima tahun lalu, beliau mendapatkan nomor HP saya. Sejak itu kami intensif berkomunikasi. Dua kali saya bertemu beliau. Di ndalem beliau di Jombang dan di IAI Tribakti Kediri tempat beliau mengajar. Komunikasi via HP nyaris setiap hari.

Sejauh ini saya mendapatkan banyak inspirasi dari Kiai Maksum. Pertama, spirit menulis. Ya, Kiai Maksum adalah sosok yang gigih dalam menulis. Karya tulis beliau sangat banyak. Menurut perkiraan saya di atas seratus buah. Beberapa di antaranya Hukum Waris Islam dalam Teori dan Aplikasi, Arus Besar Pemikiran Empat Madzhab, Ilmu Ushul Fiqh, Pemikiran Politik Islam, dan puluhan buku-buku yang tidak terhitung.

Ketika kemarin kami sowan beliau, beberapa draft buku berbahasa Arab menumpuk di meja. Jumlahnya tidak hanya satu tetapi beberapa. Sungguh, beliau merupakan kiai penulis yang sangat produktif. Saya secara jujur mengakui bahwa beliau merupakan inspirasi kepenulisan yang luar biasa.

“Usia saya sudah 64 tahun. Karya tulis merupakan warisan yang sangat penting”, jelas beliau di tengah-tengah perbincangan. Bagi beliau, menulis adalah bagian dari jejak hidup yang terus-menerus dilakukan tanpa henti. Royalti dan keuntungan materi sudah terlampaui.

Kedua, selalu mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah. Setiap jam 02.30 WIB beliau selalu mengirimkan pesan kepada saya—dan saya yakin kepada banyak lagi santri beliau—agar bangun dan menjalan shalat malam, shalat witir, dan shalat rak’atayil fajri. Pesan yang selalu diulang untuk sebagai penegasan akan makna pentingnya. Di akhir WA selalu ada pesan berbahasa Jawa, “Monggo…ngutuni pados ceblokipun upo saking Allah SWT teng kita”.


 

Ketiga, ilmu dan nur ilmu. Belajar itu harus terus-menerus dilakukan sepanjang hidup. Namun belajar kepada orang ‘alim—lewat berbagai bentuk—merupakan aspek yang harus dirawat secara baik. Ilmu saja tidak cukup. Hati, pikiran, perbuatan, dan hal-ikhwal kehidupan kita sangat mudah tertutupi oleh kerak dosa. Kerak ini menjadi hijab atau penghalang keberkahan ilmu. Di sinilah pentingnya ilmu dan nur ilmu. Peranan guru sangat penting. Guru yang ikhlas merupakan sosok yang bisa membuat cermin hati menjadi jernih sehingga cahaya Allah bisa bersinar terang dalam sanubari.

Kami sangat bahagia mendapatkan wejangan ilmu dan ijazah doa yang sungguh luar biasa. Waktu satu jam rasanya belum cukup tetapi kami masih memiliki agenda lain. Kami pun pamit dan diikuti dengan ritual wajib: foto bersama. Semoga beliau senantiasa sehat dan terus berkarya sehingga bisa meningkatkan wawasan umat.

 

 

Trenggalek, 10-01-2021

15 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.