Filantropi, Kebahagiaan, dan Literasi

Maret 19, 2022


 

Oleh Ngainun Naim

 

 

SAYA menyukai literasi sejak lama. Bukan sekadar teori literasi tetapi literasi yang telah bertransformasi menjadi aksi yang tidak sendiri. Ada komunitas yang mau membaca-menulis sampai akhirnya mampu menghasilkan tulisan.

Saya meyakini literasi adalah kemajuan hidup. Keyakinan ini kemudian saya wujudkan dalam aktivitas membaca dan menulis setiap hari. Keyakinan ini bukan sebatas keyakinan tetapi keyakinan sebagai basis tindakan.

Jejak perjalanan menekuni dunia literasi membawa hasil yang sungguh tidak terkira. Tanggal 3 Januari 2022 bersamaan dengan Upacara HAB di Kantor Kementerian Agama Jakarta, saya menerima SK Guru Besar langsung dari Menteri Agama RI H. Yaqut Cholil Qoumas. Sungguh ini merupakan anugerah hidup yang tidak terkira.

Kawan-kawan yang merasa berbahagia dengan turunnya SK Guru Besar saya, selain memberikan ucapan selamat, juga berinisiatif menulis hal-ikhwal saya. Tentu saya menghargai inisiatif mereka. Tulisan demi tulisan yang dibuat oleh kawan-kawan adalah aktualisasi spirit literasi yang selama ini saya perjuangkan.

Pada tulisan ini, saya akan mencoba menghubungkan tiga kosa kata: filantropi, literasi, dan kebahagiaan. Mungkin akan membingungkan juga bagaimana relasi tiga kata kunci ini. Tidak apa-apa dan anggap saja sebagai hal biasa.

Dalam buku karyanya yang berjudul Nuansa Fiqih Sosial, K.H. M.A. Sahal Mahfudh (2012: 117) menyatakan bahwa kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah akibat perubahan nilai yang tengah terjadi. Nilai-nilai spiritual Islam tidak lagi menjadi rujukan baku sebagaimana era-era dulu. Solidaritas Islam sebagai nilai berhadapan dengan sikap masyarakat yang cenderung semakin individualistik dan pragmatis.

Pendapat tersebut memang benar adanya. Memang ada kecenderungan umum menurunnya pengamalan dan penghayatan agama masyarakat. Masyarakat sekarang ini cenderung semakin sekular dan individualistik. Agama semakin menurun peran fungsionalnya dalam kehidupan.

Namun demikian bukan berarti di masyarakat sudah sekular seluruhnya dan agama kehilangan perannya yang vital. Berbagai perilaku kebaikan dan aktualisasi ajaran agama masih banyak kita temui di masyarakat. Nilai-nilai kebaikan tersebut bisa saja dilakukan oleh individu atau kelompok, baik dalam bentuk bantuan tenaga, harta, maupun bentuk bantuan lainnya. Apa yang mereka lakukan, sedikit atau banyak, memberikan pengaruh kepada masyarakat yang ada di sekitarnya.

Kebaikan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan lebih dikenal dengan istilah filantropi. Filantropi sendiri ditinjau dari sisi bahasa berasal dari bahasa Yunani philein yang berarti ”cinta” dan anthropos yang berarti ”manusia”. Secara pengertian, filantropi merupakan tindakan seseorang yang mencintai sesama sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah filantropi pada umumnya diberikan kepada orang-orang yang memberikan dana atau barang-barang yang dimilikinya untuk amal (Amelia Fauzia, 2016).

Pelaku filantropi umumnya orang-orang yang memiliki ”kelebihan”, khususnya harta. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bantuan diberikan oleh mereka yang secara harta sesungguhnya tidak berlebihan, bahkan kurang. Kesadaran keagamaan dan spirit berbagi menjadi daya dorong bagi dilakukannya kegiatan filantropi.

Jika orang kaya mendistribusikan hartanya untuk kebaikan, mungkin itu bukan sebuah fenomena luar biasa. Memang, tindakan semacam itu merupakan tindakan terpuji yang harus terus-menerus didorong kepada banyak orang kaya agar kesenjangan sosial semakin berkurang. Akan tetapi jika yang melakukannya adalah orang yang secara ekonomi kurang beruntung, tentu merupakan sebuah fenomena yang menarik.

Dalam konteks ini, menarik menyimak kisah sepasang pemulung yang beberapa tahun lalu mendapatkan perhatian luas di masyarakat. Pemulung tersebut bernama Yati dan suaminya, Maman. Pasangan yang tinggal di Jakarta ini bersusah payah menabung selama beberapa tahun agar bisa berkorban.

Saat awal mengutarakan niatnya untuk berkorban, banyak orang yang apatis, ketawa, bahkan mengejek. Namun Yati dan suaminya tidak putus asa. Sedikit demi sedikit mereka menabung untuk mewujudkan impiannya. Karena penghasilannya yang kecil, tentu dibutuhkan waktu yang panjang agar terkumpul untuk membeli hewan kurban. Yati dan suaminya menabung selama tiga tahun.

Selama tiga tahun tabungan keduanya mencukupi untuk membeli dua ekor kambing. Keduanya menyerahkan kambing kurban ke panitia di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Banyak jamaah masjid mewah tersebut meneteskan air mata haru menyaksikan pasangan pemulung tersebut saat menyerahkan kambing kurban. Perjuangan pasangan pemulung tersebut merupakan fenomena yang mengharukan. Mereka berdua adalah teladan di tengah kegersangan spiritual, semakin menguatnya individualitas, dan melemahnya solidaritas sosial.

Bagi masyarakat luas yang memiliki penghasilan dan kehidupan lebih baik, apa yang dilakukan oleh Yati dan suaminya merupakan sebuah ’tamparan’. Jika orang yang penghidupannya susah saja mampu berusaha keras untuk menabung sehingga mampu berkurban, seharusnya masyarakat yang kehidupannya lebih baik melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik dari apa yang dilakukan Yati dan suaminya.

Apa yang dilakukan oleh Yati dapat juga menjadi simbol perlawanan di tengah arus pragmatisme masyarakat. Pembagian hewan kurban dalam beberapa tahun belakangan banyak berhadapan dengan persoalan rumit, terutama saat distribusi. Di beberapa tempat, banyak orang yang berdesakan dan berebutan agar mendapatkan daging kurban.

Pelajaran penting yang seharusnya kita petik adalah bahwa berkurban itu tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang cukup secara materi, tetapi juga oleh mereka yang secara ekonomi kurang beruntung. Kemauan berkurban, dan juga bersedakah, sebaiknya memang dilakukan sejak dini. Latihan dan kemauan untuk berbagi tidak bisa tumbuh begitu saja. Orang yang tidak pernah berbagi akan berat untuk melakukannya.

Menarik untuk menyimak kisah yang ditulis oleh Jusuf Sutanto (2006: 121-122). Alkisah, ada seorang kaya yang amat kikir, tidak pernah mau mendermakan hartanya, dan maunya hanya selalu menerima saja. Ketika ia berjalan di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terperosok ke dalam lubang yang tidak terlalu dalam. Setiap kali ia berusaha naik, selalu jatuh kembali, kecuali ada orang yang menariknya dari atas, sampai akhirnya, satu-satunya jalan adalah berteriak-teriak minta tolong supaya terdengar orang.

Beberapa lama kemudian, lewatlah seorang tua yang mendengar teriakan itu dan mendekat. ”Ulurkan tanganmu, saya akan mengangkatmu keluar!” Anehnya, orang yang tercebur itu tidak juga mau memberikan tangannya. Ia malah diam saja dengan dahi mengkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Setelah berkali-kali diminta tapi tidak juga diulurkan tangannya, akhirnya orang tua itu yang mengulurkan tangannya sambil berkata: ”Ini tanganku, peganglah, nanti kamu saya tarik ke atas!” Orang itu segera memegang erat-erat tangan si penolong itu hingga bisa ditarik keluar dari lubang.

Orang kikir itu selama hidupnya tidak pernah membantu dan menolong orang lain, sehingga ketika diminta mengulurkan tangan supaya bisa dibantu oleh orang lain, ia ragu-ragu melakukan sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukannya. Hanya karena si penolong adalah seorang sufi yang sudah mengalami asam garam kehidupan, ia bisa memahami apa yang tersurat di dalam benak orang kikir itu, sehingga hanya dengan mengubah positioning dari meminta menjadi memberikan tangannya, maka masalahnya bisa dipecahkan.

Kisah ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa mengulurkan tangan tidak hanya berkaitan dengan kesadaran dan kemauan, tetapi juga mentalitas. Mentalitas memberi memang seharusnya ditumbuhkembangkan sehingga menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupan.

Berbagi itu membahagiakan. Ada sangat banyak contohnya. Aspek mendasar yang selalu dicari oleh manusia dalam kehidupan ini adalah bahagia. Kita bekerja mati-matian juga untuk mendapatkan bahagia. Ketika hasil telah dicapai, biasanya bahagia itu perlahan tetapi pasti pergi. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa bahagia dalam bentuk kepemilikan harta bukan satu-satunya ukuran bahagia.

Bahagia telah menjadi bidang kajian para ahli. Ada yang meninjau bahagia perspektif sosial, budaya, psikologi, hingga tasawuf. Semua tinjauan ini menjelaskan bahwa kata bahagia itu mudah diucapkan tetapi belum tentu dalam praktik. Cara bahagia yang strategis adalah merubah cara pandang. Filantropi salah satunya.

Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan dengan dunia literasi selama ini sebagai filantropi. Bagi saya, literasi bukan sebagai keterampilan pribadi. Literasi harus dibagi kepada banyak orang agar menjadi energi transformasi (Naim, 2021). Saya merasakan bahagia sekali manakala ada banyak orang yang mau dan mampu menekuni jalan literasi.

Buku ini merupakan manifestasi kebahagiaan saya. Tulisan demi tulisan di buku ini merupakan cerminan literasi sebagai praktik, bukan sebagai teori. Saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih tak terkira kepada semua penulis di buku ini. Sungguh, literasi merupakan energi hidup yang luar biasa. Capaian Guru Besar saya dipengaruhi oleh—salah satunya—aktivitas literasi yang saya tekuni.

 

Ngainun Naim, Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Aktif dalam kegiatan literasi. Beberapa bukunya yang bertema literasi adalah Menulis Itu Mudah, 40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya (2021), Proses Kreatif Penulisan Akademik (2017), The Power of Writing (2015), Spirit Literasi: Membaca, Menulis dan Transformasi Diri (2019) dan Literasi dari Brunei Darussalam (2020).

 

Bacaan

Amelia Fauzia, Filantropi Islam, Yogyakarta: Gading, 2016

Jusuf Sutanto, Spiritual Wisdom, Jakarta: Hikmah, 2006

K.H.M.A. Sahal Mahfud, Nuansa Fikih Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2012

Ngainun Naim, Menulis Itu Mudah, 40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya, Lamongan: Kamila, 2021

22 komentar:

  1. Mantab surantab Profesor Kiai Literasi Nusantara...

    BalasHapus
  2. Luar bisa sangat menginspirasi. Terima kasih Prof. Naim

    BalasHapus
  3. Mantap prof semoga sehat dan sukses🙏👍

    BalasHapus
  4. Cakep banget kyai Ngainun.
    Semoga sehat2 selalu terus bisa mengawal kami2 pemula menulis... Slm literasi Prof.... Dr jkt tebet..

    BalasHapus
  5. Kata paling bermakna... Filantropi

    BalasHapus
  6. Mantap Prof. Sangat menginspirasi. Thanks.

    BalasHapus
  7. Selamat.nggih Pak.Salam literasi

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah. Mendapat pelajaran dari kisah yang luar biasa

    BalasHapus
  9. Tulisan ini lengkap, ada cerita hikmah dan banyak bisa diteladani. Proses kreatif menulis Mas Prof yang istiqomah, dan menghasilkan buah yang manis. Itu juga membahagiakan.

    BalasHapus
  10. Alhamdulillah, semoga selalu sehat n berkah untuk kita semua

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.