Dua Rasa Kuliner Minang: Enak dan Enak Banget
Ngainun Naim
Sebelum menulis lebih jauh tentang judul ini, saya ingin membuat sebuah pengakuan. Pengakuan sederhana tentang makanan Padang. Saat di kantor, saya kurang bisa menikmati nasi padang. Bagi lidah saya, rasanya kurang klik. Jika ada pilihan menu lain, saya biasanya memilih yang lain, bukan nasi padang.
Namun rupanya cerita berubah saat saya berkesempatan mengunjungi Sumatera Barat pada tanggal 27-30 Maret 2022 lalu. Kunjungan saya untuk memenuhi undangan LP2M IAIN Batusangkar. Bonus melaksanakan tugas adalah menikmati kuliner yang dahsyat dan mengunjungi beberapa tempat yang sangat indah.
Pesawat Super Air Jet yang saya tumpangi dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta landing di Bandara Internasional Minangkabau pada pukul 14.30 WIB. Saat saya keluar sudah ada Mas Syaiful Marwan yang merupakan Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Batusangkar dan Bang Idris yang akrab dipanggil “Bang Pilot”. Kami saling menyapa dan segera terlibat dalam perbincangan yang hangat.
Bandara Internasional Minangkabau
Perjalanan dari Padang ke Batusangkar lumayan menarik. Setelah melewati jalan landai, kamu mulai masuk ke area perbukitan. Di Lubuk Alung, Bang Pilot membelokkan mobil ke Rumah Makan Kiambang Raya. Ternyata rumah makan ini penuh sesak oleh pengunjung. Jika di Jawa, warung yang ramai oleh pengunjung kemungkinannya dua: rasanya yang istimewa atau harganya murah. Rupanya ada faktor lain mengapa warung ini ramai, yakni menjelang Ramadan. Ya, seminggu sebelum ramadan warung banyak yang tutup karena pemiliknya melakukan berbagai aktivitas persiapan menyongsong bulan puasa. Konsekuensinya, warung yang masih buka menjadi ramai.
Jika di Jawa saya tidak seberapa memilih menu kuliner Padang, kali ini berbeda. Ya, rasa makanan di sini sungguh berbeda. Sensasi kuliner kali ini sungguh mengena dan mengesankan di lidah, bukan karena tidak ada pilihan lain.
Usai makan kami melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Jalanan dari arah berlawanan macet panjang. Saya baca nama-nama lokasi yang kami lalui. Salah satunya adalah Lembah Anai.
Malam menjelang saat saya sampai di hotel tempat menginap, yaitu Emersia Hotel Batusangkar. Segera saya masuk kamar, mandi, shalat, lalu istirahat. Esok pagi saya harus mengisi acara hampir sehari utuh.
Senin siang saat istirahat dari mengisi acara kami makan siang di Rumah Makan Sawah Laman. Di sini menu yang disajikan sangat variatif. Khas RM Padang. Sekali lagi saya merasakan sensasi yang luar biasa. Sungguh berbeda cerapan lidah saya saat menyantap menu masakan padang.
Sore harinya kami mengunjungi Istano Basa Pagaruyung. Malam menjelang ketika kami makan malam di RM & Resto AROMA yang berada tidak jauh dari istana. Sama sebagaimana di tempat yang lainnya, sajian kuliner di sini juga sangat lezat.
Keesokan harinya saat perjalanan menuju Bukittinggi, Pak Fazis menawarkan menu yang berbeda lagi. Kali ini saya diajak ke Warung “Gulai Kambing UNI PINI”. Warungnya kecil karena merupakan kios yang ada di Balai Sei Tarab. Namun jangan tanya ramainya. Kami harus antri berdiri beberapa waktu sampai kemudian mendapatkan tempat duduk.
Tidak salah jika orang rela antri karena memang sensasi rasanya sangat luar biasa. Nikmat sekali. Beda dengan di Jawa, gulai kambing Minang ini rasanya sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Setelah makan kemudian disajikan minuman khas Minang. Namanya kawa daun. Menurut Pak Fazis, kawa itu berasal dari bahasa Arab qahwah yang artinya kopi. Nah, kawa daun maksudnya adalah minuman yang asalnya dari daun kopi. Dulu Belanda melarang masyarakat Minang minum kopi. Biji kopi khusus bagi kalangan penjajah. Orang Minang tidak kalah kreatif. Biji dilarang, daun dimanfaatkan. Minuman ini sangat lezat dan khas.
Sensasi kuliner kembali saya rasakan saat malam hari dalam perjalanan pulang dari Bukittinggi menuju Batusangkar. Kali ini kami makan malam di sebuah rumah makan yang namanya unik. Namanya “Ampera Tanpa Nama H. Rian”. Lokasinya ada di Pasar Kuliner Padang Panjang.
Di lokasi ini berderet warung-warung yang rata-rata ramai pengunjung. Saya kira karena kelezatan rasanya sehingga warung-warung itu dipadati pengunjung. Tampaknya pengalaman tiga hari di Tanah Minang telah mengubah selera makan saya. Awalnya saya kurang suka masakan Padang. Saat di Padang saya hanya menemukan dua rasa: Enak dan Enak Banget.
Trenggalek, 10-4-2022
Jadi kepingin ngicipin edosnya nasi Padang Prof.
BalasHapusPerlu segera dieksekusi
HapusTulisannya tak kalah dengan rasa nasi padang yang enak dan enak banget prof...
BalasHapusMatur nuwun
Hapusbukan nasi padangnya prof.. jiwa halan2 ku yg meronta-ronta
BalasHapusHe he he
HapusJadi kepengen nyobain makanannya Prof hehehehe
BalasHapusPerlu dicoba Om
HapusSubhanallah... Kuliner yang kaya rasa.dengan membaca tulisan prof seolah ikut merasakannya. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Tetap sehat prof.
BalasHapusTerima kasih atas doanya Bu
HapusSenang sekali rasanya bisa berkunjung ke sana dengan menikmati wisata kulinernya. Bagus Mas Prof.
BalasHapusTerima kasih Pak KS
HapusLuar biasa 👍👍 bahasa Minang nya rumah makan Padang memang takana lamak rasonyo prof..,😊
BalasHapusHe he he. Terima kasih Mas.
HapusAlhamdulilah Prof. Ngainun. Kesukaan sy makan nasi Padang kalau kebetulan ke kota. Krn bersih enak
BalasHapusMemang enak Pak Haji
HapusMungkin itu alasan kenapa di Tv-tv kalau disuruh beli makanan selalu bialngnya nasi Padang, prof😄
BalasHapusHe he he iya ya
HapusMasya Allah, ini makanan favorit keluarga Prof
BalasHapusYa karena nikmat sekali
HapusDi Padang dulu saya pernah mampir di lokasi jam Gadang... Mantap prof perjalanan njenengan sangat menginspirasi...
BalasHapusInsyaallah seri berikutnya bercerita tentang jam gadang
HapusWah terasa sangat berbekas perjalanannya di Ranah Minang. Artikelnya cerita menarik sekali
BalasHapusMasyaallah. Terima kasih banyak Pak Doktor.
Hapus