Persahabatan, Buku, dan Renungan Ramadan

Mei 23, 2022


 

Ngainun Naim

 

Saya mengenal nama Mas Wahyu—sapaan akrab saya terhadap Drs. Wahyuddin Halim, M.A., M.A., Ph.D—jauh sebelum bertemu fisik dengan beliau. Nama itu saya baca di artikel jurnal, sebagai reviewer proposal Penerbit Mizan, dan di beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Beberapa kali saya melihat beliau di acara seperti AICIS, namun saya belum berani menyapanya.

Momentum pertemuan intensif terjadi saat kami berdua menjadi reviewer seminar proposal penelitian pada tahun 2018 di IAIN Palopo. Seingat saya, itulah momentum saya menjadi akrab dengan beliau. Kalau tidak salah ingat kami dua kali bertemu di Palopo, lalu bertemu di IAIN Bone, dan berulang kali bertemu di acara-acara Kementerian Agama.

Satu hal yang selalu lakukan saat bertemu beliau adalah memberikan buku sederhana yang saya tulis. Memang buku karya saya bukan buku bermutu. Ya buku dengan kualitas yang biasa saja. Namun buku yang saya berikan adalah wujud persahabatan saya sebagai orang yang mencintai aktivitas membaca dan menulis.

Buah dari memberikan buku adalah mendapatkan balasan buku juga. Saat itu saya sedang duduk di meja untuk mereview proposal ketika Mas Wahyu menyempatkan diri mendatangi saya. Dengan gayanya yang khas dan rambut yang mulai gondrong Mas Wahyu menyerahkan buku karyanya, Taat Ritual Tuna Sosial, Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Musli Indonesia (2021).

Saya tidak langsung menikmati buku yang bagus ini. Butuh momentum dan waktu yang tepat untuk menelusuri halaman demi halaman, menemukan makna yang ada, dan melakukan refleksi untuk kontekstualisasinya. Baru di bulan ramadan tahun 2022 ini buku Mas Wahyu selesai saya baca sampai katam.

Embrio buku ini adalah rubrik ramadan di Harian Tribun Timur tahun 2018. Sebulan utuh Mas Wahyu menulis dengan penuh perjuangan. Nama rubriknya bukan hikmah ramadan yang lebih bernuansa teologis tetapi refleksi ramadan. Tentu saja, refleksi memiliki konotasi dan konteks yang lebih fleksibel dan tidak terikat terhadap teks-teks normatif.

Mas Wahyu membuka buku ini dengan kutipan yang sangat penting. Ia menyatakan bahwa menulis itu membutuhkan tiga hal: mendisiplinkan jiwa, melenturkan pikiran, dan mengelola raga. Tanpa tiga hal itu, menulis akan berhadapan dengan tantangan yang tidak ringan. Mas Wahyu di bagian pengantar buku mengutip pendapat penulis terkenal Stephen King, “Jangan berhenti menulis saat pikiran ngadat. Itu bahaya sekali. Tulisan itu akan menjadi batu” (i). Kutipan ini menjadi penanda penting bagaimana proses kreatif penulisan buku ini.

Mas Wahyu bercerita bahwa artikel yang harus dikirim setiap harinya ke Harian Tribun Timur maksimal 400 kata, namun Mas Wahyu acapkali menulis hingga 700 kata, bahkan lebih. Nah, buku ini sesungguhnya merupakan pengembangan dari naskah yang awalnya 400 kata itu. Selain itu buku ini juga mendapatkan 3 artikel tambahan, yaitu “Merindukan Sosok Ulama Sufi”, “Ramadan di Jerman”, dan “Epilog: Ramadan di Masa Pandemi Covid-19”. 


 

Saya membaca satu demi satu artikel yang ada di buku ini. Ada banyak ilmu, inspirasi, dan pengetahuan yang saya peroleh. Mas Wahyu, dengan kelenturan bahasa dan kekuatan argumentasi, mengajak para pembacanya memasuki ruang imajinasi dan pengetahuan yang luas.

Mas Wahyu orang yang menekankan pada pentingnya proses. Tidak ada jalan instan, termasuk dalam beribadah. Ia menyebut ramadan sebagai madrasah ruhaniah untuk mencetak manusia-manusia muttaqin. Intinya, tidak ada jalan pintas dalam beribadah. No pain no gain. Tanpa derita, tidak akan ada hasil (46-48). Sungguh sebuah pendapat yang sangat tepat di tengah arus besar pragmatisme dan jalan pintas yang semakin menggejala.

Puasa bukan sekadar memenuhi syarat rukun agar sah. Ada aspek lain yang lebih substansial, yakni menggali nilai-nilai yang penting dari puasa itu. Dalam telaah Mas Wahyu, aspek terpenting dalam puasa adalah nilai jujur dan ikhlas. Jika ini mampu dijalani secara baik maka puasa akan memberikan banyak sekali manfaat kepada pelakunya (51).

Ada kutipan menarik dari pendapat Mas Wahyu yang bisa menjadi bahan renungan kita bersama. Pada halaman 109 Mas Wahyu menulis bahwa hidup kontemplatif selalu mensyaratkan puasa dalam durasi dan gradasi yang beragam. Hanya dengan melumpuhkan fungsi-fungsi indera jasmaniahnya baru seseorang dapat mendayagunakan fakultas spiritualnya demi merasakan kehadiran Ilahi.

Sejauh pembacaan yang saya lakukan, buku ini mewakili bidang ilmu yang selama ini ditekuni oleh Mas Wahyu. S-1 diselesaikan di IAIN Alauddin Makassar tahun 1995 dalam bidang Filsafat dan Teologi Islam, S-2 yang pertama diselesaikan pada tahun 2001 di International Development Studies at Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia, Canada, S-2 yang kedua diselesaikan di Temple University tahun 2005 dalam bidang Religious Studies, dan S-3 di Australian Nasional University pada tahun 2015 dalam bidang antropologi. Pengalaman pendidikannya yang panjang dan serius terefleksi dalam buku ini.

Terima kasih Mas Wahyu untuk bukunya yang inspiratif. Salam.

 

Tulungagung, 23-5-2022

 

 

 

18 komentar:

  1. Terimakasih Prof. Artikel yang menarik dan inspiratif.

    BalasHapus
  2. alhamdulilah..pak prof tidak henti hentinya memnyemangati kita untuk menulis..

    BalasHapus
  3. Wah jadi pengen baca bukunya Mas Wahyu juga. Terima kasih sudah berbagi, Prof.

    BalasHapus
  4. Melumpuhkan fungsi indera jasmani demi merasakan kehadiran ilahi. Inspiratif prof

    BalasHapus
  5. Terimakasih prof, artikelnya bagus.

    BalasHapus
  6. Penulis yang luar biasa. Semoga bisa mengikut jejaknya

    BalasHapus
  7. Izin terus menimba ilmu dari blog ini Prof., mohon maaf lahir dan batin Prof.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.