Rebut Cukup

Mei 13, 2022


 Ngainun Naim

 

Sebuah kalimat akan memiliki konteks makna dahsyat jika menemukan pembaca yang tepat. Bagi seseorang mungkin kalimat itu biasa, tetapi bagi yang lain bisa bermakna luar biasa. Perspektif semacam ini barangkali bisa dianalisis dengan teori hermeneutika.

Bagi kawan-kawan yang menyukai hermeneutika pasti memahami dengan baik tiga hal yang menentukan makna, yaitu pembaca (reader), penulis (author), dan teks. Dialektika interaktif ketiga unsur menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbangunnya makna.

Konteks yang saya kira penting untuk menjadi bahan renungan adalah kosakata yang saya dengar dari Dr. Muniri dan Dr. Abd. Aziz. Kosakata itu rebut cukup. Terlihat sederhana. Ya, makna tekstualnya adalah berebut untuk cukup. Namun jika direnungkan, dihayati, dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan kampus, ada begitu banyak hal yang bisa memberikan pelajaran berharga bagi kemajuan lembaga.

Pertama, “rebut cukup” bisa bermakna spiritualitas. Sebagaimana semboyan yang cukup akrab bagi kita semua, yakni Kampus Dakwah dan Peradaban, dimensi spiritualitas menjadi dimensi intrinsik-ekstrinsik yang seharusnya mewarnai dinamika kehidupan kampus. Dalam kaitannya dengan tugas pokok dan fungsi kita masing-masing, bukan berebut menghindari pekerjaan tetapi berebut mengerjakan pekerjaan secara baik.

Kedua, “rebut cukup” menandaskan harmonisasi. Maknanya, ada aspek penting yang diprioritaskan yakni mengerjakan pekerjaan. Tidak ada kata selesai karena ketika satu pekerjaan usai akan datang pekerjaan berikutnya. Begitu seterusnya sampai kita nanti pensiun. Menjalankan pekerjaan, dalam konteks harmonisasi, adalah upaya mensyukuri dan merengkuh keberkahan atas anugerah kerja yang kita terima.

Ketiga, “rebut cukup” merupakan modal kemajuan lembaga.  Sangat sedikit yang membayangkan jika lembaga tempat kita bekerja bisa mencapai kemajuan sebagaimana sekarang ini. Semua ini harus disyukuri dengan cara kita masing-masing. “Rebut cukup” adalah aktualisasi rasa syukur atas kemajuan lembaga tempat kita mencari rezeki.

Aspek yang menjadi salah satu penyebab pentingnya frasa “rebut cukup” adalah perubahan kelembagaan. Perubahan memang kebutuhan dan keharusan. Namun demikian, sebagaimana ditegaskan Prof. Dr. phil. Sahiron, M.A.—Wakil Rektor 2 UIN Sunan Kalijaya Yogyakarta—saat menyampaikan materi, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian menyikapi perubahan. Jika tidak hati-hati akan muncul berbagai konsekuensi yang tidak sederhana pada perjalanan lembaga di waktu-waktu berikutnya.

“Rebut cukup” sesungguhnya merupan prinsip kolegial. Ia tidak bersifat personal tetapi kebersamaan. Implikasinya, kita semua seharusnya menekankan kolaborasi dan meninggalkan ego sektoral. Lewat cara demikian diharapkan lembaga kita semakin maju dan kehidupan kita semua semakin barakah dari waktu ke waktu. Amin.

 

Griya Persada Kaliurang Yogyakarta, 13-5-2022

6 komentar:

  1. Memahami artikel prof. Naim, sudah semestinya tidak ada kata lelah dan putus asa dalam rebut cukup, karena hari hari selalu diisi dengan berebut untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Inilah yang dalam istilah Islam disebut sebagai fastabiqul khairat. Terimakasih atas artikelnya prof.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah berkenan membaca catatan sederhana ini dan meninggalkan komentar.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.