Membeli Buku di Zaman Baru

Oktober 11, 2022


 

Ngainun Naim

 

Sejak mulai menempuh kuliah S-1 pada tahun 1994, saya berjuang keras menyisihkan uang untuk membeli buku. Saya tidak tahu secara pasti tentang mengapa ingin memiliki buku pada saat itu. Namun seingat saya salah satu alasannya adalah biar kumpulan buku yang banyak itu bisa menjadi latar belakang saat foto. Rasanya kok keren sekali he he he.

Bagi saya yang berasal dari keluarga sederhana, membeli buku itu tidak masuk dalam prioritas kebutuhan pokok. Orang tua memiliki keuangan yang sangat terbatas. Jangankah untuk membeli buku, untuk makan sehari-hari pun saya juga harus berjuang. Berbagai profesi pernah saya lakoni, seperti jualan koran, susu segar, dan menjadi guru ngaji. Semua saya lakukan agar mimpi menjadi sarjana bisa terwujud.

Buku itu barang mewah bagi saya kala itu. Membelinya bukan perkara mudah. Dibutuhkan usaha yang tidak ringan untuk sekadar memiliki sebuah buku. Saat itu saya bersiasat dengan mengurangi jatah makan dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari. Hasil siasat ini biasanya cukup untuk membeli satu buku yang tidak terlalu tebal.

Saya biasanya membeli buku di beberapa tempat yang harganya murah. Kadang juga di toko buku loakan. Bagi saya itu tidak masalah. Intinya saya bisa membeli dan memiliki buku. Baru atau lama itu bukan persoalan karena yang penting adalah isinya.

Saat itu—mungkin juga sampai sekarang—cukup jarang mahasiswa yang mau membeli buku. Padahal sangat mungkin mereka memiliki uang cukup. Namun mungkin karena tidak memiliki rasa suka terhadap buku jadi ya tidak membelinya. Bagaimana mungkin mau membeli buku jika tidak suka? Jika pun membeli biasanya karena faktor tertentu, misalnya kewajiban. Jelasnya bukan karena rasa suka.

Kini, nyaris tiga puluh tahun kemudian, saya memiliki koleksi buku yang lumayan. Saya sendiri tidak menghitung jumlah keseluruhan. Paling tidak buku koleksi saya sudah memenuhi keinginan awal saya, yaitu memenuhi kriteria sebagai latar belakang kalau foto.

Sekarang ini zaman online. Beli buku pun tersedia secara online. Tinggal kita memanfaatkan media dan menyediakan dana.

Jika ada yang bilang sekarang ini membeli buku sulit, rasanya perlu diajak memahami dunia digital. Sepanjang terbiasa dengan dunia digital dan memiliki dana, membeli buku jelas bukan lagi persoalan yang rumit.

Saya sendiri sampai sekarang masih menjadi penikmat buku cetak. Meskipun zamannya digital yang banyak menawarkan buku digital, saya belum bisa menikmati sepenuhnya buku digital. Saya sendiri memiliki koleksi file buku-buku digital. Jumlahnya cukup banyak. Jika ingin membacanya, saya justru sering mencetak buku atau artikel digital. Saya merasa dengan mencetak memudahkan dan membuat nikmat saat membacanya.

Buku cetak, menurut saya, memiliki banyak hal yang tidak bisa digantikan oleh buku digital. Pertama, buku cetak itu fisiknya menawarkan sensasi tersendiri. Memegang, membuka, dan mencium aromanya terasa khas. Tentu cara semacam ini tidak bisa dilakukan pada buku digital.

Kedua, saat membaca buku cetak saya biasanya menandai atau memberikan catatan pada bagian yang penting. Hal ini memudahkan saya untuk segera menuju bagian yang sudah ditandai saat diperlukan. Misalnya saat menulis buku, makalah, atau artikel jurnal. Nah, buku digital tentu bisa juga diberi catatan, tetapi rasanya kurang memiliki relasi emosional sebagaimana buku cetak.

Ketiga, buku cetak tidak mudah hilang karena secara fisik kita bisa menempatkannya di tempat tertentu. Deretan lemari buku yang ada di rumah saya rasanya menambah bahagia. Kondisinya berbeda dengan buku digital. Seandainya kita memiliki ribuah eksemplar, ia hanya tersimpan di drive atau komputer. Jika karena faktor tertentu, file bisa hilang atau rusak. Saya pernah mengalaminya. Koleksi buku pun hilang. Sungguh disayangkan.

Keempat, koleksi buku cetak memberikan kesan intelektual kepada pemiliknya. Rumah yang ada deretan buku di bagian tertentu rasanya ada wibawanya. Tentu ini subjektivitas saya. Bisa jadi pembaca sekalian tidak menyetujuinya.

Karena zaman sudah digital maka membeli buku juga harus menyesuaikan. Ya, sekarang ini saya sering membeli buku secara online. Tentu cara semacam ini berbeda dengan membeli buku secara langsung ke toko buku. Dulu saya harus naik motor atau bus menuju Kota Malang, Surabaya, atau Yogyakarta jika membeli buku. Kota tempat saya tinggal terlalu mewah dengan hadirnya toko buku.

Beberapa tahun terakhir hadir beberapa toko buku dengan koleksi yang cukup lumayan di Tulungagung. Ada dua toko buku besar yang acapkali saya kunjungi bersama keluarga. Di sana kami membeli buku sesuai keperluan.

Kini masa keemasan toko buku mulai surut. Satu demi satu toko buku gulung tikar. Ini yang sekarang terjadi di Tulungagung. Sungguh menyedihkan. Inilah efek digitalisasi di berbagai bidang. Perubahan memang tidak mungkin untuk dihindari. Ia harus disikapi secara aktif dan kreatif.

Bagi saya, buku cetak tetap tidak tergantikan. Belanja buku rutin saya lakukan. Namun saya melakukannya secara selektif.

Saya biasanya belanja ke pelapak online yang sudah saya percayai. Ada beberapa pelapak langganan. Kepada mereka saya membeli buku.

Jujur saja saya pernah juga kecewa. Buku yang dikirim kurang sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan. Saya biasanya melakukan konfirmasi. Ada yang berjanji memperbaiki dan ada yang tidak respon. Tentu langkah selanjutnya terserah saya.

Saya jarang beli lewat marketplace. Entahlah rasanya belum sreg. Lebih nyaman belanja ke pelapak langganan.

Belanja buku cetak akan tetap saya lakukan meskipun sekarang ini zaman digital. Buku buat saya memiliki banyak makna. Itu saja.

Surabaya. 7-10-2022

4 komentar:

  1. Generasi tua mesti melakukan adaptasi dg era disrupsi. Jika tidak, bisa seperti manusia kuno

    BalasHapus
  2. Selalu menginspirasi...

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.