Santri, Tradisi Literasi, dan Pengembangan Potensi Diri

Januari 21, 2023


 Ngainun Naim

 

Salah satu bagian penting dalam bangunan sosiologis masyarakat Islam Indonesia adalah kelompok santri. Jumlah santri semakin hari semakin bertambah. Hal ini ditandai dengan terus bertambahnya jumlah pondok pesantren. Kepercayaan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pondok-pondok pesantren juga terus meningkat. Hal ini menjadi modal sosial yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya jumlah kelompok santri dari waktu ke waktu.

Kata santri memiliki dua makna, yakni mereka yang tinggal dan belajar di sebuah pondok pesantren dan masyarakat Muslim yang menjalankan ajaran Islam secara taat (Abdul Munir Mulkhan, 2003). Kedua pengertian ini biasanya dikenal sebagai santri dalam pengertian sempit dan santri dalam pengertian luas. Tidak perlu mempertentangkannya karena kedua pengertian dipertemukan oleh ketaatan untuk menjalankan ajaran Islam.

Ada aspek yang menurut saya lebih penting dibandingkan memperdebatkan pengertian santri, yaitu pembacaan fenomena santri ini dalam kaitannya dengan pondok pesantren. Banyak riset yang menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan institusi unik khas Indonesia. Riset lainnya tidak sepakat dengan penilaian semacam ini dan menyebut bahwa pesantren merupakan modifikasi dari banyak unsur dan pengaruh menjadi model baru.

Terlepas dari berbagai perdebatan yang ada terkait pondok pesantren, harus diakui bahwa pondok pesantren itu telah ada, hadir, dan menjadi bagian tidak terpisah dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Perjalanan panjang Islam Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pondok pesantren.

Ratusan tahun terus eksis dan memberikan kontribusi bagi kehidupan umat sesungguhnya menunjukkan bahwa pondok pesantren itu dinamis. Ia tidak statis sebagaimana penilaian pejoratif yang diberikan oleh beberapa kalangan. Pondok pesantren dalam realitasnya selalu mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. KH. Husein Muhammad bahkan menyebut bahwa pesantren merupakan lembaga paling survive dan terus diminati masyarakat sampai sekarang (Husein Muhammad, 2019). Tidak ada lembaga dengan kemampuan bertahan dan berkontribusi dalam jangka waktu sedemikian panjang melebihi pondok pesantren.

Realitas dinamis yang semacam ini sesungguhnya membantah penilaian yang dilakukan oleh Deliar Noer. Guru Besar politik ini menulis disertasi yang kemudian diolah menjadi buku dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942 (Jakarta: LP3ES, 1982). Buku karya Deliar Noer ini memiliki pengaruh besar dalam kajian Islam Indonesia. Secara sederhana Deliar Noer membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu modernis dan tradisional.

Kelompok modernis ditandai, antara lain, dengan mempertanyakan hal-hal yang tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Kelompok ini menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual. Secara praktis mereka melakukan berbagai kegiatan yang mendukung kemajuan kehidupan umat. Kelompok tradisionalis digambarkan sebagai kelompok yang kurang sejalan dengan perkembangan zaman. Mereka cenderung taklid dan menolak ijtihad. Perspektif terhadap kelompok tradisionalis secara umum kurang positif.

Kelompok yang dikategorikan tradisional sesungguhnya dirugikan oleh penilaian yang dilakukan oleh Deliar Noer. Wajar jika hasil penelitian Deliar Noer sudah dikritik oleh banyak pihak. Kritik dalam konteks ilmiah itu penting sebagai bagian dari tradisi keilmuan. Ilmu itu justru bisa tumbuh dan berkembang karena tradisi kritik dan perbaikan.

Realitas yang ada menunjukkan bahwa tipologi modernis dan tradisional itu sudah kurang sesuai untuk digunakan membaca realitas kontemporer. Sekarang ini tipologi yang ada sudah sangat banyak, variatif, dan tidak sejalan dengan tipologi yang dirumuskan oleh Deliar Noer. Selain itu parameter untuk memasukkan ke dalam sebuah kelompok juga telah banyak berubah. Namun demikian kita harus tetap memberikan apresiasi kepada Deliar Noer atas rintisan kajiannya yang sangat penting.

Aspek yang sesungguhnya lebih penting adalah belajar dari riset Deliar Noer. Ya, riset tersebut akan lebih produktif jika diposisikan sebagai “cermin” untuk melihat potret diri dan sebagai titik pijak untuk melakukan perbaikan. Lewat cara demikian diharapkan akan dihasilkan kondisi yang lebih baik dan terus membaik dari waktu ke waktu.

Artinya, hasil riset Deliar Noer kita posisikan sebagai sesuatu yang penting. Sebagaimana dinyatakan oleh Les Gibbon bahwa kita akan menjadi penting jika segala yang ada di dekat kita juga kita posisikan sebagai hal penting. Hal ini menandakan kerendahan hati dan kemauan untuk belajar. Apa yang dihasilkan oleh Deliar Noer kita jadikan sebagai pembelajaran penting agar kita juga bisa menjadi orang yang penting. Bagaimanapun Deliar Noer telah melakukan sesuatu yang luar biasa.

Jika sudut pandang ini yang kita gunakan maka penting untuk menjawab tantangan dengan tindakan. Kritik—sepahit apa pun—adalah modal untuk perbaikan. Hanya mereka yang siap menerima kritik secara terbuka saja yang bisa maju dalam kehidupannya. Kritik dijadikan titik pijak untuk perbaikan diri.

Kini santri telah bermetamorfosis sebagai kelompok yang penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Di buku Etos Studi Kaum Santri (2009) karya Asrori S. Karni disebutkan bahwa kaum santri sekarang ini tidak hanya belajar ilmu agama tradisional sebagaimana image masyarakat terhadap kalangan santri tradisional yang jauh dari dinamika perkembangan zaman. Santri sekarang telah bermetamorfosis sebagai kelompok terpelajar yang menguasai berbagai keterampilan yang menunjang posisinya sebagai kalangan santri. Santri sekarang tidak hanya berkutat dengan kitab kuning tetapi telah menjelajah ke berbagai belahan dunia dan menekuni bidang ilmu yang belum pernah terbayangkan sebelumnya (Maftukhin, 2016).

Salah satu keterampilan yang sangat signifikan dalam era sekarang ini adalah literasi. Hal ini disebabkan karena standar pendidikan di era modern adalah literasi. Literasi dalam konteks ini kemampuan untuk membaca, menulis, dan mengkonstruksi ide (Sofie Dewayani: 2017, 11). Kemampuan literasi tidak akan tumbuh dengan begitu saja. Ia harus diupayakan, dikondisikan, dan didukung sehingga menjadi budaya.

Pada titik inilah saya mengapresiasi atas terbitnya buku ini. Saya baca bagian demi bagian. Saya melihat ada sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang bersifat potensial berkaitan dengan kalangan santri.

Literasi yang terus diupayakan secara konsisten semakna dengan pengembangan potensi diri. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk menulis. Bisa jadi sesungguhnya mereka ingin tetapi tidak tahu caranya. Bisa jadi tahu caranya tetapi selalu berhadapan dengan banyak hambatan. Banyak kesempatan tetapi tidak sabar berproses. Banyak lagi hal-hal yang membuat aktivitas literasi tidak bisa tumbuh dan berkembang.

Buku ini menyajikan sesuatu yang luar biasa. Tidak hanya tulisan tetapi juga syi’ir. Hal ini bermakna tidak hanya merawat tradisi tetapi juga revitalisasinya. Jika kondisi semacam ini terus ditumbuhkembangkan, kalangan santri akan semakin memberdayakan potensi dirinya. Pada perkembangan lebih lanjut, kemajuan kehidupan akan menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan.

Sekali lagi selamat atas terbitnya buku ini. Mari terus merawat spirit literasi dengan menulis. Salam.

 

Trenggalek, 21 Januari 2023

 

Bahan Bacaan

Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas, Jakarta: Erlangga, 2003.

Asrori S. Karni. Etos Studi Kaum Santri, Bandung: Mizan, 2009.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1940-1942, Jakarta: LP3ES, 1982.

Husein Muhammad, Islam Tradisionalis yang Terus Bergerak: Dinamika NU, Pesantren, Tradisi, dan Realitas Zamannya, Yogyakarta: IRCISOD, 2019.

Maftukhin, "Islam Jawa in Diaspora and Questions on Locality," Journal of Indonesian Islam, Volume 10, Nomor 2 (2016): 375-394.

Sofie Dewayani, Menghidupkan Literasi di Ruang Kelas, Yogyakarta: Kanisius, 2017.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.