Titik Mula, Bukan Titik Akhir

Februari 06, 2023


 

Ngainun Naim

 

Studi jenjang doktor itu berat, bahkan sangat berat. Banyak yang bisa masuk tetapi tidak bisa keluar. Menulis disertasi yang menjadi hambatan utama.

Jika setiap kuliah diikuti dengan baik, tugas-tugas dikerjakan secara maksimal, saya yakin nilai akan diperoleh. Kuliah teori, sepanjang dijalani sepenuh hati, relatif tidak menjadi persoalan. Namun disertasi lain cerita.

Semua yang menempuh jenjang S3 merasakan betul beratnya perjuangan untuk menjadi seorang doktor. Ada yang harus putar haluan tema penelitian karena satu dan lain hal. Ada yang menghadapi kerumitan saat menggali data. Ada yang komputer rusak padahal data belum disimpan di tempat lain.

Hambatan bisa jadi karena faktor non studi. Misalnya kesehatan. Menulis disertasi membutuhkan energi yang tidak kecil. Jika tidak bisa mengelola diri secara baik, kesehatan bisa terganggu.

Keuangan juga menjadi persoalan yang tidak jarang dihadapi oleh calon doktor. Biaya studi dan biaya riset untuk disertasi itu tidak kecil. Jika keuangan tidak siap, bisa menjadi hambatan tersendiri.

Ujian Itu Lebih Ringan

Ujian kok ringan? Ujian itu berat. Tetapi jika dipikir secara jernih, proses penelitian menuju ujian terbuka itu yang sesungguhnya sangat berat. Jadi ujian terbuka itu sesungguhnya akumulasi dari proses panjang penelitian yang melelahkan.

Tahap awal adalah ujian proposal. Ini sungguh tidak mudah. Catatan, perbaikan, atau bahkan penolakan harus dihadapi. Mahasiswa harus siap mental menghadapi semua kemungkinan. Rasanya kecil kemungkinan proposal diterima tanpa catatan.

Revisi proposal dan persetujuan penguji menjadi pintu awal untuk melakukan penelitian. Di sinilah kerja panjang yang melelahkan harus dilakukan. Penelitian disertasi bukan pekerjaan sederhana. Energi, pikiran, waktu, dan dana harus disediakan agar  penelitian bisa menghasilkan temuan.

Tidak semua bisa sukses di tahap ini. Ada yang berhenti lama dan kemudian kembali melakukan penelitian secara tertatih. Ada juga yang menyerah sehingga menjadi doktor sebatas cita-cita.

Bimbingan semasa penelitian bisa jadi perjuangan heroik. Perbaikan demi perbaikan harus dilakukan. Penggalian data harus kembali dilakukan. Tujuan utamanya adalah agar hasil penelitian memenuhi standar akademik yang telah ditentukan.

Persetujuan promotor menjadi pembuka untuk ujian demi ujian. Di sinilah daya tahan menjadi kunci. Jika tidak kuat bisa tidak selesai studinya.

Ujian sendiri sesungguhnya hanya beberapa jam. Pertanyaan demi pertanyaan penguji cukup menyita perhatian. Namun ujian sendiri tidak lebih lama dari proses penelitian itu sendiri.

 

Transformasi Kompetensi

Gelar doktor sah disandang ketika semua ujian terlampaui. Rasanya lega sekali. Semua yang menyandang gelar doktor pasti merasakan hal ini.

Namun demikian ada beberapa hal yang penting untuk menjadi catatan. Pertama, menjadi doktor memang akumulasi dari hasil perjuangan yang panjang. Wajar jika rasa bahagia menyeruak. Namun demikian tidak harus berlebihan.

Aspek yang lebih penting adalah membangun kesadaran bahwa doktor itu bukan sekadar gelar. Ada tanggung jawab berat yang dipikul. Tanggung jawab itu mengharuskan untuk terus belajar agar sejalan dengan gelar yang disandang.

Kedua, menjadi doktor itu justru titik awal, bukan titik akhir. Titik awal untuk berkarya dan terus berkarya. Belajar dan terus belajar. Jangan sampai disertasi menjadi karya terakhir. Setelah itu tidak melakukan apa-apa lagi.

Ketiga, keahlian seorang doktor itu, salah satunya, pada penguasaan terhadap materi disertasinya. Jadi sebaiknya terus didalami dan dikembangkan. Tentu naif jika yang ditulis saja tidak dikuasai. Jika ini yang terjadi, wajar jika gelar doktor tidak meningkatkan kompetensi personal.

 

UIN Tulungagung. 1.2.2023`

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.