Komitmen dan Konsisten

Mei 04, 2023


 Ngainun Naim

 

Bapak Kalib Surjadi, Bapak kandung saya, sudah meninggalkan kami semua pada 11 Mei 2020. Banyak kenangan dan nilai positif tentang beliau masih terus hidup dalam diri saya dan seluruh anggota keluarga.

Saya selalu berusaha menulis hal-ikhwal Bapak dari informasi yang saya peroleh. Tujuannya adalah untuk mengabadikan kebajikan Bapak. Juga sebagai bahan pembelajaran hidup bagi kami sebagai anak cucu keturunan beliau.

Lebaran kali ini membuat saya mendapatkan informasi lagi tentang Bapak. Informasi ini berkaitan dengan karakter Bapak. Saya menyimpulkan karakter ini sebagai komitmen dan konsisten.

Kata komitmen dan konsisten ini merupakan kesimpulan saya pribadi. Kesimpulan ini saya peroleh setelah saya sowan ke Kiai Ali Fatkhu. Beliau merupakan tokoh masyarakat Desa Sambidoplang Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung.

Suatu pagi di Bulan Syawal saya silaturrahim ke Ndalem beliau. Mumpung lebaran. Saya bersama keluarga memiliki jadwal rutin silaturrahim ke famili, tetangga dan beberapa tokoh masyarakat Desa Sambidoplang.

Saya lahir di desa ini. Saya sekolah dasar dan madrasah diniyah juga di desa ini. Saya berharap dengan silaturrahim tetap mendapatkan jalinan keakraban dan juga keberkahan dalam hidup, meskipun secara formal saya sudah tidak tinggal di desa ini lagi.

Desa dan segala kenangannya masih membekas kuat. Saya tidak mungkin melupakannya, meskipun realitas hidup terus berubah tanpa bisa dicegah. Tidak ada yang tidak berubah, termasuk perubahan itu sendiri.

Sejauh yang saya pahami, silaturrahim memberikan banyak sekali manfaat. Ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang pentingnya silaturrahim. Ada juga banyak kisah dan teladan hidup tentang hal ini.

Semasa hidup, Bapak menekankan betul tentang hal ini. Selain itu, Ibuk kami juga ahli silaturrahim. Silsilah keluarga, baik dekat maupun jauh, sangat hafal. Betul-betul bertolak belakang dengan anak-anaknya yang bingung ketika dijelaskan ini saudara dari sana, keturunan nomor sekian, dan seterusnya.

Saat silaturrahim ke Kiai Ali Fatkhu, sengaja saya datang seorang diri. Hal ini saya lakukan agar bisa menuntaskan tujuan. Jadi selain karena lebaran, saya tetiba teringat dawuh beliau beberapa bulan sebelumnya saat bertemu di pemakaman desa.

Saat itu saya sedang berdoa di makam Bapak. Persis di samping makam Bapak adalah makam keluarga Mbah Kiai Abbas. Kiai Ali Fatkhu dan Bu Nyai saat itu juga sedang ziarah. Usai ziarah kami berbincang sejenak. Jadi silaturrahim saya kali ini juga dalam rangka memenuhi hasil perbincangan saya dengan beliau ketika itu.

Begitulah, pagi itu saya disambut oleh Kiai Ali Fatkhu dan Bu Nyai. Kami berbincang tentang berbagai hal, termasuk tentang Almarhum Bapak. Tujuan utama saya tertunai plus mendapatkan bonus informasi menarik terkait Bapak.

Almarhum Bapak dulu nyantri ke Bapaknya Kiai Ali Fatkhu, yaitu Kiai Abbas. Saya sendiri tidak banyak mengetahui ikhwal nyantrinya Bapak. Tapi jelas beliau ngaji Al-Qur'an kepada Kiai Abbas karena itu spesialisasi beliau.

Bapak ngaji ke beliau karena, salah satu sebabnya, dekat rumah. Jarak rumah Simbah dengan Masjid Kiai Abbas hanya kisaran 300 meter. Sangat dekat.

Namun saya yakin alasannya bukan hanya jarak. Ada alasan lain yang saya tidak tahu. Hanya Bapak saja yang mengetahuinya.

Kiai Ali Fatkhu berkisah jika Bapak adalah santri kepercayaan Kiai Abbas. Banyak tugas penting dipercayakan ke Bapak. Dan Bapak mampu menjalankan tugas itu dengan baik.

Salah satu tugas berat yang harus diemban Bapak adalah mencari Kiai Ali Fatkhu kecil yang pergi dari rumah bersama dua temannya. Usia Kiai Ali Fatkhu saat itu kisaran 10 tahun. Beberapa hari mereka bertiga naik sepeda entah ke mana.

Tidak jelas bagaimana detailnya, jam 12 malam Bapak menemukan tiga anak kecil di jalanan Kecamatan Saradan Madiun. Mereka sama-sama terkejut.

Tidak mudah mengajak ketiga anak untuk pulang. Namun dengan beragam cara ketiga anak berhasil diajak pulang. Sebuah perjuangan yang tidak ringan namun akan selalu dikenang.

Kisah ini diingat betul oleh Kiai Ali Fatkhu. Itu ditegaskan beberapa kali oleh beliau dalam perbincangan.

Ketika berkeluarga Bapak membangun rumah yang agak jauh dari Masjid Kiai Abbas. Sebenarnya masih satu desa. Rumahnya lebih dekat ke masjid lain. Namun Bapak tetap berkhidmah ke Masjid Kiai Abbas.

Bapak komitmen dan konsisten dalam soal ini. Bahkan hingga menjelang wafat, Bapak tetap shalat jumat di Masjid Kiai Abbas.

Bentuk komitmen beliau adalah mempercayakan pendidikan saya ke madrasah diniyah yang diasuh Kiai Abbas. Saya juga ngaji Al-Quran ke Kiai Abbas yang terkenal sangat sulit untuk memindahkan ngaji santrinya dari satu ayat ke ayat berikutnya.

Saya ingat ngaji Al-Fatihah itu selama sebulan. Ya, sebulan utuh. Beberapa kawan berhenti ngaji karena merasa tidak mampu.

Saya tidak berani berhenti. Bisa berakibat fatal dimarahi Bapak. Jadi ya terus bertahan.

Saya tidak ingat persis butuh berapa tahun untuk mengaji Al-Qur’an hingga khatam. Jelasnya bertahun-tahun. Itu sejak saya kelas 3 SD sampai tamat MTsN.

Belakangan saya merasakan hikmah ngaji kepada Kiai Abbas. Saat saya mondok, ngaji Al-Qur’an kepada KH. Imam Haromain Asy’ari tidak terlalu sulit. Saya tinggal melanjutkan modal awal yang sudah saya peroleh dari Kiai Abbas.

Silaturrahim lebaran kepada Kiai Ali Fatkhu memberikan banyak manfaat. Semoga barakah selalu menyertai kami. Teruntuk Almarhum Bapak, Al-Fatihah.

 

Surabaya, 3.5.2023

8 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.