Membangun Mental Memberi Sejak Dini

Agustus 02, 2024



Ngainun Naim

 

Jika disebut kata manasik, pikiran biasanya tertuju pada haji. Hal ini bisa dimaklumi karena kata manasik umumnya berkaitan dengan haji.

Padahal, manasik itu tidak hanya berkaitan dengan haji. Manasik yang secara bahasa berarti latihan juga berlaku untuk ibadah lain. Manasik zakat, misalnya.

Memang belum lazim tetapi ini penting sekali artinya. Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Abd. Aziz saat kegiatan Launching Manasik Zakat dan Beasiswa Orang Tua Asuh (BOTA) menyatakan bahwa manasik zakat ini merupakan yang pertama kali di Indonesia. Karena itu beliau menyebutnya sebagai sejarah.

Potensi zakat Indonesia sangat besar. Namun demikian potensi ini belum teraktualisasi secara maksimal. Salah satu sebabnya karena belum tumbuh dan berkembangnya mental untuk berzakat. Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung menegaskan tentang perlunya membangun mental memberi, bukan diberi. Ini penting dilakukan sejak usia dini sehingga bisa menjadi karakter.

Manasik Zakat yang dilaksanakan di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung merupakan pionir. Dalam jangka panjang diharapkan manasik zakat menjadi program yang bisa dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Acara yang dilaksanakan di Lantai 6 Gedung KH. Arief Mustaqim pada Rabo, 31 Juli 2024 sangat meriah. Tenaga Ahli Menteri Agama Mariana Hasbie menyebut bahwa acara di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung sangat impresif. Pendidikan merupakan media vertikal yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini adalah membangun pengetahuan dan kesadaran pentingnya zakat. Beliau mengusulkan perlunya piloting manasik yang ditindaklanjuti dengan modul dan dipraktikkan di pendidikan awal. Ini akan berkontribusi bagi optimalisasi zakat. Lebih jauh diharapkan program ini akan sukses dan benchmark bagi daerah lain di Indonesia.

Muhammad Mahdum, Wakil Ketua Baznas menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman, kalau ketemu 100 orang, 99 minta bantuan. Fenomena ini menunjukkan ada persoalan di masyarakat kita terkait mental berbagi. Oleh karena itu kesadaran zakat perlu dibangun sejak dari masa anak-anak, bukan dari manula. Kita perlu belajar sejarah, misalnya, di zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis yang susah untuk mencari penerima zakat.

Potensi zakat kita sesungguhnya sangat besar, yaitu 327 T. Namun demikian potensi ini belum diberdayakan secara maksimal. Jika potensi ini mampu terwujud, akan banyak hal yang bisa dilakukan demi kemajuan umat Islam Indonesia.

Prof. Dr. Waryono, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam Kemenag RI menyampaikan bahwa ada dua pilar filantropi yang sudah memiliki Undang-Undang namun perlu digarap secara serius, yaitu zakat dan wakaf. Wakaf kita memiliki potensi 180 T. Karena itu perlu dilakukan berbagai upaya secara serius agar wakaf juga bisa menjadi gerakan nyata. Secara tegas Prof. Dr. Waryono mengajak kepada semua pihak untuk menjadikan zakat dan wakaf bukan sekadar wacana tapi gerakan nyata.

Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si., Ketua BAZNAS Provinsi Jawa Timur menjelaskan secara filosofis bahwa kemampuan otak manusia itu terbatas. Beliau menjelaskan bahwa otak itu hardware, sementara yang berposisi sebagai software adalah hati. Zakat, infaq, dan wakaf itu merupakan upaya kita untuk memberikan porsi pada hati. Upaya menanamkan pentingnya zakat dalam manasik zakat yang dimotori UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung ini merupakan upaya menguatkan dimensi sofware.

 

Tulungagung, 1 Agustus 2024

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.