Membangun Mental Memberi Sejak Dini
Ngainun Naim
Jika disebut kata manasik, pikiran biasanya
tertuju pada haji. Hal ini bisa dimaklumi karena kata manasik umumnya berkaitan
dengan haji.
Padahal, manasik itu tidak hanya berkaitan dengan haji.
Manasik yang secara bahasa berarti latihan juga berlaku untuk ibadah lain.
Manasik zakat, misalnya.
Memang belum lazim tetapi ini penting sekali artinya. Rektor
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Abd. Aziz saat kegiatan Launching
Manasik Zakat dan Beasiswa Orang Tua Asuh (BOTA) menyatakan bahwa manasik
zakat ini merupakan yang pertama kali di
Indonesia. Karena itu beliau menyebutnya sebagai sejarah.
Potensi zakat Indonesia sangat besar. Namun demikian
potensi ini belum teraktualisasi secara maksimal. Salah satu sebabnya karena
belum tumbuh dan berkembangnya mental untuk berzakat. Rektor UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung menegaskan tentang perlunya membangun mental memberi, bukan
diberi. Ini penting dilakukan sejak usia dini sehingga bisa menjadi karakter.
Manasik Zakat yang dilaksanakan di UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung merupakan pionir. Dalam jangka panjang diharapkan
manasik zakat menjadi program yang bisa dilaksanakan di seluruh
Indonesia.
Acara yang dilaksanakan di Lantai 6 Gedung KH. Arief
Mustaqim pada Rabo, 31 Juli 2024 sangat meriah. Tenaga Ahli Menteri Agama Mariana
Hasbie menyebut bahwa acara di UIN Sayyid
Ali Rahmatullah Tulungagung sangat impresif. Pendidikan merupakan media vertikal yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini adalah membangun pengetahuan dan
kesadaran pentingnya zakat. Beliau mengusulkan perlunya piloting manasik
yang ditindaklanjuti dengan modul
dan dipraktikkan di pendidikan awal. Ini akan berkontribusi bagi optimalisasi
zakat. Lebih jauh diharapkan program ini
akan sukses dan benchmark bagi daerah lain di
Indonesia.
Muhammad
Mahdum, Wakil
Ketua Baznas menjelaskan bahwa
berdasarkan pengalaman, kalau ketemu 100 orang, 99
minta bantuan. Fenomena ini menunjukkan
ada persoalan di masyarakat kita terkait mental berbagi. Oleh karena itu kesadaran
zakat perlu dibangun sejak dari masa anak-anak,
bukan
dari manula. Kita perlu belajar sejarah, misalnya, di zaman
Khalifah Umar bin Abdul Azis yang susah
untuk mencari penerima zakat.
Potensi zakat kita sesungguhnya sangat besar, yaitu 327
T. Namun demikian potensi ini belum diberdayakan secara maksimal. Jika potensi
ini mampu terwujud, akan banyak hal yang bisa dilakukan demi kemajuan umat
Islam Indonesia.
Prof.
Dr. Waryono, Direktur Pemberdayaan
Zakat dan Wakaf Ditjen Bimas Islam Kemenag RI menyampaikan bahwa ada dua pilar
filantropi yang sudah memiliki Undang-Undang namun perlu digarap secara serius,
yaitu zakat dan wakaf. Wakaf
kita memiliki potensi 180 T. Karena itu perlu dilakukan berbagai upaya secara serius
agar wakaf juga bisa menjadi gerakan nyata. Secara tegas Prof. Dr. Waryono
mengajak kepada semua pihak untuk menjadikan zakat dan wakaf bukan
sekadar wacana tapi gerakan nyata.
Prof.
Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M.Si.,
Ketua BAZNAS Provinsi Jawa Timur menjelaskan secara filosofis bahwa kemampuan
otak manusia itu terbatas. Beliau menjelaskan bahwa otak itu hardware, sementara yang berposisi sebagai software
adalah hati. Zakat, infaq, dan wakaf itu merupakan upaya kita untuk memberikan
porsi pada hati.
Upaya menanamkan pentingnya zakat dalam manasik zakat yang dimotori UIN Sayyid
Ali Rahmatullah Tulungagung ini merupakan upaya menguatkan dimensi sofware.
Tulungagung, 1 Agustus 2024
Tidak ada komentar: