Menertawakan Diri Sendiri, Babu Saja Menulis
Resensi ini ditulis oleh
wartawan senior Malang, Bapak Husnun N. Djuraid. Terima kasih kepada beliau
atas kebaikannya untuk meresensi buku saya.
Judul Buku :
The Power of Writing, Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup
Penulis :
Ngainun Naim
Penerbit :Lentera Kreasindo
Cetakan : Januari 2015
Tebal : 230 halaman
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Mau belajar
menulis, bacalah buku The Power of Writing, Mengasah Keterampilan Menulis untuk
kemajuan Hidup, karya Ngainun Naim, dosen IAIN Tulungagung. Meskipun penulisnya seorang dosen, jangan bayangkan
tulisannya berat sarat dengan teori dan
referensi yang sulit dicerna orang kebanyakan.
Untuk membaca buku ini, kita tidak perlu mengerenyitkan dahi – pertanda
berpikir keras – tapi tetap tenang menikmati tulisan yang ringan mengalir. Tapi,
sesekali buku ini akan membuat pembacanya tersenyum kecut tersindir, mengapa
sampai sekarang tidak juga menulis.
Bagi Ngainun, menulis dan
menerbitkan buku bukan sesuatu yang asing dalam hidupnya, karena menulis sudah
menjadi bagian dari hidupnya. Sejak kuliah dia sudah intens menulis artikel dan
resensi buku yang diterbitkan di banyak media. Itu belum termasuk 23 buku yang
ditulisnya sendiri maupun bersama dengan teman-temannya. Kehadiran dunia maya
menjadikan semangatnya menulis semakin menggebu, setiap hari dia menulis status
di dinding Facebooknya berbagai tulisan motivasi menulis yang berlatar belakang
kehidupan sehari-hari.
Suatu saat dia bercerita
tentang anaknya yang sudah mulai membuat catatan. Pentingkah tulisan itu ?
Mungkin banyak yang menganggap mengapa tulisan remeh temeh itu ditampilkan.
Tapi kalau kita mencermati, sesungguhnya penulis mengajak kita untuk
menertawakan diri sendiri, anak kecil saja mau menulis, bagaimana dengan kita
yang sudah dewasa dan punya segala macam fasilitas untuk menulis. Tinggal
kemauan saja yang harus dimunculkan. Nah, dengan membaca buku ini sebenarnya –
dan seharusnya – bisa memunculkan semangat untuk menulis, karena penulisnya
memberikan conton yang mudah dan lugas. Kalau berbicara hambatan, semua orang
pasti punya, tapi bagaimana mengatasi hambatan tersebut dengan langsung action,
tanpa banyak mengeluh. Inilah bedanya para pemenang dan para pecundang. Para
pecundang menghadapi masalah dengan keluhan dan alasan, tapi para pemenang
menghadapi masalah untuk dicari pemecahannya.
Salah satu ‘’kelemahan’’ buku
ini adalah pada bab VI, Belajar Menulis dari Para Tokoh. Bagi orang yang pandai
beralasan untuk tidak segera menulis, mereka akan mendapatkan pembenaran
alasannya, karena yang ditampilkan sebagai contoh adalah tokoh terkenal yang
sudah banyak menulis buku. Seharusnya
yang dilihat bukan tokohnya, tapi spirit menulisnya yang dijadikan contoh.
Memang kalau berbicara alasan tidak akan ada hentinya.
Tapi nanti dulu, penulis
tidak hanya menampilkan para profesor, motivator, sastrawan atau penulis
profesional sebagai acuan belajar. Pada halaman 15 penulis mengajak pembacanya
untuk menertawakan diri sendiri – yang kerap belasan untuk mulai menulis – karena yang ditampilkan
sebagai contoh adalah (maaf) seorang
babu bernama Sri Lestari yang bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Melalui Babu
Ngeblog, dia menulis berbagai masalah keseharian yang ringan dan
mudah dicerna, bukan masalah politik yang membuat tensi naik. Ternyata TKW itu
mempunya banyak follower yang dengan setia menunggu tulisannya setiap hari.
Ngainun mengaku tidak sedang memrovokasi pembacanya, tapi sebenarnya dia sedang
mengajak untuk menertawakan diri sendiri : babu saja bisa menulis, masak kaum terpelajar
tidak bisa ? Para pemalas dan suka beralasan akan mengatakan : di rumah majikan
Sri kan ada fasilitas free wifi ?
Selamat menulis. (husnun n djuraid, mengajar
di UMM)
Tidak ada komentar: