Jejak Tuanku Imam Bonjol di Bumi Nyiur Melambai
Oleh
Ngainun
Naim
Manado
adalah sebuah wilayah yang belum pernah saya kunjungi. Karena itu saya sangat
bersyukur saat mendapatkan kesempatan menjadi partisipan Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS ke XV) pada 3-6 September 2015. Kesempatan ini harus saya manfaatkan sebaik mungkin. Saya harus mengikuti
kegiatan demi kegiatan secara baik.
Bersama rombongan dari beberapa Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Jawa Timur, kami menuju Manado. Perjalanan
Surabaya sampai Manado ditempuh selama hampir tiga jam. Secara umum perjalanan
berlangsung lancar.
Pesawat Lion Air mendarat di Bandar Udara Sam
Ratulange Manado pada pukul 13.15 WITA. Begitu keluar bandara, panitia sudah
menyambut kami dengan ramah. Kesan pertama yang saya tangkap, Manado suhunya
cukup panas. Tidak berbeda jauh dengan Surabaya. Keadaan kotanya juga nyaris
tidak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Macet,
semrawut, kotor, dan tata kota yang kurang rapi.
Namun demikian, selalu ada yang istimewa di
setiap kota. Demikian juga dengan Manado. Saya mulai menjelajahi beberapa
bagian kota yang dikenal sebagai "Bumi Nyiur Melambai" ini pada malam
hari seusai acara pokok. Bersama teman-teman, kami berjalan menyusuri beberapa
bagian kota sekitar hotel. Maksud hati adalah mencari mi goreng atau mi godok.
Warung mi godok kami temukan di deretan toko depan
Hotel Aston. Malam itu mi godok terasa nikmat sekali. Saya menyaksikan
masyarakat yang memenuhi warung sederhana tersebut.
Usai makan, kami berjalan ke penginapan.
Sepanjang jalan saya melihat angkutan kota yang hingga jauh malam masih
beroperasi. Di Jawa, angkutan kota banyak yang sudah gulung tikar.
Pagi hari, usai shalat subuh, saya melanjutkan
petualangan seorang diri. Saya berjalan kaki menyusuri sudut kota. Saya menemukan
sebuah tempat yang unik. Tempat itu bernama Jalan Roda.
Jalan Roda |
Jalan Roda laiknya sebuah pasar. Saya masuk ke
dalamnya. Deretan warung kopi lebih dari dua ratus meter berderet dari ujung ke
ujung. Karena penasaran, saya pun mencoba berhenti di salah satu warung,
memesan kopi, dan menikmati menu khasnya, yaitu nasi kuning. Di Jawa, nasi
kuning modelnya mirip dengan nasi kucing.
Kopi dan nasi kuning |
Setelah cukup, saya kembali ke penginapan.
Badan sudah basah oleh keringat. Saya pun segera mandi dan bersiap menuju
lokasi acara pokok.
Malam harinya, usai acara, petualangan saya
lanjutkan. Seorang teman memberikan informasi adanya warung saraba. Saraba
adalah minuman khas yang terdiri dari susu, madu, dan jahe. Saya dan beberapa
teman tergerak untuk melacak. Tempat yang ditunjukkan kami lacak dengan jalan
kaki. Tetapi tampaknya kami kurang beruntung. Mencari-cari lokasi dan juga
bertanya ke orang ternyata tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya kami kembali.
Karena terlanjur keluar, kami kembali ke warung mi yang kami kunjungi pada
malam sebelumnya.
Tidak ada yang istimewa di warung ini sampai
kemudian datang tiga orang karyawan Hotel Aston. Salah seorang yang paling
senior mulai menyapa kami, bertanya tentang berbagai hal, dan ternyata ia orang
Jawa. Aslinya Wonogiri. Ia juga cukup tahu tempat-tempat di Tulungagung.
Hampir tengah malam tetapi kami kesulitan
mengakhiri pertemuan. Orangnya kocak banget. Ia bisa ndalang, cerita falsafah
budaya Jawa, dan nembang juga. Setelah cukup, saya pun meminta pamit.
Malam sudah sangat larut. Kami harus
istirahat. Esok masih ada acara konferensi yang serius.
Di hari terakhir, kami memiliki waktu luang
cukup lumayan. Jadwal penerbangan masih cukup lama. Malamnya kami merencanakan
untuk mengunjungi beberapa tempat. Kami bersepakat pagi-pagi sekali berangkat
agar segera sampai di tujuan. Tujuan pertama adalah Bunaken.
Terumbu karang yang bisa dilihat dari atas perahu |
Bunaken adalah laut yang terkenal dengan
terumbu karangnya. Dari perahu kita bisa melihat keelokan terumbu karang plus
ikan-ikan yang bebas berenang dengan jenis yang sangat beragam. Perjalanan
sekitar sejam menuju Bunaken sungguh mengesankan. Beberapa teman kemudian
memilih snokling dan mengabadikannya dalam gambar. Saya yang tidak memiliki
keberanian memilih istirahat, minum kopi, dan berbelanja oleh-oleh untuk
keluarga.
Pantai Bunaken yang indah |
Usai dari Bunaken kami berziarah ke makam Imam
Bonjol. Saya sungguh tidak menduga jika Tuanku Imam Bonjol dibuang oleh Belanda
ke pulau yang sangat jauh dari Padang, Sumatera Barat. Makam pahlawan nasional
tersebut berada di perbukitan tandus di luar kota Manado.
Sesaat sampai di makam saya menuju ke tempat
shalat Tuanku Imam Bonjol. Lokasinya sangat terpencil, di sebuah tempat di
dekat sungat, sekitar 100 meter dari makam beliau. Saya menuruni tangga yang
menjorok curam ke bawah. Di mushala yang menjadi tempat shalat beliau, ada
seorang penjaga. Saya pun berbincang santai dengan beliau.
Makam Tuanku Imam Bonjol tampak dari depan |
Perbincangannya seputar Tuanku Imam Bonjol dan
kiprahnya di lokasi pengasingan. Beliau bercerita bahwa dalam pengasingan,
Tuanku Imam Bonjol ditemani seorang pengawalnya. Pengawal ini menikah dengan
penduduk asli yang kemudian memeluk agama Islam. Penjaga ini ternyata keturunan
kelima dari Sang Pengawal.
Tempat shalat Tuanku Imam Bonjol |
Setelah cukup saya pun mohon diri. Di belakang
saya ada puluhan orang yang baru saja datang. Saya bergegas menuju makam dan
berdoa. Sungguh besar jasa Tuanku Imam Bonjol. Demi negara, beliau sampai
dibuang jauh dari tanah kelahirannya.
Batu tempat shalat Tuanku Imam Bonjol |
Secara umum saya menangkap kesan kalau makam
itu kurang terawat baik. Di sana sini kotoran bertebaran. Jalan menuju makam
juga rusak. Saya membayangkan seandainya dikelola secara baik, makam beliau
dapat menjadi tujuan wisata spiritual sebagaimana pahlawan dan ulama di Jawa.
Sesungguhnya saya ingin melanjutkan perjalanan
ke Kampung Jawa Tondano. Di kampung ini salah seorang pengikut Pangeran
Diponegoro diasingkan. Namanya Kyai Mojo. Saya mendapatkan informasi bahwa ada
beberapa makam di sekitar makam Kyai Mojo. Juga ada Masjid Kyai Mojo. Sayang,
anggota rombongan sudah kelelahan. Maka kami pun bersepakat untuk pulang ke
penginapan.
Dalam perjalanan pulang, kami berhenti sejenak
untuk mengambil gambar di depan patung raksasa Yesus. Di samping patung ada
tulisan Yesus Memberkati. Patung tersebut rupanya menandai bahwa di Bumi Nyiur
Melambai, agama Kristen cukup dominanan. Memang, gereja menjadi pemandangan
yang mendominasi di berbagai tempat.
Manado adalah sebuah wilayah yang cukup
plural. Semua agama ada. Bahkan tempat ibadah sinagog pun ada. Namun kerukunan
terjaga secara baik.
Perjalanan selama beberapa hari di Manado
memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga. Pluralitas masyarakatnya,
keindahan tempatnya, dan juga keramahan penduduknya merupakan pesona tak
terkira. Semoga afa kesempatan lagi untuk menjelajahi Bumi Nyiur Melambai.
Trenggalek, 8 September 2015
Hello I'am Chris !
BalasHapusI suggest you to publicize your blog by registering on the "directory international blogspot"
The "directory" is 25 million visits, 194 Country in the World! and more than 20,000 blogs. Come join us, registration is free, we only ask that you follow our blog
You Have A Wonderful Blog Which I Consider To Be Registered In International Blog Dictionary. You Will Represent Your Country
Please Visit The Following Link And Comment Your Blog Name
Blog Url
Location Of Your Country Operating In Comment Session Which Will Be Added In Your Country List
On the right side, in the "green list", you will find all the countries and if you click them, you will find the names of blogs from that Country.
Imperative to follow our blog to validate your registration.Thank you for your understanding
http://world-directory-sweetmelody.blogspot.com/
Happy Blogging
****************
i followed your blog, please follow back
Best Regards
Chris
+++++++++++++++++++
info yg sangat menarik...
BalasHapusTerima kasih berkenan berkunjung di blog sederhana ini.
Hapus