Belajar Bahasa Inggris Melalui Radio

Desember 27, 2015

                                                                             Oleh Ngainun Naim

Namanya Ali. Saya lupa nama lengkapnya. Ia Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di salah satu kecamatan di Nganjuk. Secara personal saya tidak akrab dengan beliau. Bertemu pun baru sekali, yaitu saat beliau bersama Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Nganjuk, Ali Anwar Mh.D, menjemput saya dari Kampus Institut  Agama Islam Pangeran Diponegoro Nganjuk untuk mengisi acara ISNU di sebuah pesantren di Prambon, Nganjuk sekitar tahun 2013.
Alumnus MAPK Jember dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini tampaknya merupakan aktivis tulen. Jadwal kegiatannya padat merayap. Itu saya tahu dari ceritanya tentang jadwalnya pada hari kami bertemu itu. Bahkan saat acara ISNU pun ia permisi untuk melanjutkan acara di tempat yang lain.
Saat perjalanan menuju lokasi acara, ada banyak hal yang ia ceritakan. Satu yang saya ingat adalah pertemanannya dengan ilmuwan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin. Menurut Mas Ali, ia kenal baik Al Makin karena pernah satu kos di daerah Sapen, Yogyakarta. Ia bercerita bagaimana Al Makin bermimpi kuliah ke luar negeri sejak masih semester awal S1. Belajar bahasa Inggris dilakukan Al Makin secara serius dengan membeli radio. Stasiun radio yang diputar setiap hari adalah BBC dan beberapa stasiun radio luar negeri lainnya.
Saat itu saya tidak terlalu memperhatikan cerita Mas Ali. Saya tahu Pak Al Makin sebagai ilmuwan dan pengelola jurnal bergengsi, Al-Jamiah. Saya juga beberapa kali bertemu beliau. Selain itu, buku-buku beliau juga saya koleksi. Seingat saya ada 2, semuanya tentang nabi. Saya juga membaca esai panjangnya di buku Ngaji Kepada Kiai Bule, Serba-serbi Kehidupan Santri di Barat, (Jakarta: Noura Books, 2013).
Di buku yang merupakan kumpulan kisah para santri yang studi di berbagai negara Barat tersebut, Al Makin menulis, ”Melangkah dari Sapen: Angan-Angan  Pencerahan”. Menurut saya, tulisan Al Makin cukup heroik. Sapen adalah sebuah kampung di sebelah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menjadi titik awal petualangan intelektual Al Makin ke berbagai belahan dunia. Di kampung ini banyak pemikir lahir, seperti Ahmad Wahib, Simuh, Mukti Ali, M. Amin Abdullah, Yudian W Asmin—dan Al Makin sendiri tentunya.
Secara menarik Al Makin berkisah bahwa kini memang zaman global. Persentuhan dengan dunia luar menjadi realitas yang tidak mungkin dihindari. Dan belajar ke luar negeri menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari. Mengapa harus ke luar negeri? Secara menarik Al Makin menulis:

Jawaban bisa beragam. Tetapi yang pasti: sudah saatnya kita bangun, mengambil air wudhu, berdoa, baca koran, baca jurnal, baca buku, dan mengikuti dunia yang terus berputar. Dunia terus maju. Jika kita tidak mengikuti, kata pujangga Muhammad Iqbal, kita tergilas. Terseret tertatih-tatih oleh putaran roda waktu, kata Ebiet G. Ade. Tergilas oleh zaman itu sendiri (h. 44).

Al Makin beruntung karena selepas S-1, ia mendapatkan kesempatan S-2 di McGill University Kanada dan S-3 dari Heidelberg, Jerman. Perjuangan dan dinamika intelektual ia ceritakan secara memukau. Tulisan Al Makin terasa khas dan menawan. Di akhir tulisannya ia menulis bahwa setelah melanglang buana ke berbagai negara, akhirnya ia kembali ke jejak awalnya: Sapen.
Cerita Mas Ali teringat kembali saat membaca buku Al Makin yang terbaru. Pada pengantar buku keren dan sarat dengan informasi bermutu yang berjudul Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi  (Jakarta: Serambi, 2015) Al Makin menulis bagaimana mimpinya ke luar negeri terdorong oleh Ibu Baroroh Baried yang menyebutkan banyak buku dalam bahasa Eropa yang berbeda-beda. Inspirasi Ibu Baroroh Baried membuatnya berjanji untuk bisa pergi dan belajar ke negara Eropa.


Salah satu strategi untuk mewujudkan mimpi belajar ke luar negeri adalah dengan belajar bahasa Inggris secara serius. Berikut saya kutipkan bagaimana perjuangan Al Makin yang ternyata sama dengan cerita Mas Ali.

Saya membeli radio merek Sony, dengan band 3. Saya bisa mendengarkan radio Australia, Amerika, dan Inggris. Saya tidak paham pertama kali mendengarnya sampai bulan-bulan berikutnya. Saya bisa mengumpakan seperti orang mendengar tahlilan, wirid, atau zikir, yang dengan senang mengikuti nadanya tetapi tidak tahu artinya. Saya mendengar radio BBC atau ABC seperti itu sewaktu saya baru membelinya. Namun, karena saya tetap mendengarnya, selang satu dan dua semester, saya mulai menangkap apa yang diucapkan oleh para penyiar berita bahasa Inggris tersebut.

Sewaktu masih duduk di S1, saya juga berusaha keras membaca buku-buku dalam bahasa Inggris dengan bantuan kamus. Saya berusaha keras memahami teks itu. Sulit, saya harus menamatkan beberapa buku dengan membuka kata per kata di kamus (hlm. 7).

Coba Anda baca kutipan panjang di atas. Gigih dan menginspirasi. Kesuksesan Al Makin untuk menyelesaikan S2 di Kanada dan S3 di Jerman tidak lepas dari kegigihannya belajar. Radio menjadi modal penting mengasah kemampuannya berbahasa Inggris.
Ada pesan yang penting direnungkan dari Al Makin untuk generasi sekarang yang memiliki banyak peluang untuk mengasah bahasa Inggris. ”Kalian harusnya jauh lebih pintas daripada saya, dulu hanya dengan menggunakan radio membayangkan pergi ke Inggris. Saat ini semua fasilitas bisa dinikmati gratis dengan online”.

Nasihat sederhana ini sungguh menyentak kesadaran. Bagaimana pendapat Anda?

Trenggalek, 27 Desember 2015.
   

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.