Membangun Literasi Intelektual NU
Oleh Ngainun Naim
Rasanya
bahagia sekali buku kumpulan intelektual NU yang tergabung dalam Ikatan Sarjana
Nahdlatul Ulama (ISNU) bisa terbit. Sungguh ini merupakan anugerah tak terkira.
Awalnya hanya perbincangan santai pengurus ISNU Cabang Tulungagung. Tetapi
akhirnya ditindaklanjuti dengan serius. Tentu tidak perlu saya ceritakan
perjuangan mengumpulkan naskah dan mengeditnya. Semua itu telah tertutupi
dengan terbitnya buku ini.
Buku
ini semoga menjadi tradisi baru di lingkungan NU Tulungagung, yaitu tradisi
tulis. Jika berbicara dan berdiskusi itu sudah biasa di kalangan nahdliyin,
tetapi untuk menulis masih belum. Memang ada beberapa warga NU yang rajin
menulis, tetapi jumlahnya tidak berbanding dengan jumlah warga NU.
Buku
kumpulan tulisan para intelektual NU yang kebetulan saya edit sungguh kaya
warna. Ya, kaya warna dan menggugah. Pertama, topik yang ditulis
mencakup tema yang sangat luas. Ada yang menulis masalah ideologi, politik,
ekonomi, manajemen, pendidikan, budaya, sampai soal hadis. Topik yang melintas
batas tersebut sungguh merupakan kekayaan warna dalam dimensi intelektual.
Kedua, latar
belakang penulis. Ada yang berlatarbelakang guru, dosen, mahasiswa, santri,
hingga enterpreneur. Latar belakang mereka memengaruhi terhadap tulisan yang
mereka buat. Ketiga, keragaman geografis. Betul buku ini yang
menerbitkan ISNU Tulungagung. Tetapi penulisnya tersebar di berbagai wilayah
Indonesia. Dr. Eko Siswanto adalah dosen STAIN Alfatah Jayapura, tetapi beliau
dulu adalah Pengurus IPNU Tulungagung. Ada juga penulis dari Jambi, Ponorogo,
Malang, Surabaya, dan dari beberapa kota lain. Tetapi sebagian besar diisi
pengurus ISNU Tulungagung.
Sejak
sampai buku tersebut ke kantor saya sekitar sebulan lalu, buku ini telah
terdistribusi sampai 100 eksemplar lebih. Beberapa pemesan juga sudah minta
dikirim buku ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk umat.
![]() |
Kiriman untuk para pemesan |
Buku
yang kebetulan saya edit ini menghadirkan data, informasi, dan
pemikiran-pemikiran cerdas para intelektual NU Tulungagung dan sekitarnya. Saat
mengedit dan membaca tulisan-tulisan mereka, tiba-tiba optimisme saya
meningkat. Saya merasa bahwa mereka adalah pemikir-pemikir besar. Hanya butuh
waktu dan kesempatan untuk menunjukkan kebesaran mereka. Dan buku yang saya
edit semoga menjadi salah satu media untuk itu.
Tulisan
Sekretaris Umum ISNU Tulungagung sungguh unik. Saya menemukan pernik-pernik
ideologis ke-NU-an dan kecerdasan argumentatif di dalam ulasannya. Anda mungkin
akan terkejut--jika tidak juga tidak apa-apa--saat Dr. Agus Zaenul Fitri yang
juga Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Tulungagung merangkai narasi Gus Dur.
Juga bagaimana secara elok ia bertutur tentang pluralisme Gus Dur lewat tangan
Kiai Marzuki Mustamar. Sungguh, Anda perlu menikmati paparan dosen muda energik
nan produktif ini.
Bagaimana
NU di Papua? Mungkin Anda terkejut dengan pertanyaan ini. NU cukup eksis di
Papua. Gerak dan aktivitas NU cukup produktif, khususnya dalam konteks
kerukunan umat beragama. Secara detail Ketua Tanfidziyah NU Jayapura periode
2009-2014, Dr. Eko Siswanto bertutur kompleksnya kehidupan sosial keagamaan di
Jayapura. Pelan tapi pasti NU menancapkan kiprahnya di bumi Indonesia ujung
timur tersebut. Baca dan simak uraian Dr. Eko dan Anda akan menemukan spirit
transformasi yang kuat.
Tulisan
intelektual muda yang juga mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN
Tulungagung, Rizal Mubit, menarik dibaca untuk memahami dinamika politik di
tubuh NU. Rizal memiliki cara bertutur unik di tulisannya. Argumentasinya
jernih. Penulis muda yang telah menerbitkan beberapa novel ini menyatakan bahwa
ada tiga kunci untuk memahami politik NU; kebijaksanaan, keluwesan, dan
moderatisme. Tiga hal inilah yang menjadikan NU selalu eksis di setiap
perkembangan sosial politik. Walaupun ada yang nyinyir menyebutnya sebagai
"plin-plan".
![]() |
Kiriman untuk penulis |
Salah
satu bidang yang sepi peminat adalah ilmu falak. Di IAIN Tulungagung, dosen
bidang ini adalah Ahmad Musonnif. Kader NU yang juga aktivis Lajnah Falakiah NU
Cabang Tulungagung ini merupakan orang yang konsisten di bidang ilmu yang
ditekuninya. Buku, artikel, dan penelitian yang dilakukannya tidak pernah
bergerak jauh dari bidang falak. Di buku yang saya edit, Musonnif--namanya saja
sudah berarti pengarang--menulis tentang madzhab falak NU. Ia menuturkan secara
runtut topik ini. Saya baru "ngeh" setelah membaca tulisan anak muda
pendiam ini bahwa madzhab falak NU itu setengah rukyat setengah hisab. Kok
bisa? Jelas bisa. Silahkan baca tulisan ciamik Musonnif di buku ini.
Muhammad
Nawawi yang merupakan aktivis IPNU Tulungagung menulis sebuah tema unik, yaitu
"Memahami Makna Jamaah dalam Memahami Islam Otentik". Kajian yang
dilakukan Nawawi cukup serius. Ia memiliki modal cukup mengkaji Al-Quran dan
Hadis karena ia sarjana di bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) dari IAIN
Tulungagung. Kata Jamaah memiliki konotasi makna yang tidak tunggal. Beberapa
kelompok menyebut dirinya Ahlussunnah waljamaah, tetapi karakteristiknya
berbeda dengan Aswaja model NU. Pada titik inilah, tulisan Nawawi penting
dibaca.
Artikel
berikutnya ditulis Fathurrohman Nur Awalin. Topiknya menarik dan aktual untuk
saat sekarang menjelang ramadhan ini, yaitu slametan. Tradisi slametan telah
membudaya di kalangan NU. Dan Awalin berhasil menelisik hingga aspek filosofis
slametan. Saya menikmati ulasan simbolik apem, tumpeng, ingkung, kembang telon,
gedang rojo, sego gurih, ambengan, jajan pasar, dan sejenisnya. Baca tulisan
Awalin dan temukan esensi slametan tanpa perlu takut dibid'ahkan kelompok
radikalis.
Salah
satu perkembangan menarik dari Islam Indonesia adalah fenomena Islam
transnasional. Kelompok Islam bercorak keras dan mudah mengafirkan mereka yang
berbeda paham ini menemukan ruang tumbuh dan berkembang pasca tumbangnya Orde
Baru. Nur Aziz Muslim--intelektual NU yang dibesarkan dalam tradisi pesantren--menulis
artikel yang menarik tentang persoalan ini. Judulnya "NU, Islam Nusantara,
dan Islam Tradisional". Aziz mengulas bahwa Islam Nusantara merupakan
jenis Islam yang berhasil berdialektika dengan budaya lokal. Karena itu Islam
Nusantara fleksibel dan dinamis menghadapi perkembangan dan perubahan zaman.
Islam transnasional yang literalis membabat habis segala hal yang dinilai
mengganggu kemurnian ajaran Islam (versi mereka). Mereka tidak kenal kompromi.
Kekerasan pun bisa ditempuh. Pada titik inilah tulisan Nur Aziz Muslim menarik
untuk diapresiasi. Memang tulisannya tidak terlalu panjang, tetapi isinya cukup
bermutu. Dan saya kira itu merupakan tipikal tulisan seorang intelektual.
Tahun
1960-an listrik belum tersebar merata. Di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas
Jombang, di sebuah malam yang gulita, sepotong api rokok terlihat berada di
halaman asrama. Seorang santri senior yang melihat ada orang merokok segera
mendekat dan menyapa.
”Kang,
gabung satu dua hisapan,” katanya dengan santai.
Di
pesantren, merokok gabung sudah biasa. Satu rokok dihisap bergantian oleh
beberapa santri.
”Monggo,”
kata sang pemilik rokok sambil memberikan rokoknya.
Tanpa
pikir panjang, rokok segera dihisap kuat-kuat. Api yang membakar tembakau
membuat temaram cahaya di kegelapan. Betapa terkejutnya si santri karena samar
terlihat wajah Kiai Wahab Hasbullah ada di depannya. Rupanya pemilik rokok
adalah kiai pengasuh pesantren. Tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan
ketakutannya, si santri berlari dengan membawa rokok kiai. Sang Kiai segera
meneriaki si santri.
”Kang,
mau ke mana. Katanya gabung satu dua hisap, kok rokokku malah dibawa lari.”
Begitulah,
cerita humor adalah wajah lain dunia pesantren. Jika kreatif mengumpulkan
menuliskannya, bisa lahir berpuluh-puluh buku kumpulan humor dari dunia
pesantren. Humor, sebagaimana ditulis Armin Marwing, adalah dimensi penting
kehidupan pesantren. Arman melakukan telaah psikologi terhadap humor ini dan
menyimpulkan bahwa salah satu kekuatan NU dan pesantren ada di aspek humor ini.
Kok bisa? Ya bisa. Silahkan baca sendiri ulasannya di buku terbitan ISNU
Tulungagung yang saya edit.
Tidak ada komentar: