Menguak Misteri Iqra’
Oleh Ngainun Naim
Tradisi
literasi harus terus digelorakan. Semangat literasi yang kemudian menjadi
budaya merupakan penanda kemajuan. Pada perspektif pentingnya membangun tradisi
literasi, kehadiran Pahlawan Literasi,
Bapak Satria Dharma dari Surabaya ke IAIN Tulungagung sangat penting
artinya.
Pak
Satria Dharma hadir dalam rangka bedah buku karya beliau, Iqra’, Misteri di Balik Perintah
Membaca 14 Abad yang Lalu (Surabaya: Eureka Akademia, 2015). Sebagai
pembanding adalah Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag., Guru Besar Filsafat Pendidikan
Islam IAIN Tulungagung. Acara yang berlangsung pada hari Selasa 18 Oktober 2016
ini dihadiri lebih dari 200 mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
(FTIK) IAIN Tulungagung dan para dosen.
![]() | |
Satria Dharma sedang presentasi |
Presentasi
Pak Satria Dharma sangat atraktif. Gaya beliau yang interaktif dan juga
mengiming-imingi para peserta akan memberikan buku karya beliau membuat para
peserta bedah buku sangat antusias. Secara substansial presentasi Pak Satria
Dharma berusaha mengajak para peserta untuk memahami pentingnya membaca (dan
menulis), khususnya dalam kerangka membangun kemajuan hidup bagi mahasiswa yang
sedang studi.
Pak
Satria Dharma dalam paparannya menjelaskan bahwa pendidikan itu bisa mengubah
semuanya. Pendidikan yang dijalani bisa memberikan kontribusi penting dalam
kehidupan, baik kehidupan secara personal maupun secara sosial. Negara-negara
maju memiliki lembaga pendidikan yang bermutu. Selain itu, anggaran pendidikan
juga menjadi prioritas sehingga pendidikan mendapatkan perhatian secara
memadai. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bisa mengubah keadaan menuju
kepada kondisi yang lebih baik.
![]() |
Peran membaca dalam pendidikan |
Dalam
paparannya Pak Satria Dharma mengutip pendapat beberapa ahli. Nelson Mandela
mengatakan bahwa, “Education is the most
powerful weapon which you can use to change the world”. Tokoh lain yang
dikutip pendapatnya adalah Lyndon B. Johnson, Presiden AS ke-36 yang menyatakan
bahwa, “Jawaban dari semua masalah
bangsa kita—bahkan jawaban dari semua masalah dunia—ada pada satu kata. Kata
itu adalah “PENDIDIKAN”. Mempertegas tentang pentingnya pendidikan adalah
pendapat Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris. Blair menyatakan bahwa, “Saya punya tiga prioritas kerja sebagai
Perdana Menteri, yaitu PENDIDIKAN, PENDIDIKAN, dan PENDIDIKAN”.
Jika
diperpanjang, daftar pendapat tentang pentingnya pendidikan akan sangat
panjang. Intinya tidak diragukan lagi bahwa pendidikan sangat penting. Dan
komponen paling penting dalam pendidikan adalah guru.
Paparan
penting yang menarik dari Pak Satria Dharma adalah tentang membaca. “Jantungnya pendidikan adalah membaca”, tegas
pegiat literasi tersebut. Menurut pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) tersebut,
membaca sangat penting artinya. Ia merupakan batu loncatan bagi keberhasilan di
sekolah dan dalam kehidupan kelak di masyarakat. Tanpa kemampuan membaca yang
layak, mustahil sekolah hingga kuliah akan berhasil. Semakin tinggi jenjang
pendidikan maka tuntutan membaca (dan juga menulis) semakin tinggi. Mempertegas
pendapatnya, Satria Dharma mengutip pendapat Glenn Doman, “Membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup.
Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca”.
![]() |
Tragedi nol buku |
Pada
paparan berikutnya Satria Dharma masuk ke topik pokok, yaitu tentang Iqra’. Menurut Satria Dharma, ada
misteri tentang perintah membaca ini. Perintah membaca menjadi perintah pertama
bertujuan agar kita sebagai umat Islam mudah ingat. Tidak hanya itu, Satria
Dharma juga menegaskan bahwa, “Membaca
itu khas Islam. Perintah membaca hanya ada di dalam Al-Qur’an. Di kitab-kitab
agama lain tidak ada”. Ibadah-ibadah yang lain juga ada di agama lain,
meskipun berbeda dalam banyak hal. Puasa misalnya, di agama lain juga ada.
Tetapi
mengapa kita tidak memiliki budaya membaca? Tentu ada banyak faktor yang
menjadi penyebabnya. Faktanya memang budaya membaca bangsa Indonesia masih jauh
dari harapan. Sastrawan Taufik Ismail pada bulan Juli sampai Oktober 1997
mengadakan penelitian ke SMA di 13 negara mengenai 4 hal; (1) kewajiban membaca
buku; (2) tersedianya buku wajib di perpustakaan; (3) bimbingan menulis; dan
(4) pengajaran sastra di sekolah. Hasilnya sungguh mengejutkan. Kita kondisinya
sangat jauh. Taufik menyebutnya sebagai Tragedi
Nol Buku.
Disebut
demikian karena dari 13 negara yang diteliti, Indonesia berada pada posisi
terbawah. Kewajiban membaca buku sastra siswa SMA di Thailand Selatan sebanyak
5 judul buku, SMA di Malaysia dan Singapore sebanyak 6 judul buku, SMA Brunei
Darussalam sebanyak 7 judul, SMA Rusia 12 judul, SMA di Kanada dan Jepang
sebanyak 15 judul, SMA di Jerman Barat sebanyak 22 judul, SMA di Prancis
sebanyak 30 judul, SMA di Amerika Serikat sebanyak 32 judul, dan SMA di Indonesia nol.
Rendahnya
budaya membaca membuat masyarakat Indonesia kalah bersaing dengan banyak
negara. Banyaknya bacaan menunjukkan kualitas seseorang. “Bagaimana kita bisa bersaing dengan banyak negara yang masyarakat
telah memiliki tradisi membaca banyak buku, sementara kita membaca saja
tidak?”, keluh Satria Dharma. Maka wajar jika kita terus teringgal dalam
kompetisi global.
![]() |
Foto bersama usai acara |
Ada
penegasan menarik dari Satria Dharma yang penting untuk kita renungkan, yaitu, “Jika Anda Islam tapi tidak membaca maka
diragukan keislamannya”. Mungkin Anda kurang setuju dengan pernyataan ini,
tetapi jika direnungkan, pernyataan Satria Dharma ini sesungguhnya memiliki
banyak landasan dan argumen yang kokoh.
Terkait dengan menulis, Satria Dharma menganjurkan agar kita semua menulis setiap hari. Menulis di blog atau facebook sesungguhnya merupakan sarana menulis yang cukup efektif. Pengalaman Satria Dharma menunjukkan bahwa buku-bukunya rutin terbit dari metode menulis semacam ini. Katanya, “Setiap ulang tahun saya menerbitkan buku”.
Sementara
Prof. Dr. Akhyak, M. Ag. Yang menjadi pembanding mempertegas pernyataan Satria
Dharma. Menurut Prof. Dr. Akhyak, gerakan literasi pertama dalam Islam ya dalam
perintah iqra. Karena itu, umat Islam semestinya tumbuh kesadaran dan pemahamannya
akan pentingnya membaca.
Di
kampus, aktivitas membaca menjadi aspek yang tidak terpisahkan. Kuliah itu
kegiatan yang dominan adalah membaca dan menulis. Dosen tak henti-hentinya
mengajak membaca. Semuanya itu dilakukan agar mahasiswa rajin membaca. “Orang yang
banyak membaca otaknya sehat dan hafalannya kuat”, papar Prof. Dr. Akhyak.
Pada
bagian lain, Guru Besar yang juga aktivis di berbagai organisasi tersebut
menjelaskan bahwa membaca merupakan kunci sukses. Semakin banyak membaca maka
peluang mencapai kesuksesan semakin terbuka lebar. Karena itulah beliau sangat
mengapresiasi kehadiran Pak Satria Dharma di IAIN Tulungagung yang menyuntikkan
spirit literasi. “Saya menjuluki Pak Satria Dharma sebagai Sang Inovator Generasi Gemar Membaca”, tegas Prof. Akhyak dalam
mengakhiri paparannya.
Usai
pemaparan dilanjutkan dengan diskusi. Acara berlangsung sangat meriah. Banyak peserta
yang mengajukan pertanyaan. Antusiasme yang tinggi tersebut menjadi titik
harapan agar literasi benar-benar menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
IAIN Tulungagung. Jika ini mampu terwujud maka harapan perubahan ke arah
kemajuan secara optimal terbuka lebar. Semoga.
Tulungagung,
18-19 Oktober 2016.
Sangat menginspirasi sekali, pak.
BalasHapusMemang, dalam pendidikan itu kegiatan membaca dan menulis sangat penting sekali.
Bahkan dalam ajaran islam pun, kita diharuskan membaca.
Salam santun dan dalam literasi.
Terima kasih berkenan berkunjung ke blog sederhana ini. Ayo terus gelorakan semangat membaca dan menulis.
HapusSiap, pak..
BalasHapusTerima kasih bapak sudah memberi semangat pada kami. Dan terima kasih juga bapak sudah bersedia mem-follow blog saya.
Sama-sama.
Hapus