Jejak Historis Relasi Islam—Kristen di Indonesia
Judul
Buku: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942)
Penulis:
Karel Steenbrink
Pengantar:
Prof. Dr. Mujiburrohman
Penerbit:
Gading Yogyakarta
Edisi:
Mei 2017
Tebal:
liv+298 halaman
ISBN:
9786020809366
Peresensi:
Ngainun Naim
26 tahun tentu bukan waktu yang pendek bagi
sebuah buku. Jika bukan karena faktor penulisnya, kedalaman kajiannya, dan
kontekstualitas temanya, saya kira buku ini kecil kemungkinannya bisa terbit
kembali.
Edisi perdana buku ini terbit dalam bahasa
Belanda pada tahun 1991. Itu berarti terhitung 26 tahun sampai sekarang. Buku
edisi bahasa Inggris terbit tahun 1993. Dan terjemahan bahasa Indonesia dengan
judul Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia
(1596-1942) diterbitkan oleh Mizan Bandung pada tahun 1995.
Berdasarkan berbagai pertimbangan, buku ini
kembali diterbitkan oleh Penerbit Gading Yogyakarta. Pada edisi baru ini ada
tambahan bab dari Karel Steenbrink, yaitu Bab 8. Steenbrink juga menulis
“Epilog” yang cukup memukau. Pengantar cukup panjang dari murid Steenbrink,
Prof. Dr. Mujiburrohman yang kini menjadi Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin
menjadikan buku ini semakin kaya perspektif.
Buku ini bisa dibilang sebagai “edisi
komplit”. Disebut demikian karena selain merupakan penyempurnaan dari
terbitan sebelumnya, buku ini juga memuat kata pengantar lengkap edisi bahasa
Inggris yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Aqib Suminto yang ketika melakukan
penelitian untuk disertasinya di Belanda pada tahun 1978-1979 dibimbing oleh
Steenbrink (h. 262). Istimewanya, buku ini juga memuat Kata Pengantar edisi
pertama bahasa Indonesia yang ditulis oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra.
Pada kata pengantar tersebut, Prof. Azyumardi
menyebut buku ini sebagai buku unik. Selain keunikan penulisnya, keunikan
lainnya ada pada isi buku. Prof. Azyumardi menyatakan bahwa, “...ia merupakan
satu-satunya kajian yang cukup komprehensif mengenai mispersepsi, prasangka,
dan antipati Belanda terhadap Islam di Indonesia pada masa kolonialisme” (h.
xlv).
Pada Kata Pengantar Prof. Dr. Mujiburrohman yang
diberi judul “Pergumulan Intelektual Karel A Steenbrink, Sebuah Pengantar”,
dijelaskan panjang lebar tentang jejak intelektual tokoh yang melakukan studi
doktor dalam bidang kajian bahasa Arab dan Islam ini. Bidang yang dipilih
Steenbrink merupakan bidang langka dan sepi peminat. Bisa dibayangkan, awal
masuk kuliah ada 13 orang mahasiswa, tetapi sampai akhir tersisa tinggal 2
orang saja. Salah satunya adalah Steenbrink.
Steenbrink tumbuh menjadi seorang ilmuwan
sejati, yang menjadikan ilmu sebagai totalitas hidup. Hal itu dibuktikan—antara
lain—dengan riset seriusnya di Indonesia. Pada bulan Maret 1970, Steenbrink
datang ke Indonesia. Awalnya ia ingin mengkaji tafsir Al-Quran di Indonesia.
Namun dalam perkembangannya kemudian ia pindah perhatian dan memilih mengkaji
pesantren. Keseriusannya mengkaji pesantren menghasilkan buku unik yang tidak
ada duanya sampai sekarang, yaitu Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Yogyakarta:
LP3ES, 1988).
Dunia Karel Steenbrink juga unik. Posisinya
ada di antara dua dunia: Kristen dan Islam, Belanda dan Indonesia. Dua dunia
inilah yang mewarnai aktivitas dan pemikirannya. Hal tersebut terlihat—antara
lain—pada buku ini.
Buku ini menelusuri jejak sejarah relasi
Islam—Kristen di Indonesia dalam jangka waktu yang sangat panjang. Paparan di
buku ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga preskriptif. Steenbrink terlibat
secara total pada objek yang dikajinya.
Pilihan keterlibatan ini tampaknya
berlandaskan pada keyakinan Steenbrink untuk tidak hanya berhenti pada tataran
teoretik. Prof. Dr. Mujiburrohman pada Kata Pengantar menulis, “Baginya, yang
terpenting adalah berbuat, berkontribusi kepada kehidupan, sekecil apapun nilainya”
(h. xxxiii).
Bab 1 buku ini, “Titik Tolak dan Eksplorasi”,
mengulas tentang dua tokoh penting dalam topik yang menjadi perhatian buku ini.
Pertama, Frederich de Houtman (1571-1627). Ia seorang pedagang yang
membuka ekspedisi ke Hindia Belanda. Perjuangannya mengarungi lautan luas
selama bertahun-tahun, tersesat, dipenjara, sampai akhirnya dibebaskan
dipaparkan dengan sangat menarik oleh Steenbrink.
Begitu juga dengan kisah Dr. Ivan van Baal.
Kedua tokoh merupakan representasi dari tema buku ini. Hal ini diperkuat dengan
contoh-contoh konkrit dari pertemuan antara umat Kristen di Islam Indonesia
dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu 1596-1942.
Masa-masa awal Belanda di Indonesia ditandai
dengan model relasi yang “sedang mencari bentuk”. Ada penghargaan, acuh tak
acuh, dan penistaan. Tidak ada pola baku. Semua itu tampaknya bermuara pada
satu hal, yaitu pengetahuan tentang agama Islam yang belum memadai. Hal ini
diulas secara panjang lebar di bab 3 yang bertajuk, “Teologi di Latar Belakang:
Muslim sebagai Orang Sesat yang Tidak Disenangi”. Judul ini secara jelas
menunjukkan bahwa orang Islam berada pada posisi yang tidak bagus. Tiga orang
yang diulas oleh Steenbrink pada bab ini—Hugs de Groat, Antonius Walaeus, dan
Gisbertus Vaetius—semuanya memiliki pandangan negatif terhadap Islam.
Bab 4 berkisah panjang lebar tentang
permusuhan VOC terhadap umat Islam. Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) disebut
Steenbrink sebagai arsitek dan organisator kekuasaan kolonial di Hindia
Belanda. “Isu keagamaan merupakan isu sentral bagi Coen”, tulis Steenbrink (h.
98). Bagi Coen, Muslimin adalah orang yang tidak bisa dipercaya (h. 100). Coen
menorehkan perspektif negatif terhadap kaum Muslimin. Perspektif ini berhasil
menancapkan pengaruh dalam waktu yang sangat lama.
Tahun 1811-1816 adalah tahun di mana Hindia
Belanda beralih dari penjajahan Belanda ke tangan Inggris. Tidak berbeda jauh
dengan Belanda, perspektif Inggris tetap eksploitatif dan memandang pejoratif
terhadap Islam. Salah seorang tokoh penting penjajah Inggris adalah Sir Thomas Stamford
Raffles. Raffles memiliki kebijakan politik yang tidak pro Islam. Bahkan
Raffles menyebut pemimpin Muslim, khususnya yang sudah menunaikan ibadah haji
sebagai, “...musuh paling besar bagi setiap rezim kolonial” (h. 117).
Bab 5 memiliki judul yang sangat menarik,
yaitu “Halle, Hurgronje dan Hazen: Tutor bagi “Para Penganut Agama
Terbelakang”. Bab ini menjelaskan tentang pergeseran pandangan Belanda terhadap
persoalan agama. “Orang Islam tidak lagi dipandang sebagai orang “sesat” atau
musuh bebuyutan, tetapi lebih sebagai penduduk terbelakang dan perlu dididik
dari sebuah koloni yang tengah berubah menjadi negara berkembang” (h. 124).
Karel Frederich Halle (1829-1896) adalah
“penasihat untuk urusan pribumi” yang mengembangkan kebijakan pendidikan sebagai
sarana menetralisasi Islam. Helle berusaha keras menjaga peran sosial dan
politik Islam. Ia, misalnya, menilai para haji sebagai penghasut fanatisme dan
ketertutupan. “...ia menganggap para haji dan guru-guru agama adalah bahaya
terbesar yang dimiliki Islam” (h. 132). Karena ia merekomendasikan kepada
pemerintahan kolonial Belanda agar jangan sekali-kali mengangkat mereka untuk
jabatan pemerintahan yang lebih tinggi. Tidak hanya itu. Halle juga berusaha
melenyapkan fungsi dan pengaruh keagamaan Bupati (h. 130). Lebih lanjut
Steenbrink menulis bahwa, “Orang seperti Halle betul-betul memandang Muslimin
sebagai bahaya besar bagi stabilitas dan perkembangan ‘Hindia Belanda-nya” (h.
138-139).
Christian Snouck Hurgronje adalah tokoh yang
sangat kontroversial dalam sejarah kolonial Belanda. Meskipun sangat
kontroversial, ia juga disebut Steenbrink sebagai tokoh yang sangat penting.
Selain aktivitasnya yang sangat padat, Hurgronje juga mendirikan mazhab (h.
153) dengan pengikut yang cukup diperhitungkan. Wawasannya yang luas dan
mendalam, juga karyanya yang sangat banyak dan berbobot, membuat Hurgronje
memiliki banyak pengikut yang fanatik.
Salah satu hal yang kontroversial adalah
anjurannya untuk melakukan penindasan secara sistematis dan kejam terhadap
daerah-daerah Hindia Belanda yang masih berusaha mempertahankan kemerdekaan
mereka. Salah satu nasihat politiknya, selain pemisahan agama dan politik,
adalah meningkatnya keterlibatan pemerintah kolonial dalam urusan sehari-hari
“agama Islam”. Meskipun kiprah Hurgronje banyak merugikan umat Islam, ia juga
meninggalkan jejak positif. Kantor Urusan Pribumi yang ia dirikan “...dapat
dipandang sebagai pendahulu dan pelopor Departemen Agama RI” (h. 144).
Godard Arend Hazeu adalah tokoh penting yang
disebut Steenbrink setelah Hurgronje. Ia disebut sebagai satu-satunya tokoh
etis sejati (h. 153, 159). Sebutan ini dikenakan pada Hazeu karena ia tidak
terlibat dalam dunia pengusaha perkebunan, seperti Halle, dan tidak terlibat
dalam dunia militer serta kelanjutan kekuasaan kolonial sebagaimana Hurgronje.
Ia juga tidak memiliki hubungan apapun dengan kekuasaan ekonomi. Berbeda dengan
dua pendahulunya (Halle dan Hurgronje), Hazeu cenderung bersikap apresiatif
terhadap Islam.
Bab 6 membahas tentang para misionaris dari
Belanda. Mereka berjuang di Hindia Belanda dengan segenap dinamika. Steenbrink
melukiskan kisah dan konteks perjuangan 10 orang misionaris di Hindia Belanda.
Ada banyak sekali informasi yang sangat penting yang diulas di bab ini.
Meskipun masing-masing misionaris memiliki keanekaragaman dalam berbagai aspek,
Steenbrink menyebut adanya satu unsur penting yang berkali-kali muncul pada
konteks 10 misionaris yang diulas pada bab ini, yakni “Islam adalah musuh yang
menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi kekuatannya harus
dikurangi melalui berbagai cara yang ada” (h. 168).
Meskipun demikian, pada tataran aplikatif,
kesepuluh misionaris memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam memandang
Islam. Samuel Eliza Harthorn (1831-1883) adalah misionaris yang kontroversial.
Berbeda dengan misionaris lainnya, Horthorn termasuk penulis yang cukup
produktif. Pandangannya yang liberal membuatnya dinilai oleh para misionaris
sebagai orang yang ingkar agama. Penilaian muncul karena pemikiran dan sikapnya
yang mengikuti kritisisme liberal dan progresif dari agama Kristen (h. 173).
Misionaris kedua yang diulas Steenbrink adalah
Carel Poensen (1836-1919 M). Poensen tampaknya cukup bersimpati terhadap
Harthorn. Pandangannya terhadap Islam juga cukup adil dan positif. Posisi
berbeda justru ditunjukkan oleh Lion Catchet (1835-1899) yang menilai Islam
sebagai pengingkaran mutlak terhadap ajaran Kristen (h. 179).
Di antara para misionaris yang menjadi tokoh
penting studi agama dan pemikirannya mempengaruhi terhadap kebijaksanaan
pemerintahan mengenai Islam adalah Hendrik Kraemer (1888-1965). Meskipun
dinilai sebagai tokoh kontroversial bagi gereja dan misi, namun Kraemer
dianggap sebagai tokoh penting sekelas Hurgronje.
Bab 7 berjudul, “Reaksi Indonesia atas
Kedatangan Orang Kristen”. Pada bab ini Steenbrink menunjukkan kepiawiannya
sebagai seorang ilmuwan berkelas. Ia menghadirkan data-data yang sangat
berharga dan melakukan analisis yang cukup kritis. Ia berangkat dari naskah-naskah
induk, seperti Sejarah Melayu, Sejarah Patani, Babad Tanah Jawa, Serat
Centhini, Sejarah Perang Sabil, Serat Baron Sukender, dan Babad
Surapati. Naskah-naskah tersebut memuat pandangan terhadap kehadiran orang
Kristen di Hindia Belanda. Tentu saja, aspek ini bukan menjadi perspektif utama
di setiap naskah induk tersebut. Justru di sinilah Steenbrink menunjukkan
dirinya sebagai ilmuwan berkelas. Ia berhasil menyuguhkan data-data penting,
menganalisisnya, dan menghadirkan sudut pandang baru.
Steenbrink menjelaskan bahwa ketegangan karena
faktor agama telah menjadi bagian dari dinamika penjajahan. Kelompok Islam
modernis tampaknya lebih membenci Kristen daripada kelompok Islam tradisional.
Hal ini disebabkan karena, “...Muslimin ini adalah orang-orang yang mengetahui
berbagai pandangan Kristen yang negatif terhadap Islam dan juga mempunyai
hubungan sangat intensif dengan kebudayaan Barat” (h. 232).
Buku edisi ini sungguh menarik. Di bandingkan
dengan edisi sebelumnya, buku ini lebih lengkap karena ada tambahan satu bab,
yaitu bab 8, “Muslim dan Kristen di Indonesia dan Belanda dalam Periode
1945-2015: Jalan Terpisah atau Titik Temu?”, dan “Epilog”. Tambahan bab ini
melengkapi perkembangan kontemporer dari keseluruhan isi buku pada edisi
sebelumnya. Namun demikian, tambahan bab ini membuat judul besar buku yang
berisi tahun (1596-1942) menjadi kurang relevan lagi.
Terlepas dari itu, buku ini sungguh bermanfaat
bagi peminat kajian Islam dan sejarah Islam Indonesia. Steenbrink merupakan
ilmuwan penting yang memberikan kontribusi besar bagi studi agama di Indonesia.
Resensi yang menarik. Jadi ingin membaca. Di mana bisa mendapat kan Buku ini Pak Dr. Ngainun Main?
BalasHapusBisa hubungi Penerbit Gading Yogyakarta. Buka Google. Cari alamatnya. Ada kok. Atau ke toko buku.
HapusResensi yang mantap...
BalasHapusSelalu wau nambah ilmu
BalasHapusSelalu wau nambah ilmu
BalasHapus