Penulis Trenggalek Bertutur tentang Trenggalek
Judul Buku: Trenggalek Pada Suatu Pagi
Penulis: Misbahus Surur
Penerbit: Akademia Pustaka Tulungagung
Edisi: 2017
Tebal: viii+236 halaman
ISBN: 9786026706065
Oleh Ngainun
Naim
Nama
Trenggalek tetiba mencuat secara nasional. Terpilihnya Bupati Dr. Emil
Elestianto dan Wakil Bupati Muhammad Nur Arifin menjadi salah satu faktornya.
Keduanya masih muda. Bahkan sangat muda.
Tentu
bukan hanya karena hal itu Trenggalek kini mulai diperhitungkan. Kinerja
kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati yang cukup progresif saya kira faktor lain
yang memegang peranan penting.
Periode
kepemimpinannya masih belum lama. Saya kira dibutuhkan kesabaran menunggu
sampai cukup waktu untuk menilai secara komprehensif capaian yang telah diraih.
Satu
hal yang saya kira perlu ditingkatkan lagi adalah budaya literasi. Kinerja
pegiat literasi sejauh ini sudah menggembirakan. Tetapi dibandingkan dengan
daerah lain, Trenggalek memang harus berbenah agar dunia literasi semakin
semarak lagi.
Spirit
literasi di Trenggalek beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Ada
beberapa hal yang menjadi indikasinya.
Pertama,
berkembangnya perpustakaan dan taman baca masyarakat. Perpustakaan juga terus
melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan minat baca masyarakat.
Jika
Anda datang ke Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah yang ada di Jl. Yos Sudarso
14 (persis timur Kantor Kecamatan Trenggalek) maka Anda bisa membaca ribuan
buku di dalamnya. Kondisi ini tentu sudah jauh lebih baik meskipun belum ideal.
Mobil
pustaka juga hadir di tempat-tempat strategis pada hari minggu. Datanglah ke
Alun-Alun, Huko atau Stadion. Di sana Anda akan menemukan mobil pustaka yang
melayani masyarakat untuk membaca.
Gairah
literasi juga bisa diamati dari tumbuh suburnya Taman Baca Masyarakat (TBM).
Saya belum punya data validnya. Tetapi saya yakin jumlahnya semakin banyak.
Dari
bulan Juli sampai Akhir Agustus 2017 IAIN Tulungagung melaksanakan KKN di dua
kecamatan, yaitu Pule dan Panggul. Salah satu program yang didirikan, disemai
dan dirawat adalah TBM.
Anda
bisa mengunjungi TBM-TBM tersebut misalnya di Kecamatan Pule ada di Desa Pakel,
Sukokidul dan Jombok. Di Panggul Anda bisa menemukan TBM di Desa Ngrencak,
Sawahan dan Manggis.
Meskipun
masih harus terus diperjuangkan, penanda awal ini menancapkan optimisme
terhadap budaya literasi di Trenggalek.
Kedua,
Trenggalek sesungguhnya kaya dengan penulis. Karya mereka tersebar di banyak
media. Ada dalam bentuk buku atau artikel di media cetak dan internet.
Pada
catatan ini saya tidak akan mengulas semua penulis Trenggalek. Saya hanya akan
mengambil tiga nama sebagai sampel acak. Jika memungkinkan, suatu saat ada
riset khusus untuk membuat ensiklopedi para penulis Trenggalek. Kayak ensiklopedi
besutan Korrie Layun Rampan.
Salah
satu penulis yang saya kenal adalah Nurani Soyomukti. Komisioner KPU ini dulu
cukup produktif menghasilkan buku. Kini ia aktif menginiasi banyak kelompok
untuk aktif berkarya. Pegiat literasi ini berkontribusi penting mengenalkan
gairah dan gerakan literasi Trenggalek.
Nama
lain yang penting disebut adalah Puji Wirawan, seorang guru di sebuah sekolah
di Jombok Pule. Ia sendiri sarjana bahasa Inggris, tetapi cinta mati terhadap
sastra Jawa. Karyanya berupa Crita Cekak kerap nongol di Majalah Jaya Baya.
Kumpulan Cerkak karyanya, setahu saya, sudah dua yang dibukukan. Profilnya
pernah dimuat Jawa Pos Radar Trenggalek.
Nama
lain yang penting ditulis adalah Misbahus Surur. Pemuda asal Blok M (Blok
Munjungan) yang pada 10 September 2017 mengakhiri masa lajang adalah dosen UIN
Maliki Malang. Ia juga esais handal dan pengulas buku berkelas. Ketik saja
Misbahus Surur di google maka akan anda dapatkan data melimpah.
Menjelang
pernikahannya, Surur menerbitkan buku kumpulan esainya. Judulnya Trenggalek
Pada Suatu Pagi (Tulungagung: Akademia Pustaka, 2017). Buku ini unik dan
sangat berbobot. Saya menilai buku ini seharusnya dibaca secara luas oleh
masyarakat Trenggalek agar diperoleh perspektif baru dan mencerahkan.
Saya
cukup menikmati buku karya Misbahus Surur ini. Bagian demi bagian saya baca
secara tuntas.
Pada
bagian awal Surur menjelaskan tentang Trenggalek dari beberapa perspektif.
Perspektif sejarah tampak cukup dominan menghiasi bagian buku ini. Meskipun
tidak belajar sejarah secara formal (S-1 dan S-2 Surur Bahasa dan Sastra Arab),
pengetahuan teoretis dan aplikasinya dalam riset sejarah cukup tangguh.
Penulis
muda dari Munjungan ini berhasil menjelaskan secara apik geneologis nama
Trenggalek. Pada tulisan yang berjudul "Trenggalek Kota Pertahanan"
(hal. 9-12), Surur menelusuri dimensi etimologis hingga historis Trenggalek.
Tulisan Surur ini sangat penting karena saya yakin banyak warga Trenggalek
sendiri yang belum mengetahuinya. Paparan Surur tentang bagaimana upaya merubah
nama Trenggalek menjadi Trenggalih juga penting untuk disimak. Hal ini
dipertegas pada tulisan berikutnya, "Tiga Tokoh Hebat yang Mengubah Kota
Trenggalek" (hal. 13-26).
Trenggalek
memiliki jejak sejarah yang cukup panjang dan dinamis. Sebutan Trenggalek
sendiri dalam konteks sosiologis-geografis menjadikan kota ini sebagai kota
buntu yang tidak terhubung secara strategis dengan kota-kota yang lainnya.
Justru karena itulah Surur menegaskan bahwa Trenggalek seharusnya,
"...pandai mengkreasi diri, namun tetap mengacu kepada karakter yang
ada" (hal. 3).
Misbahus
Surur merupakan warga asli Trenggalek. Ia begitu mencintai kabupaten yang
acapkali dinilai kurang apresiatif ini, khususnya di masa lalu. Tapi caranya mencintai
berbeda, unik dan khas.
Ia
mencintai Trenggalek dengan tulus tapi kritis. Tulus karena ia tidak ingin
Trenggalek meluncur dalam lubang kemunduran. Karenanya ia kritis, termasuk pada
duet Mas Emil dan Mas Ipin.
Hal
itu terlihat secara jelas pada seluruh isi buku yang dirakit secara serius ini.
Surur tidak berangkat dari asumsi. Ia berangkat dari data-data valid dan riset
serius yang kemudian dibingkai dengan rajutan teori.
Pada
tulisan "Desa Menganyam Kota", Surur berangkat dari pengalaman masa
kecilnya yang suka bermain di sawah di daerah asalnya, Munjungan. Pengamatannya
terhadap tanaman tumpang sari di "galengan" menjadi pijakan analisis
makna da konteksnya.Pada tulisan ini ia juga menemukan peran besar kaum
perempuan. Dua hal ini disebutnya sebagai bagian dari kearifan lokal. Wajar
jika melihat realitas sekarang ia menjadi galau. "...yang dalam beberapa
tahun ke depan, siapa yang bisa menjamin akan terus terpelihara" (h. 43).
Kearifan
lokal menjadi topik yang dibahas secara serius. Pada banyak bagian ia
menegaskan agar pembangunan yang berjalan tidak tercerabut dari kearifan lokal.
Fokus pembangunan pada aspek fisik-material menjadikan abai terhadap
manusianya. Justru pola semacam ini bisa memunculkan budaya
hedonis-pragmatis-destruktif sebagai efek serius pembangunan.
Dalam hal apapun mencintai dengan tulus memang beda dengan cinta palsu, semoga Trenggalek makin maju sesuai keinginan penulis Misbahus Surur dan warga lainnya
BalasHapusAmin. Terima kasih doanya Mbak.
HapusDimana ya bisa mendapatkan bukunya ms Misbahus Surur?
BalasHapus