Beragama Secara Kritis

Oktober 25, 2017


Judul Buku: Islam Tuhan Islam Manusia, Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau
Penulis: Haidar Bagir
Penerbit: Mizan, Bandung
Edisi: 2017
Tebal: xxxiii+294 halaman
ISBN: 9786024410162
Peresensi: Ngainun Naim



Saya menyukai buku-buku karya Bos Penerbit Mizan Bandung, Dr. Haidar Bagir. Saya memiliki sebagian besar karya beliau. Karena itu ketika ada informasi bahwa beliau menerbitkan buku lagi, saya segera memburunya.
Buku yang saya ulas ini, selain isinya yang menarik-mencerahkan, juga memantik reaksi dari kaum Muslim yang kurang sepakat. Saya sendiri heran kenapa buku sebagus ini ditolak di banyak tempat. Di IAIN Surakarta, saat buku ini dibedah, konon ratusan orang berdemonstrasi di luar kampus. Padahal, seandainya mereka yang menolak mau membaca dengan objektif dan kepala dingin, saya yakin akan menemukan banyak hikmah dan manfaat.
Hikmah itu bisa diperoleh dari banyak tempat. Kita sebagai manusia Muslim jangan hanya mau menerima informasi secara eksklusif. Ada begitu banyak hikmah dari kehidupan ini. Jika memang tidak sepakat dengan Dr. Haidar Bagir, caranya bukan dengan demonstransi. Tulislah buku untuk membantahnya. Jika ini yang dilakukan, itu seimbang.
Mengapa sampai ada kelompok yang menolak? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya. Hal ini disebabkan karena ada banyak faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Salah satunya saya kira karena Haidar Bagir menawarkan cara pandang kritis dalam beragama.
Saya sungguh menikmati buku karya pemilik penerbit besar di Bandung ini. Bagian demi bagian saya baca secara cermat di sela-sela kesibukan harian yang cukup padat. Saya berharap mendapatkan ilmu dan wawasan mencerahkan setelah mencicipi halaman demi halaman dari buku ini.
Menurut saya, bahasa Haidar Bagir—khususnya di buku ini—cukup bervariasi: ada bagian yang bahasanya sederhana, mudah dipahami dan mengalir; ada juga bagian yang cukup rumit sehingga membuat kening mengernyit. Justru karena itulah tulisan demi tulisan di buku ini cukup menarik dan menantang.
Salah satu hal yang banyak diulas di buku ini adalah pentingnya menghadirkan Islam yang berwajah damai. Wajah damai ini penting untuk terus disuarakan agar Islam Indonesia tampil sejuk, damai, dan mencerahkan. Di tengah situasi sekarang ini yang oleh Haidar Bagir disebut sebagai “situasi tidak normal” (h. 166), pemikiran Haidar Bagir menemukan relevansinya untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Salah satu penanda “situasi tidak normal” adalah menguatnya kelompok takfiri. Kelompok ini begitu mudahnya mengafirkan mereka yang berbeda pemikiran dan paham keagamaan (h. 168). Jika takfiri semakin meluas maka kehidupan sosial keagamaan akan penuh ketegangan. Saling tuding sebagai kafir akan merebak di mana-mana.
Takfiri harus direduksi. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan kultur yang menghargai dan mengapresiasi terhadap keanekaragaman.  Tulisan demi tulisan yang terdapat di buku ini secara jelas menunjukkan bagaimana Haidar Bagir adalah sosok pluralis. Di tengah menguatnya arus radikalisme, pikiran-pikiran Haidar Bagir penting untuk terus dieksplorasi dan disosialisasikan secara luas. Pemikirannya tentang filsafat Islam, misalnya, menarik karena tidak hanya sebatas wacana teoretis, melainkan juga dikembangkan dalam kerangka kontribusi nyata. Ia misalnya menulis, “...meskipun manifestasi lahiriah agama-agama itu memiliki perbedaan-perbedaan, pada dasarnya akar atau sumbernya itu sesungguhnya sama” (112). Pemikiran semacam ini lahir dari latar belakang HB yang menekuni filsafat Islam.
Pokok-pokok pikiran Haidar Bagir di buku ini merupakan penegasan agar agama dipahami secara dinamis-kontekstual agar sesuai dengan dinamika perkembangan zaman. Haidar Bagir tampaknya berusaha secara serius untuk menawarkan pendekatan rasional dalam memahami agama, meskipun juga tetap mengapresiasi intuisi. Secara jelas ia menyatakan bahwa ia tidak bisa mengendalikan operasi intuisi, namun ia yakin bahwa, “...aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran selama aku menjaga objektivitas dan keikhlasanku” (xiv).
Menyimak catatan demi catatan di buku ini bisa dipahami bahwa Haidar Bagir adalah seorang pemikir agama yang kritis. Cara beragamanya pun demikian. Pada sisi yang berbeda, Haidar Bagir juga memberikan apresiasi konstruktif terhadap tasawuf. Implikasinya, meskipun kritis, pemikirannya bermuara pada bagaimana seorang hamba memiliki hubungan yang dekat dengan Allah.

Parakan Trenggalek, 13-10-2017

WA 081311124546

8 komentar:

  1. 'Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau'. Saling meng-kafir-kan sesama muslim.
    Ini kan memang sesuai dengan kenyataan yg sedang terjadi. Terus demonstrasi saat buku ini dibedah, kok bikin geleng-geleng kepala sambil tersenyum nyengir. Hehehehe

    BalasHapus
  2. Pola pikir berbeda hal yang biasa, tapi kalau sampai mengkafirkan sesama muslim sungguh miris, umumnya pembaca mengedepankan sifat emosionalnya drpd cara berpikir kearah sejuk dan damai

    BalasHapus
  3. Bisa dipahami karena beliau udah dicap Syiah sedari awal. Jadi pemirsa langsung timbul rasa curiga.

    Kebetulan sy beli buku ini, cuma belum khatam bacanya. Hehe.. Jujur sy sepakat dgn ulasan diatas. Bahasa bukunya emang ada yg pake bahasa 'pasaran', tapi ke belakang buanyak istilah2 aneh dgn nuansa alam kefilsafatan dan tasawuf yg begitu dalam. Nge-blend semua lah pokoknya. Ajib...

    BalasHapus
  4. sepertinya buku yang menarik untuk dibaca pak..
    saya belum membacanya, namun saya jadi tertarik setelah membaca ulasan yang bapak tulis..
    saya sendiri juga seorang pluralisme, yang cinta akan kedamaian..

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.