Penulis Trenggalek Bertutur tentang Trenggalek

Oktober 03, 2017


Judul Buku: Trenggalek Pada Suatu Pagi
Penulis: Misbahus Surur
Penerbit: Akademia Pustaka Tulungagung
Edisi: 2017
Tebal: viii+236 halaman
ISBN: 9786026706065

Oleh Ngainun Naim

Nama Trenggalek tetiba mencuat secara nasional. Terpilihnya Bupati Dr. Emil Elestianto dan Wakil Bupati Muhammad Nur Arifin menjadi salah satu faktornya. Keduanya masih muda. Bahkan sangat muda.
Tentu bukan hanya karena hal itu Trenggalek kini mulai diperhitungkan. Kinerja kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati yang cukup progresif saya kira faktor lain yang memegang peranan penting.
Periode kepemimpinannya masih belum lama. Saya kira dibutuhkan kesabaran menunggu sampai cukup waktu untuk menilai secara komprehensif capaian yang telah diraih.
Satu hal yang saya kira perlu ditingkatkan lagi adalah budaya literasi. Kinerja pegiat literasi sejauh ini sudah menggembirakan. Tetapi dibandingkan dengan daerah lain, Trenggalek memang harus berbenah agar dunia literasi semakin semarak lagi.
Spirit literasi di Trenggalek beberapa tahun terakhir cukup menggembirakan. Ada beberapa hal yang menjadi indikasinya.
Pertama, berkembangnya perpustakaan dan taman baca masyarakat. Perpustakaan juga terus melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan minat baca masyarakat.
Jika Anda datang ke Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah yang ada di Jl. Yos Sudarso 14 (persis timur Kantor Kecamatan Trenggalek) maka Anda bisa membaca ribuan buku di dalamnya. Kondisi ini tentu sudah jauh lebih baik meskipun belum ideal.
Mobil pustaka juga hadir di tempat-tempat strategis pada hari minggu. Datanglah ke Alun-Alun, Huko atau Stadion. Di sana Anda akan menemukan mobil pustaka yang melayani masyarakat untuk membaca.
Gairah literasi juga bisa diamati dari tumbuh suburnya Taman Baca Masyarakat (TBM). Saya belum punya data validnya. Tetapi saya yakin jumlahnya semakin banyak.
Dari bulan Juli sampai Akhir Agustus 2017 IAIN Tulungagung melaksanakan KKN di dua kecamatan, yaitu Pule dan Panggul. Salah satu program yang didirikan, disemai dan dirawat adalah TBM.
Anda bisa mengunjungi TBM-TBM tersebut misalnya di Kecamatan Pule ada di Desa Pakel, Sukokidul dan Jombok. Di Panggul Anda bisa menemukan TBM di Desa Ngrencak, Sawahan dan Manggis.
Meskipun masih harus terus diperjuangkan, penanda awal ini menancapkan optimisme terhadap budaya literasi di Trenggalek.
Kedua, Trenggalek sesungguhnya kaya dengan penulis. Karya mereka tersebar di banyak media. Ada dalam bentuk buku atau artikel di media cetak dan internet.
Pada catatan ini saya tidak akan mengulas semua penulis Trenggalek. Saya hanya akan mengambil tiga nama sebagai sampel acak. Jika memungkinkan, suatu saat ada riset khusus untuk membuat ensiklopedi para penulis Trenggalek. Kayak ensiklopedi besutan Korrie Layun Rampan.
Salah satu penulis yang saya kenal adalah Nurani Soyomukti. Komisioner KPU ini dulu cukup produktif menghasilkan buku. Kini ia aktif menginiasi banyak kelompok untuk aktif berkarya. Pegiat literasi ini berkontribusi penting mengenalkan gairah dan gerakan literasi Trenggalek.
Nama lain yang penting disebut adalah Puji Wirawan, seorang guru di sebuah sekolah di Jombok Pule. Ia sendiri sarjana bahasa Inggris, tetapi cinta mati terhadap sastra Jawa. Karyanya berupa Crita Cekak kerap nongol di Majalah Jaya Baya. Kumpulan Cerkak karyanya, setahu saya, sudah dua yang dibukukan. Profilnya pernah dimuat Jawa Pos Radar Trenggalek.
Nama lain yang penting ditulis adalah Misbahus Surur. Pemuda asal Blok M (Blok Munjungan) yang pada 10 September 2017 mengakhiri masa lajang adalah dosen UIN Maliki Malang. Ia juga esais handal dan pengulas buku berkelas. Ketik saja Misbahus Surur di google maka akan anda dapatkan data melimpah.
Menjelang pernikahannya, Surur menerbitkan buku kumpulan esainya. Judulnya Trenggalek Pada Suatu Pagi (Tulungagung: Akademia Pustaka, 2017). Buku ini unik dan sangat berbobot. Saya menilai buku ini seharusnya dibaca secara luas oleh masyarakat Trenggalek agar diperoleh perspektif baru dan mencerahkan.
Saya cukup menikmati buku karya Misbahus Surur ini. Bagian demi bagian saya baca secara tuntas.
Pada bagian awal Surur menjelaskan tentang Trenggalek dari beberapa perspektif. Perspektif sejarah tampak cukup dominan menghiasi bagian buku ini. Meskipun tidak belajar sejarah secara formal (S-1 dan S-2 Surur Bahasa dan Sastra Arab), pengetahuan teoretis dan aplikasinya dalam riset sejarah cukup tangguh.
Penulis muda dari Munjungan ini berhasil menjelaskan secara apik geneologis nama Trenggalek. Pada tulisan yang berjudul "Trenggalek Kota Pertahanan" (hal. 9-12), Surur menelusuri dimensi etimologis hingga historis Trenggalek. Tulisan Surur ini sangat penting karena saya yakin banyak warga Trenggalek sendiri yang belum mengetahuinya. Paparan Surur tentang bagaimana upaya merubah nama Trenggalek menjadi Trenggalih juga penting untuk disimak. Hal ini dipertegas pada tulisan berikutnya, "Tiga Tokoh Hebat yang Mengubah Kota Trenggalek" (hal. 13-26).
Trenggalek memiliki jejak sejarah yang cukup panjang dan dinamis. Sebutan Trenggalek sendiri dalam konteks sosiologis-geografis menjadikan kota ini sebagai kota buntu yang tidak terhubung secara strategis dengan kota-kota yang lainnya. Justru karena itulah Surur menegaskan bahwa Trenggalek seharusnya, "...pandai mengkreasi diri, namun tetap mengacu kepada karakter yang ada" (hal. 3).
Misbahus Surur merupakan warga asli Trenggalek. Ia begitu mencintai kabupaten yang acapkali dinilai kurang apresiatif ini, khususnya di masa lalu. Tapi caranya mencintai berbeda, unik dan khas.
Ia mencintai Trenggalek dengan tulus tapi kritis. Tulus karena ia tidak ingin Trenggalek meluncur dalam lubang kemunduran. Karenanya ia kritis, termasuk pada duet Mas Emil dan Mas Ipin.
Hal itu terlihat secara jelas pada seluruh isi buku yang dirakit secara serius ini. Surur tidak berangkat dari asumsi. Ia berangkat dari data-data valid dan riset serius yang kemudian dibingkai dengan rajutan teori.
Pada tulisan "Desa Menganyam Kota", Surur berangkat dari pengalaman masa kecilnya yang suka bermain di sawah di daerah asalnya, Munjungan. Pengamatannya terhadap tanaman tumpang sari di "galengan" menjadi pijakan analisis makna da  konteksnya.Pada tulisan ini ia juga menemukan peran besar kaum perempuan. Dua hal ini disebutnya sebagai bagian dari kearifan lokal. Wajar jika melihat realitas sekarang ia menjadi galau. "...yang dalam beberapa tahun ke depan, siapa yang bisa menjamin akan terus terpelihara" (h. 43).
Kearifan lokal menjadi topik yang dibahas secara serius. Pada banyak bagian ia menegaskan agar pembangunan yang berjalan tidak tercerabut dari kearifan lokal. Fokus pembangunan pada aspek fisik-material menjadikan abai terhadap manusianya. Justru pola semacam ini bisa memunculkan budaya hedonis-pragmatis-destruktif sebagai efek serius pembangunan.

Trenggalek, 15 September 2017

3 komentar:

  1. Dalam hal apapun mencintai dengan tulus memang beda dengan cinta palsu, semoga Trenggalek makin maju sesuai keinginan penulis Misbahus Surur dan warga lainnya

    BalasHapus
  2. Dimana ya bisa mendapatkan bukunya ms Misbahus Surur?

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.