Aku, Buku dan Membaca

Juni 12, 2018


Oleh Ngainun Naim

Tradisi membaca tidak tumbuh begitu saja pada diri seseorang. Pada kata tradisi terkandung adanya usaha untuk melakukan sebuah kegiatan secara terus-menerus. Saat kegiatan itu dihentikan berarti kata tradisi sudah kurang tepat untuk digunakan.
Proses tumbuh dan berkembangnya tradisi membaca pada setiap orang bersifat unik. Ada yang karena sudah tumbuh di lingkungan keluarga, karena teman, karena lingkungan sekolah, atau karena kebetulan. Semuanya serba mungkin. Aspek semacam inilah yang terekam dalam buku dengan judul Aku, Buku dan Membaca.
Buku yang kebetulan saya edit ini memuat catatan 84 orang penulis. Karena penulisnya sangat banyak, buku ini pun cukup tebal. Ya, ketebalan buku ini sekitar 450 halaman. Anda bisa membayangkan seperti apa ketebalan buku ini.
Saya cukup menikmati catatan demi catatan para penulis di buku ini. Mereka berasal dari berbagai wilayah. Tidak hanya dari Indonesia, tetapi ada juga yang dari luar negeri, meskipun mereka adalah warga negara Indonesia juga. Perspektif yang dihadirkan para penulisnya sangat beragam, meskipun muaranya pada kata “buku” dan “membaca”.
Saya ambil satu contoh adalah tulisan Dr. Agus Hermanto, seorang dosen dari UIN Raden Intan Lampung. Tulisan yang berjudul “Dari Hobi Menuju Profesi: Mengoleksi, Membaca dan Menulis” bertutur tentang perjalanan hidup penulisnya dalam menggeluti dunia buku. Agus berkisah bahwa pada awalnya ia memiliki hobi mengoleksi buku, khususnya novel. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah buku yang dimiliki, minat membacanya tumbuh. Minat menulis terdorong oleh dinamika hidup saat ia tinggal di pesantren. Awalnya ia menulis catatan perjalanan hidup, lalu berkembang ke menulis artikel di berbagai jurnal ilmiah dan buku. Kisah Agus Hermanto mendedahkan trilogi yang unik; mengoleksi—membaca—menulis. Ketiganya telah berpadu menjadi rangkaian yang sinergis.
Simak juga bagaimana Marintha Violeta—seorangSaudi Private Nurse di Jeddah—berkisah tentang bagaimana buku dan bipolar disorder. Kisahnya sungguh mengharu-biru. Marintha menuturkan tentang bagaimana buku telah memberinya energi hidup di tengah persoalan personal yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi diurai. Lewat buku ia menerapi penyakit yang menghinggapinya.
Maka sejak itu, ketika bangun tidur, kupaksakan diri untuk membaca, dengan memastikan menengok sekitar saat pergantian ‘bab’, agar tak terlalu lepas dengan dunia nyata. Ternyata tak hanya memperbaiki perasaan dan menghilangkan stres, menurut penelitian juga, membaca dapat menjaga keremajaan otak dan mencegah penyakit Alzheimer. Bahkan aku mampu merasakan perbedaan drastis dalam berempati pada orang lain, mendorong tujuan hidup yang memungkinkanku melakukan aksi nyata, melawan ketakutan misalnya, dan pula mencerahkan hari ketika buku tersebut sarat motivasi. Mood swing berhasil teratasi!

Membaca kisah dialektika Marintha Violeta dengan dunia buku membuat saya menemukan perspektif baru yang menggugah. Ya, membaca tidak hanya membuat kita beda. Membaca ternyata memberikan efek dahsyat jika dilakukan sepenuh hati. Marintha Violeta telah membuktikannya.
Dunia jejaring sosial yang kini hingar bingar ternyata juga menjadi daya dorong seseorang untuk menulis. Tetapi ada hal yang seharusnya dimiliki sebagai basisnya, yaitu membaca. Membaca secara tekun memungkinkan seseorang menulis yang tidak asal tulis. Menulis di facebook misalnya, jika dilandasi oleh budaya membaca, akan menghasilkan status yang lebay.
Kisah hidup Musytarif Muhammad yang tertuang dalam judul “Jalan Setapak Motivasi Literasi” memberikan kritik unik terhadap lemahnya daya beli dan daya baca mahasiswa. Bagi Musytarif, memiliki buku adalah amunisi yang ampuh untuk bisa menulis. Di tengah suburnya budaya fotokopi mahasiswa, Musytarif mengambil langkah anti-mainstream. Ia mewajibkan dirinya membeli buku, bukan memfotokopi. “Sarjana fotokopi, seolah menjadi cambuk tersendiri bagi saya untuk meninggalkan kegemaran memfotokopi buku, baik sebagian atau keseluruhannya”, tuturnya.
Rinto H. Hutapea, dosen STAKN Kupang menulis judul yang cukup heroik ala judul lagu dangdut, “Jatuh Bangun Aku Mengejar Buku”. Isi catatannya sungguh menggugah. Kisah Rinto dapat dijadikan sebagai model bagi mereka yang ingin memiliki buku, membaca dan menulis. Jatuh bangun dalam aktivitas membaca dan menulis ia alami.
Kisah demi kisah di buku ini sungguh menarik. Mohon maaf saya tidak bisa menuturkan semuanya. Terlalu banyak. Bayangkan, ada 84 judul. Setidaknya beberapa contoh di tulisan ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menekuni dunia literasi.

Tulungagung, 12 Juni 18

4 komentar:

  1. Kalau tradisi membaca saya, mungkin tumbuh karena kebetulan, pak. Hehehe.
    Memang, dengan membaca banyak membawa manfaat. Saya sendiri sampai bisa menerbitkan buku karya juga awalnya gemar membaca.

    BalasHapus
  2. Soal kebetulan atau tidak itu soal yang tidak penting lagi ketika tradisi membaca sudah terbangun. Selamat ya mas atas terbitnya karya

    BalasHapus
  3. tradisi membaca saya merupakan warisan dari bapak saya...hehehhe...maka kini saya sedang berusaha mewariskannya pyla pada anak saya.... di tengah arus kuat penggunaan gadget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju banget Bu. Kita harus mewariskan kepada anak-anak kita di tengah arus gadget yang begitu mewabah.

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.