Aku, Buku dan Membaca
Oleh Ngainun Naim
Tradisi membaca tidak tumbuh
begitu saja pada diri seseorang. Pada kata tradisi terkandung adanya usaha
untuk melakukan sebuah kegiatan secara terus-menerus. Saat kegiatan itu
dihentikan berarti kata tradisi sudah kurang tepat untuk digunakan.
Proses tumbuh dan
berkembangnya tradisi membaca pada setiap orang bersifat unik. Ada yang karena
sudah tumbuh di lingkungan keluarga, karena teman, karena lingkungan sekolah,
atau karena kebetulan. Semuanya serba mungkin. Aspek semacam inilah yang terekam
dalam buku dengan judul Aku, Buku dan Membaca.
Buku yang kebetulan saya edit
ini memuat catatan 84 orang penulis. Karena penulisnya sangat banyak, buku ini
pun cukup tebal. Ya, ketebalan buku ini sekitar 450 halaman. Anda bisa membayangkan
seperti apa ketebalan buku ini.
Saya cukup menikmati catatan
demi catatan para penulis di buku ini. Mereka berasal dari berbagai wilayah. Tidak
hanya dari Indonesia, tetapi ada juga yang dari luar negeri, meskipun mereka
adalah warga negara Indonesia juga. Perspektif yang dihadirkan para penulisnya
sangat beragam, meskipun muaranya pada kata “buku” dan “membaca”.
Saya ambil satu contoh adalah
tulisan Dr. Agus Hermanto, seorang dosen dari UIN Raden Intan Lampung. Tulisan yang
berjudul “Dari Hobi Menuju Profesi: Mengoleksi, Membaca dan Menulis” bertutur
tentang perjalanan hidup penulisnya dalam menggeluti dunia buku. Agus berkisah
bahwa pada awalnya ia memiliki hobi mengoleksi buku, khususnya novel. Seiring dengan
semakin banyaknya jumlah buku yang dimiliki, minat membacanya tumbuh. Minat menulis
terdorong oleh dinamika hidup saat ia tinggal di pesantren. Awalnya ia menulis
catatan perjalanan hidup, lalu berkembang ke menulis artikel di berbagai jurnal
ilmiah dan buku. Kisah Agus Hermanto mendedahkan trilogi yang unik; mengoleksi—membaca—menulis.
Ketiganya telah berpadu menjadi rangkaian yang sinergis.
Simak juga bagaimana Marintha
Violeta—seorangSaudi Private Nurse di Jeddah—berkisah tentang bagaimana buku
dan bipolar disorder. Kisahnya sungguh mengharu-biru. Marintha
menuturkan tentang bagaimana buku telah memberinya energi hidup di tengah
persoalan personal yang tidak mudah untuk dipahami, apalagi diurai. Lewat buku
ia menerapi penyakit yang menghinggapinya.
Maka sejak itu, ketika
bangun tidur, kupaksakan diri untuk membaca, dengan memastikan menengok sekitar
saat pergantian ‘bab’, agar tak terlalu lepas dengan dunia nyata. Ternyata tak
hanya memperbaiki perasaan dan menghilangkan stres, menurut penelitian juga,
membaca dapat menjaga keremajaan otak dan mencegah penyakit Alzheimer. Bahkan aku
mampu merasakan perbedaan drastis dalam berempati pada orang lain, mendorong
tujuan hidup yang memungkinkanku melakukan aksi nyata, melawan ketakutan
misalnya, dan pula mencerahkan hari ketika buku tersebut sarat motivasi. Mood
swing berhasil teratasi!
Membaca kisah dialektika
Marintha Violeta dengan dunia buku membuat saya menemukan perspektif baru yang
menggugah. Ya, membaca tidak hanya membuat kita beda. Membaca ternyata
memberikan efek dahsyat jika dilakukan sepenuh hati. Marintha Violeta telah
membuktikannya.
Dunia jejaring sosial yang
kini hingar bingar ternyata juga menjadi daya dorong seseorang untuk menulis. Tetapi
ada hal yang seharusnya dimiliki sebagai basisnya, yaitu membaca. Membaca secara
tekun memungkinkan seseorang menulis yang tidak asal tulis. Menulis di facebook
misalnya, jika dilandasi oleh budaya membaca, akan menghasilkan status yang
lebay.
Kisah hidup Musytarif Muhammad
yang tertuang dalam judul “Jalan Setapak Motivasi Literasi” memberikan kritik
unik terhadap lemahnya daya beli dan daya baca mahasiswa. Bagi Musytarif,
memiliki buku adalah amunisi yang ampuh untuk bisa menulis. Di tengah suburnya
budaya fotokopi mahasiswa, Musytarif mengambil langkah anti-mainstream. Ia
mewajibkan dirinya membeli buku, bukan memfotokopi. “Sarjana fotokopi, seolah
menjadi cambuk tersendiri bagi saya untuk meninggalkan kegemaran memfotokopi
buku, baik sebagian atau keseluruhannya”, tuturnya.
Rinto H. Hutapea, dosen STAKN
Kupang menulis judul yang cukup heroik ala judul lagu dangdut, “Jatuh Bangun Aku
Mengejar Buku”. Isi catatannya sungguh menggugah. Kisah Rinto dapat dijadikan
sebagai model bagi mereka yang ingin memiliki buku, membaca dan menulis. Jatuh bangun
dalam aktivitas membaca dan menulis ia alami.
Kisah demi kisah di buku ini
sungguh menarik. Mohon maaf saya tidak bisa menuturkan semuanya. Terlalu banyak.
Bayangkan, ada 84 judul. Setidaknya beberapa contoh di tulisan ini dapat
dijadikan sebagai inspirasi untuk menekuni dunia literasi.
Tulungagung, 12 Juni 18
Kalau tradisi membaca saya, mungkin tumbuh karena kebetulan, pak. Hehehe.
BalasHapusMemang, dengan membaca banyak membawa manfaat. Saya sendiri sampai bisa menerbitkan buku karya juga awalnya gemar membaca.
Soal kebetulan atau tidak itu soal yang tidak penting lagi ketika tradisi membaca sudah terbangun. Selamat ya mas atas terbitnya karya
BalasHapustradisi membaca saya merupakan warisan dari bapak saya...hehehhe...maka kini saya sedang berusaha mewariskannya pyla pada anak saya.... di tengah arus kuat penggunaan gadget
BalasHapusSetuju banget Bu. Kita harus mewariskan kepada anak-anak kita di tengah arus gadget yang begitu mewabah.
Hapus