Pesantren, Tradisi Keilmuan dan Basis Spiritualitas
Oleh
Ngainun Naim
Pendidikan pesantren diberikan oleh
seorang ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangan ilmunya
telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan demikian
autentisitas sanad (mata rantai) keilmuwannya menjadi jelas, sehingga
pemahamannya dapat dipertanggungjawabkan (Said Aqil Siradj dan Mamang Muhammad
Haerudin, 2015: 82).
Pesantren
adalah dunia unik. Sebuah dunia yang memiliki karakteristik khas. Tidak ada
lembaga lain yang memiliki keunikan sebagaimana tempat kaum sarungan ini
menghabiskan hari-harinya.
Eksistensi
dunia pesantren sesungguhnya sudah sangat lama. Terdapat perbedaan pendapat
tentang kapan pesantren mulai ada dan mewarnai kehidupan umat Islam Indonesia.
Ada yang menyebut bersamaan dengan datangnya Islam, ada yang menyebut datang
beberapa saat setelahnya, dan ada yang menyebut kemunculannya jauh sesudah
Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Bagi
saya tidak penting lagi memperdebatkan persoalan ini. Biarlah ini menjadi bahan
perdebatan mereka yang ahli. Aspek yang ingin saya tulis di bagian ini adalah
tentang tradisi keilmuan pesantren.
Tradisi
keilmuan pesantren sungguh unik. Metode pembelajarannya sederhana. Tidak banyak
berubah seiring dinamika perkembangan zaman. Sarana dan sarananya juga
sederhana. Tetapi kesederhanaan yang ada tidak berarti hasilnya sederhana.
Realitas menunjukkan bahwa kesederhanaan pesantren adalah modal yang sangat
besar bagi proses keberhasilan para santri untuk menapaki kehidupan setelah
keluar dari dunia pesantren.
Saya
kira siapa pun yang pernah mondok merasakan kesederhanaan ini. Tidak hanya
dalam sarana dan pembelajaran, tetapi juga dalam hidup sehari-hari.
Bertahun-tahun hidup di pondok menjadi modal penting dalam banyak aspek
kehidupan, khususnya tradisi keilmuan.
Keilmuan
yang terbangun di pesantren tidak hanya berdasarkan pertimbangan rasional
semata. Ada dimensi spiritual yang mengiringi. Pinter itu penting. Rajin
belajar itu harus. Tetapi tirakat dengan rajin shalat jamaah, shalat malam,
ngaji Al-Quran, dan berbagai olah spiritual lainnya harus juga dilakukan dengan
serius. Hasilnya, tradisi keilmuan di pesantren berjalan secara seimbang antara
ilmu yang dikuasai dan karaktrer yang dimiliki.
Saya
masih ingat persis saat menjadi santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif
Denanyar Jombang (1991-1994), sangat banyak teman-teman yang gigih belajar.
Semangat belajar kawan-kawan saya sungguh luar biasa. Serambi masjid, halaman
belakang asrama, dan sawah di sisi barat pesantren adalah medan belajar yang
luar biasa. Tidak jarang saya menemukan seorang kawan yang terkantuk-kantuk
sambil pegang buku di banyak tempat. Mereka baru tergagap bangun saat buku yang
dipegang terjatuh.
Selain
gigih belajar, mereka juga gigih olah spiritual. Sungguh suatu pelajaran yang
luar biasa. Rajin belajar menjadi tradisi yang harus terus dijaga, sementara
ikhtiar agar ilmu yang diperoleh juga harus terus dirawat. Implikasi dari
proses pembelajaran di pesantren adalah tradisi keilmuan unik yang tidak
dimiliki oleh tradisi keilmuan yang lainnya atau institusi pendidikan yang
lainnya.
Tentu
tidak semua santri semacam itu. Ada juga yang tidak belajar secara serius.
Belajar baru dilakukan saat menjelang ujian. Namun demikian tinggal di
pesantren dengan spirit belajar yang positif biasanya memberikan pengaruh
kepada sesama santri untuk ikut dalam arus belajar yang ada.
Jika
ingat saat mondok, rasanya ada begitu banyak hal yang seharusnya saya lakukan. Saat
itu saya jauh dari kata rajin dalam belajar. Saya baru belajar saat dibutuhkan.
Misalnya menjelang ujian. Semangat dan tradisi teman-teman, sedikit demi
sedikit, mulai saya ikuti. Meskipun tentu saja masih jauh dari tradisi yang
dimiliki teman-teman, saya berusaha ikut rajin membaca.
Pesantren
juga membuat saya terkondisikan untuk rajin shalat berjamaah. Meskipun jujur
saja, saya sering berusaha menghindari kewajiban ini. Usaha ini tidak jarang
berakhir tragis karena ketahuan pengurus. Tetapi itulah uniknya masa mondok.
Penuh perjuangan dan kisah.
Seorang
kawan yang sangat rajin shalat jamaah menjadi inspirasi hidup sampai sekarang.
Nyaris tidak ada kesempatan shalat jamaah yang terlewat. Perjuangan kerasnya
berbuah manis sekarang ini. Ia menjadi menjadi guru sukses dan sering
mendapatkan kesempatan belajar ke luar negeri. Padahal dulu prestasi sekolahnya
biasa saja. Saya kira itu bisa terjadi karena—antara lain—tradisi belajar dan
basis spiritual yang ia rawat secara istiqamah.
Seorang
kawan lain menjadi legenda hidup hingga sekarang. Ia terkenal sangat disiplin
untuk semua hal yang harus dikerjakan. Jam demi jam ia atur secara cermat. Ia
menjadi santri dengan prestasi terbaik kala itu. Tamat pesantren ia melanjutkan
kuliah dari S-1, S-2 hingga S-3 di Al Azhar Mesir. Buah disiplin yang dijaganya
membuatnya menjadi doktor yang sukses.
Tentu
ada sangat banyak legenda hidup di dunia pesantren. Kesungguhan dan keseriusan
dalam belajar dan olah spiritual menjadi kunci penting sukses hidup setelah
menyelesaikan kehidupan di pesantren. Belajar dengan sungguh-sungguh dan
merawat basis spiritual adalah dua hal penting yang telah diberikan oleh pesantren.
Aspek inilah yang saya kira tidak diajarkan oleh lembaga pendidikan lain.
Kiai
dan guru adalah role model dalam makna yang sesungguhnya. Saya masih
ingat persis bagaimana seorang guru yang memiliki tradisi membaca yang luar
biasa. Hari-harinya dihabiskan dengan menentang setumpuk buku dan kitab kuning.
Saat mengajar, buku-buku itu ditumpuk dimeja. Saat luang, beliau membaca dengan
begitu nikmat.
Kelihatannya
itu fenomena biasa. Tetapi bagi saya, role model itu adalah inspirasi
hidup tak terperi. Muncul keinginan luar biasa untuk meneladani para kiai dan
ustad inspiratif di pesantren. Kini, setelah sekitar 24 tahun kemudian,
inspirasi itu masih menancap kuat.
Tidak ada komentar: