Pesantren, Tradisi Keilmuan dan Basis Spiritualitas

Juni 18, 2018


Oleh Ngainun Naim

Pendidikan pesantren diberikan oleh seorang ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangan ilmunya telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan demikian autentisitas sanad (mata rantai) keilmuwannya menjadi jelas, sehingga pemahamannya dapat dipertanggungjawabkan (Said Aqil Siradj dan Mamang Muhammad Haerudin, 2015: 82).

Pesantren adalah dunia unik. Sebuah dunia yang memiliki karakteristik khas. Tidak ada lembaga lain yang memiliki keunikan sebagaimana tempat kaum sarungan ini menghabiskan hari-harinya.
Eksistensi dunia pesantren sesungguhnya sudah sangat lama. Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan pesantren mulai ada dan mewarnai kehidupan umat Islam Indonesia. Ada yang menyebut bersamaan dengan datangnya Islam, ada yang menyebut datang beberapa saat setelahnya, dan ada yang menyebut kemunculannya jauh sesudah Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Bagi saya tidak penting lagi memperdebatkan persoalan ini. Biarlah ini menjadi bahan perdebatan mereka yang ahli. Aspek yang ingin saya tulis di bagian ini adalah tentang tradisi keilmuan pesantren.
Tradisi keilmuan pesantren sungguh unik. Metode pembelajarannya sederhana. Tidak banyak berubah seiring dinamika perkembangan zaman. Sarana dan sarananya juga sederhana. Tetapi kesederhanaan yang ada tidak berarti hasilnya sederhana. Realitas menunjukkan bahwa kesederhanaan pesantren adalah modal yang sangat besar bagi proses keberhasilan para santri untuk menapaki kehidupan setelah keluar dari dunia pesantren.
Saya kira siapa pun yang pernah mondok merasakan kesederhanaan ini. Tidak hanya dalam sarana dan pembelajaran, tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Bertahun-tahun hidup di pondok menjadi modal penting dalam banyak aspek kehidupan, khususnya tradisi keilmuan.
Keilmuan yang terbangun di pesantren tidak hanya berdasarkan pertimbangan rasional semata. Ada dimensi spiritual yang mengiringi. Pinter itu penting. Rajin belajar itu harus. Tetapi tirakat dengan rajin shalat jamaah, shalat malam, ngaji Al-Quran, dan berbagai olah spiritual lainnya harus juga dilakukan dengan serius. Hasilnya, tradisi keilmuan di pesantren berjalan secara seimbang antara ilmu yang dikuasai dan karaktrer yang dimiliki.
Saya masih ingat persis saat menjadi santri di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang (1991-1994), sangat banyak teman-teman yang gigih belajar. Semangat belajar kawan-kawan saya sungguh luar biasa. Serambi masjid, halaman belakang asrama, dan sawah di sisi barat pesantren adalah medan belajar yang luar biasa. Tidak jarang saya menemukan seorang kawan yang terkantuk-kantuk sambil pegang buku di banyak tempat. Mereka baru tergagap bangun saat buku yang dipegang terjatuh. 
Selain gigih belajar, mereka juga gigih olah spiritual. Sungguh suatu pelajaran yang luar biasa. Rajin belajar menjadi tradisi yang harus terus dijaga, sementara ikhtiar agar ilmu yang diperoleh juga harus terus dirawat. Implikasi dari proses pembelajaran di pesantren adalah tradisi keilmuan unik yang tidak dimiliki oleh tradisi keilmuan yang lainnya atau institusi pendidikan yang lainnya.
Tentu tidak semua santri semacam itu. Ada juga yang tidak belajar secara serius. Belajar baru dilakukan saat menjelang ujian. Namun demikian tinggal di pesantren dengan spirit belajar yang positif biasanya memberikan pengaruh kepada sesama santri untuk ikut dalam arus belajar yang ada.
Jika ingat saat mondok, rasanya ada begitu banyak hal yang seharusnya saya lakukan. Saat itu saya jauh dari kata rajin dalam belajar. Saya baru belajar saat dibutuhkan. Misalnya menjelang ujian. Semangat dan tradisi teman-teman, sedikit demi sedikit, mulai saya ikuti. Meskipun tentu saja masih jauh dari tradisi yang dimiliki teman-teman, saya berusaha ikut rajin membaca.
Pesantren juga membuat saya terkondisikan untuk rajin shalat berjamaah. Meskipun jujur saja, saya sering berusaha menghindari kewajiban ini. Usaha ini tidak jarang berakhir tragis karena ketahuan pengurus. Tetapi itulah uniknya masa mondok. Penuh perjuangan dan kisah.
Seorang kawan yang sangat rajin shalat jamaah menjadi inspirasi hidup sampai sekarang. Nyaris tidak ada kesempatan shalat jamaah yang terlewat. Perjuangan kerasnya berbuah manis sekarang ini. Ia menjadi menjadi guru sukses dan sering mendapatkan kesempatan belajar ke luar negeri. Padahal dulu prestasi sekolahnya biasa saja. Saya kira itu bisa terjadi karena—antara lain—tradisi belajar dan basis spiritual yang ia rawat secara istiqamah.
Seorang kawan lain menjadi legenda hidup hingga sekarang. Ia terkenal sangat disiplin untuk semua hal yang harus dikerjakan. Jam demi jam ia atur secara cermat. Ia menjadi santri dengan prestasi terbaik kala itu. Tamat pesantren ia melanjutkan kuliah dari S-1, S-2 hingga S-3 di Al Azhar Mesir. Buah disiplin yang dijaganya membuatnya menjadi doktor yang sukses.
Tentu ada sangat banyak legenda hidup di dunia pesantren. Kesungguhan dan keseriusan dalam belajar dan olah spiritual menjadi kunci penting sukses hidup setelah menyelesaikan kehidupan di pesantren. Belajar dengan sungguh-sungguh dan merawat basis spiritual adalah dua hal penting yang telah diberikan oleh pesantren. Aspek inilah yang saya kira tidak diajarkan oleh lembaga pendidikan lain.
Kiai dan guru adalah role model dalam makna yang sesungguhnya. Saya masih ingat persis bagaimana seorang guru yang memiliki tradisi membaca yang luar biasa. Hari-harinya dihabiskan dengan menentang setumpuk buku dan kitab kuning. Saat mengajar, buku-buku itu ditumpuk dimeja. Saat luang, beliau membaca dengan begitu nikmat.
Kelihatannya itu fenomena biasa. Tetapi bagi saya, role model itu adalah inspirasi hidup tak terperi. Muncul keinginan luar biasa untuk meneladani para kiai dan ustad inspiratif di pesantren. Kini, setelah sekitar 24 tahun kemudian, inspirasi itu masih menancap kuat.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.