GURU, BUDAYA LITERASI DAN KEMAJUAN KEHIDUPAN
Oleh Ngainun Naim
naimmas22@gmail.com
Pendahuluan
Literasi sekarang ini semakin sering disosialisasikan
lewat berbagai media. Ada keyakinan yang kuat bahwa literasi adalah kunci
kemajuan sebuah bangsa.[1] Berdasarkan asumsi ini maka
literasi harus menjadi budaya jika bangsa Indonesia ingin maju. Tanpa budaya
literasi, kemajuan rasanya berat untuk diwujudkan.
Individu yang maju hidupnya secara umum memiliki
budaya literasi yang kokoh. Begitu juga dengan negara yang maju. Suparto Brata,
sastrawan Jawa yang beberapa kali memperoleh Hadiah Rancage memberikan contoh
negara Inggris yang maju berkat gagasan-gagasan masyarakatnya yang cemerlang.
Padahal Inggris—dan negara maju lainnya—tidak memiliki sumber daya alam
melimpah. Gagasan cemerlang diperoleh karena orang Inggris rajin membaca dan
menulis. Keyakinan Suparto Brata ini bukan hanya berbasis asumsi semata, melainkan
didukung oleh data-data empiris dan juga pengalaman personalnya.[2]
Ada banyak lagi contoh pengaruh positif literasi terhadap
kehidupan. Proses membaca dan menulis sesungguhnya bukan sekadar kegiatan
menyerap pengetahuan, tetapi juga bagaimana mereproduksi dan merekonstruksinya
sesuai konteks tertentu. Jika ini mampu dilakukan maka transformasi—individu
atau sosial—bisa berlangsung secara maksimal sesuai dengan harapan.
Pengaruh literasi juga sangat kuat. Salah satu
kegiatan literasi, yaitu menulis, memiliki pengaruh sangat luas
dan lebih awet dibandingkan ucapan. Karya tulis bisa dibaca oleh masyarakat
luas dalam rentang waktu yang lama, sementara ucapan lisan hanya diketahui
dalam skala yang terbatas. Misalnya kita mendengarkan ceramah, maka hanya
hadirin yang ada di tempat ceramah itu saja yang tahu, sementara mereka yang
berada di lain tempat tidak mengetahuinya. Selain itu, apa yang dibicarakan
dalam forum ceramah itu akan hilang begitu saja ketika acara usai. Sementara
tulisan, sepanjang bentuk fisiknya masih ada, masih dapat dibaca, ditelaah, dan
terus dikaji sepanjang masa.
Kita bisa belajar kepada para penulis besar dunia Islam. Salah
satu contohnya adalah Imam Al-Ghazali. Kita semua tidak ada yang tahu secara
pasti mengenai Al-Ghazali dan kehidupannya. Kita semua juga tidak ada yang berkenalan
secara fisik dengan beliau. Beliau hidup di masa yang jauh sekali dengan kita,
karena beliau telah meninggal dunia pada tahun 1111 M. Jadi, rentang waktunya
memang sangat jauh dari kita. Tetapi nama Imam Al-Ghazali dan pemikirannya
masih memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan umat Islam sampai sekarang
ini karena—salah satu sebabnya—beliau meninggalkan karya tulis yang berlimpah.
Karya tulis yang dihasilkan oleh Imam Al-Ghazali sangat bermutu. “Dia patut
dianggap sebagai ulama-intelektual raksasa, bahkan oleh gurunya sendiri”.[3]
Mungkin menyebut nama Imam al-Ghazali terlalu besar dan
terlalu jauh dari konteks kita sekarang ini. Kalau dalam konteks sekarang,
mungkin bisa kita sebut nama novelis yang cukup terkenal, yaitu Andrea Hirata. Salah
satu novel karyanya yang fenomenal, Laskar
Pelangi, telah membius ratusan ribu pembaca Indonesia. Tidak hanya itu,
novel tersebut ternyata memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan banyak
orang. Inspirasi dari novel Laskar
Pelangi ternyata tidak sebatas menghibur pembaca saja, tetapi juga mengubah
kehidupan orang-orang dari berbagai latar belakang.[4]
Selain Andrea Hirata, tentu ada banyak lagi tokoh yang
menebarkan pengaruh kepada masyarakat dalam skala luas karena karya-karya
mereka. Sebenarnya bukan persoalan besar atau kecilnya pengaruh, tetapi yang
lebih penting adalah mau dan mampu menulis sehingga tulisan yang dihasilkan dapat
dibaca oleh banyak orang. Pengaruh itu sendiri sifatnya relatif dan tidak
jarang di luar dugaan penulisnya.
Guru dan Budaya Menulis
Peran penting guru saya kira tidak perlu untuk
diperdebatkan lagi. Semua pihak mengakui bahwa guru itu peranannya sangat
penting dalam dunia pendidikan. Tanpa guru, mustahil kita bisa berada di sini.
Pada titik inilah saya kira apresiasi dan ucapan terima kasih harus kita
berikan secara tulus kepada Bapak dan Ibu guru yang telah mendidik dan
membimbing kita semua.
Namun demikian bukan berarti guru sudah sempurna dalam
menjalankan tugasnya. Guru harus menyadari bahwa tugasnya tidak ringan. Dibutuhkan
berbagai upaya agar guru bisa menjalankan tugasnya secara lebih maksimal. Jika
ini mampu dilakukan maka kemajuan hidup masyarakat secara luas akan dapat
terwujud.
Salah satu hal penting yang saya kira seharusnya
dipikirkan oleh guru adalah membangun budaya literasi. Di era sekarang ini guru
idealnya memikirkan strategi transformasi secara lebih luas. Pembelajaran di
kelas memang diyakini sebagai media paling efektif dalam menyebarkan
pengetahuan, wawasan, sikap dan keterampilan hidup. Persoalannya bukan pada
pembelajaran itu sendiri, tetapi pada strategi implementasinya sesuai dengan
konteks zaman. Pola-pola pembelajaran lama tidak bisa lagi dipatenkan tanpa
perubahan. Dibutuhkan keberanian untuk menghadirkan perspektif baru yang
memperkaya terhadap model dan pola lama.
Literasi adalah pilihan yang cukup efektif untuk
dikembangkan. Lewat menulis, ide-ide dan gagasan seorang guru dapat tersalurkan
secara luas dan lebih awet. Menulis seharusnya menjadi aktivitas yang
menyenangkan bagi guru. Hal-hal penting—berupa pengetahuan, pengalaman atau
pemikiran—dalam hidup seorang guru dapat direkam lewat tulisan. Aspek ini
penting untuk direnungkan bersama karena dalam realitasnya tidak sedikit guru yang
justru terbebani dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan membaca dan menulis.
Padahal, salah satu tugas yang harus dilakukan oleh seorang guru, seperti
kepentingan naik pangkat, berbentuk tugas menulis. Jika seorang guru paham dan
menyadari terhadap hal ini, semestinya ia berusaha sekuat mungkin untuk menjadikan
menulis sebagai budaya.
Sekarang ini media untuk menulis sangat banyak. Selain
media cetak, ada banyak media lain yang dapat digunakan oleh guru untuk
menyalurkan ide dan gagasannya. Internet misalnya, menjadi media yang
memungkinkan guru untuk berekspresi, menyebarkan ide, dan—dalam kerangka luas—melakukan
transformasi sosial. Pengaruh sebuah tulisan ternyata jauh lebih lama, mengakar
kuat, dan membangun kesadaran dalam skala yang luas.
Banyak orang yang menilai bahwa menulis itu pekerjaan
yang cukup berat. Karena beratnya maka tidak semua orang dapat melakukannya.
Hanya sebagian kecil saja yang mampu menuangkan ide, melontarkan gagasan, dan
kemudian menyelesaikan sebuah naskah sampai tuntas. Sebagian besar dari kita
jarang yang mampu menulis dalam makna yang sesungguhnya. Mungkin saja ada di
antara kita yang otaknya penuh dengan ide atau keinginan menulisnya begitu
menggembu-gebu, tetapi kemudian tidak sampai pada aksi. Semuanya baru sebatas
angan-angan.
Anda ingin bukti? Sekarang coba amati berapa orang dari guru
di lingkungan kita yang aktif menulis? Saya kira baru sebagian kecil saja. Menulis
dalam konteks ini ini adalah menulis yang dilakukan secara konsisten, bukan
menulis secara terpaksa. Saya bahkan menyebut mereka yang memiliki tradisi
menulis—termasuk guru—bisa dikategorikan sebagai "makhluk langka", karena memang mereka yang mau dan mampu
menulis ternyata hanya sebagian kecil saja. Tampaknya kita memang lebih
terbiasa berbicara daripada menulis.[5]
Syarat Menulis
Salah satu syarat penting menulis adalah memiliki kemauan
untuk terus menulis. Kemauan menjadi
daya dorong yang sangat kokoh untuk menghasilkan karya. Orang yang memiliki
kemauan yang kuat akan selalu berusaha keras untuk menulis, meskipun ada banyak
hambatan dan tantangan. Ya, orang-orang semacam ini dapat menulis tentang apa
saja, dimana saja, dan kapan saja. Mereka biasanya berproses dan terus belajar.
Kualitas tidak menjadi orientasi utama karena kualitas akan meningkat seiring
dengan seringnya proses menulis. Karena itu kalau saya ditanya caranya menulis,
jawabnya cuma satu; MENULISLAH sekarang
juga, jangan lagi ditunda. Hal utama yang harus dibangun saat akan (dan
sedang) menekuni dunia menulis adalah memompa semangat menulis, menjaga secara
konsisten, tekun, rajin dan terus berusaha menulis. Semua hambatan dan halangan
yang membuat sulit menulis harus dihadapi dan ditundukkan.
Sebenarnya menulis itu tidak berat asalkan kita
menjadikan menulis sebagai kegiatan yang kita nikmati, kita hayati dan kita
jadikan sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Istilah
kerennya menjadikan menulis sebagai passion.
Beberapa nama yang dapat dijadikan contoh adalah: Rosihan Anwar (alm), D
Zawawi Imron, Pipiet Senja, Muhidin M. Dahlan, Pramoedya Ananta Toer (alm), dan
Ajib Rosidi. Mereka ini semua telah menulis puluhan buku. Bagi orang lain,
menulis satu halaman saja sangat berat. Tetapi tidak bagi mereka karena mereka
menulis dengan penuh kegembiraan.
Menulis sesungguhnya tidak mensyaratkan secara mutlak
jenjang pendidikan tertentu. Mereka yang berpendidikan tinggi memang berpeluang
besar untuk menjadi penulis karena proses pendidikan telah mengkondisikan untuk
menulis. Kuliah semenjak S-1 sampai S-3 tidak bisa dipisahkan dari aktivitas
menulis. Kondisi ini, jika disadari dan dijadikan sebagai sarana untuk belajar,
bisa membuat seseorang memiliki tradisi menulis yang baik. Tetapi jika tidak,
maka studi sampai selesai sekalipun tidak akan membuat seseorang memiliki
tradisi menulis yang kokoh.
Kata kunci untuk bisa menulis adalah kemauan. Seseorang
yang memiliki kemauan yang sangat kuat untuk menulis akan mampu menghasilkan
karya yang bermutu, meskipun ia tidak pernah mengenyam jenjang pendidikan
tinggi. Indonesia memiliki banyak penulis hebat yang termasuk dalam kategori
ini. Mereka—antara lain—adalah T.M. Hasbie As-Shidieqy, Hamka, Rosihan Anwar, dan
Ajib Rosidi. Di luar nama-nama tersebut, ada banyak lagi penulis besar yang
mengukir sejarah kepenulisan meskipun pendidikan mereka tidak tinggi.
Ada yang berpendapat bahwa menulis itu pekerjaan yang
cukup berat. Argumentasinya adalah tidak semua orang dapat menghasilkan tulisan
yang baik. Hanya sebagian kecil saja orang yang mampu menemukan ide, menyusun
kalimat, dan kemudian menyelesaikannya menjadi sebuah tulisan. Sementara
sebagian besar yang lainnya jarang yang mampu melakukannya. Mungkin ide mudah
didapat, tetapi giliran mau menuangkannya di komputer atau kertas, ternyata
tidak semudah yang dibayangkan. Mungkin saja ada di antara kita yang semangat
menulisnya tinggi, tetapi tidak diikuti dengan aksi nyata.
Pendapat ini ada benarnya juga. Fakta menunjukkan bahwa
hanya sedikit orang yang mau dan mampu menulis sehingga wajar jika dikatakan
bahwa menulis merupakan pekerjaan yang cukup berat. Bahkan Anwar Holid
menyatakan kalau menulis memang bukan pekerjaan yang mudah. Penulis muda
berbakat ini menyatakan bahwa tidak sedikit orang yang memiliki semangat tinggi
saat ikut pelatihan menulis, tetapi begitu praktik, dia tidak lagi memiliki
semangat. Ia menyerah pada rumitnya memindahkan bahasa pikiran ke tulisan. Ada
juga orang yang merasa sudah putus asa sebelum mulai menulis karena merasa
memang tidak berbakat.[6]
Siapa pun Anda, apa pun profesi Anda, apalagi kalau Anda
berstatus mahasiswa, jika memang ingin menjadi penulis, langkah awal yang harus
Anda bangun adalah membangun tekad dan kemauan keras untuk terus menulis.
Jangan mudah menyerah. Teruslah menulis dan berlatih menulis sampai tulisan
demi tulisan akan mampu Anda hasilkan.
Mungkin Anda bertanya, “Menulis tentang apa?”
Tulislah apa saja, mulai hal sederhana sampai hal yang
paling rumit. Jangan terpaku hanya menulis makalah tugas kuliah saja. Tulislah
hal-hal sederhana di sekitar, pengalaman, refleksi, dan hal apapun yang bisa
ditulis. Seorang mahasiswa yang memiliki hasrat kuat menulis akan selalu
berusaha untuk menulis. Saat Anda menulis, jangan pedulikan soal kualitas
karena kualitas akan meningkat seiring dengan seringnya Anda menulis. Semakin
sering Anda menulis maka kualitas tulisan Anda akan meningkat dengan
sendirinya.
Seorang mahasiswa yang telah memiliki tradisi menulis
akan mendapatkan banyak manfaat. Menurut The Liang Gie, seorang penulis
prolifik yang telah menghasilkan lebih dari 50 buah buku, ada beberapa nilai
yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis. Pertama, nilai
kecerdasan. Menulis membuat seseorang terbiasa untuk berolah pikir, mencari ide
baru, menganalisis kasus, dan merancang urutan pemikiran yang logis untuk
dituangkan dalam tulisan. Semakin sering menulis maka otak juga semakin
terasah. Implikasinya, kecerdasan yang dimiliki juga semakin terasah.
Kedua, nilai kejiwaan. Menghasilkan tulisan itu seperti sebuah
perjuangan. Saat sebuah tulisan selesai dibuat, ada rasa bahagia yang memuncah.
Kebahagiaan itu semakin meningkat manakala mampu dibaca banyak orang, misalnya
dengan dimuat di media massa. Seorang mahasiswa yang menghasilkan karya tulis lalu
berhasil menembus “blockade” redaktur
sebuah media massa—apalagi apalagi media massa besar dan terkenal– pasti akan
merasakan kepuasan, kelegaan, kegembiraan, dan kebanggaan. Pada gilirannya dia
akan lebih percaya diri. Penulis itu harus percaya diri. Jangan takut tidak
dimuat dan seterusnya, karena tugas penulis adalah menulis. Soal kualitas bisa
sambil jalan seiring kemauan Anda untuk terus berlatih, menulis, dan menulis.
Ketiga, nilai sosial. Seorang penulis yang telah berhasil
menenggerkan karya tulisnya di media massa, baik lokal maupun nasional, namanya
akan semakin dikenal oleh publik. Wajar jika ada banyak penghargaan, kritik,
dan juga komentar ytang memiliki arti dan makna signifikan dalam pengembangan
karier kepenulisan. Sebuah karya tulis yang dibuat oleh seorang mahasiswa yang
kemudian dipublikasikan, baik lewat media massa atau internet, akan mendapatkan
nilai sosial yang signifikan. Nilai sosial penting artinya bagi seseorang.
Keempat, nilai pendidikan. Menulis yang dilakukan secara terus-menerus,
walaupun kadang tidak disadari, sesungguhnya mengandung nilai pendidikan. Nilai
pendidikan sebuah tulisan itu bermanfaat untuk penulis sendiri dan juga untuk orang
lain. Mendidik diri sendiri terjadi manakala kita dipaksa untuk membuka kamus,
membaca buku, mengingat kembali berita atau tulisan dan seterusnya. Sedang
mendidik orang lain terjadi manakala mereka membaca hasil tulisan kita.
Kelima, nilai keuangan. Menulis itu menghasilkan. Karya tulis dalam
bentuk apapun di media massa, biasanya dihargai dengan rupiah. Ada yang nominalnya
besar, sedang, kecil, atau bahkan tidak dikasih honor. Tetapi sebenarnya
menekuni dunia menulis secara sungguh-sungguh dapat memberikan keuntungan
material secara memadai atau cukup. Hanya memang ukuran cukup itu sendiri
relatif.
Keenam, nilai filosofis.
Menulis memiliki makna yang mendalam berkaitan dengan beragam bidang kehidupan.
Sebuah tulisan pada dasarnya mencerminkan nilai yang dianut oleh seseorang.
Karena itulah seorang mahasiswa sebaiknya berpikir secara mendalam mengenai
nilai filosofis tulisan yang ia buat.[7]
Setelah memahami enam nilai tersebut, seorang mahasiswa
sebaiknya berusaha keras untuk membangun kreativitas dalam menulis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata ‘kreatif’ diartikan: (1) memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk
menciptakan. Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks.
Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan proses kreatif adalah proses mencipta
tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-fiksi.
Mereka yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi
disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pengarang pada
umumnya sedikit yang menjadi penulis. Hambatannya, menjadi penulis diperlukan
topangan referensi yang lebih luas dan mendalam, apalagi bila yang bersangkutan
menulis tulisan yang bersifat akademis. Tetapi bukan berarti bahwa menjadi
seorang pengarang itu lebih mudah dibandingkan menjadi penulis. Sebab, baik
untuk menjadi pengarang maupun penulis, keduanya memerlukan modal utama yaitu
memiliki dorongan yang kuat untuk menulis
(the strong will to write) atau ‘lapar menulis' (tidak sekadar haus).
Agar tulisan yang kita hasilkan bermutu, kita harus
memiliki tradisi membaca yang baik. Hernowo dalam buku Andaikan Buku itu Sepotong Pizza menyatakan bahwa bacaan yang baik
akan membuat tulisan yang kita buat semakin bermutu. Penulis yang baik berarti
juga pembaca yang baik. Kalau Anda memang berniat serius menulis, selain
memiliki semangat—sebagaimana telah diuraikan di bagian awal tulisan ini—Anda
juga harus rajin membaca. Bacalah apa saja agar wawasan dan pengetahuan Anda
semakin luas. Banyaknya bacaan akan memudahkan Anda menangkap ide,
mengembangkan tulisan, dan menambah bobot tulisan Anda.
Secara lebih
tegas Hernowo menulis:
...menulis dalam pandangan saya merupakan sebuah aktivitas yang sangat luas dan sangat bermanfaat bagi pengembangan diri. Menulis, menurut saya, juga mencakup kegiatan lain yang sangat penting, seperti menerjemahkan dan menyunting sebuah buku. Menerjemahkan adalah sebuah aktivitas yang harus disertai oleh membaca dan menuliskan (merumuskan) sesuatu. Menyunting pun demikian. Menyunting adalah aktivitas yang melengkapi atau bahkan, bisa jadi, menyempurnakan penerjemahan. Aktivitas ini juga harus disertai oleh pembacaan tingkat tinggi dan juga merumuskan-kembali apa-apa yang telah dirumuskan oleh penerjemah. [8]
Selain itu, aspek teknis yang harus dipahami adalah
proses kreatif. Untuk memulai menulis memang memerlukan proses kreatif, yaitu
dimulai dengan adanya ide (kekayaan batin/intelektual) sebagai bahan tulisan.
Ide bisa diperoleh setiap saat dan kapan saja. Sumber utamanya adalah bacaan,
pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi,
konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita
(external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu),
kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi, dan sebagainya. Semuanya itu
bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis.
Kuncinya adalah punya hasrat yang kuat untuk menulis (the strong will to write).
Modal lainnya adalah berkomitmen disertai disiplin untuk menulis. Jika
memang serius ingin bisa menulis, Anda harus memiliki jadwal yang ditaati.
Selain itu juga rajin mengumpulkan ide-ide yang akan ditulis. Sayangnya, kadang
kegiatan rutin yang wajib kita kerjakan membuat kegiatan menulis jadi tertunda
atau terbengkalai sehingga tulisan tidak pernah selesai. Untuk mensiasatinya,
maka perlu menulis di pagi hari (dini hari) atau malam (hingga larut malam,
menjelang pagi). Baik juga memanfaatkan waktu luang pada akhir pekan atau hari
libur. Yang penting, ada waktu khususnya untuk memberi ‘ruang’ proses kreatif
yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan (karya nyata). Tetapi sekali lagi, kuncinya ada pada Anda.
Jadi, tunggu apalagi. Jika memang mau menulis, segera tulis saja dan jangan
menyerah dengan hambatan.
Tulisan demi tulisan yang dihasilkan oleh seorang guru, apalagi jika
dipublikasikan secara luas, pada dasarnya memiliki peran transformatif. Peran
ini terlihat secara nyata pada tumbuhnya pengetahuan, wawasan dan kesadaran
dari orang yang membaca. Pada perspektif inilah selayaknya seorang guru membangun
tradisi menulis secara kokoh agar mampu melakukan transformasi sosial secara
konstruktif.
Kemajuan Hidup
Guru yang mau menulis hampir pasti hidupnya akan maju.
Kemajuan ini dicapai karena guru yang menulis itu pasti akan rajin membaca.
Seorang penulis adalah seorang pembaca. Akumulasi bacaan demi bacaan kemudian
direproduksi menjadi pengetahuan baru yang bermanfaat. Pada titik inilah
sesungguhnya guru yang mau menulis akan dapat mengalami kemajuan hidup.
Menulis itu—sebagaimana paparan di atas—banyak sekali
manfaatnya. Menulis tidak harus diterbitkan. Menulis sendiri, jika dilakukan
secara konsisten, akan memberikan manfaat kepada penulisnya. Karena itu,
idealnya seorang guru membudayakan menulis. Minimal menulis untuk dirinya
sendiri.
Budaya literasi memang harus terus digelorakan. Semakin
banyak yang memiliki budaya literasi akan semakin bagus bagi kemajuan hidup.
Tradisi literasi juga mengikis budaya copy paste yang semakin hari
semakin mewabah. Realitas plagiasi harus terus diminimalisir lewat berbagai
langkah. Salah satunya melalui tumbuhnya budaya literasi.
Pada titik
inilah, langkah-langkah strategis dalam membangun budaya literasi harus
didukung. Jika ini konsisten dilakukan maka dalam jangka panjang kita akan
memiliki budaya literasi yang semakin kokoh. Semoga.
[1] Hildawati Almah, “Information
Literacy: Kecakapan Hidup dalam Era Postmodern”, Jurnal Iqro’, Vol. 4,
No. 01, 26.
[3] Abdul Kadir
Riyadi, Arkeologi Tasawuf, Melacak Jejak
Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara, (Bandung:
Mizan, 2016), h. 154.
[4] Mereka yang
hidupnya mengalami transformasi setelah membaca novel Laskar Pelangi ternyata sangat banyak. Sebuah buku yang mengulas
tentang hal ini ditulis oleh Asrori S. Karni, Laskar Pelangi, The Phenomenon, (Jakarta: Hikmah, 2008).
[5] Saya telah menulis
tentang persoalan ini di buku saya, The
Power of Writing, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015), h. 58-60.
[8] Hernowo, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Rangsangan
Baru untuk Melejitkan “Word Smart”, (Bandung: Kaifa, 2003), h. 87.
Kebiasaan menulis setiap hari, menjadikan kualitas tulisan semakin baik. Selain untuk dirinya sendiri, guru juga bisa menyebarkan virus menulis kepada teman-temannya.
BalasHapusBetul sekali Bu. Dan saya adalah pembaca setia blog Bu Guru Ima Kaltsum.
Hapus