Pendidikan, Literasi dan Perubahan Nasib

Juni 11, 2018



Oleh Ngainun Naim


Sebuah kabar duka bermunculan di facebook. Sastrawan sepuh Surabaya, Suparto Brata, berpulang. Hari itu, 11 September 2015, Suparto Brata wafat dalam usia 83 tahun. Penulis 183 judul buku, blogger tertua, penerima berbagai penghargaan, dan pegiat literasi tersebut pergi untuk selamanya.
Jasad seseorang perlahan tapi pasti dilupakan orang seiring kepergiannya. Tetapi karyanya akan tetap dikenang sepanjang masih bisa dibaca. Dan karya Suparto Brata saya kenang lewat catatan sederhana ini setelah beberapa tahun beliau wafat.
Ya, salah satu sastrawan yang saya kagumi adalah Suparto Brata. Beliau terus menulis hingga usia senja menjelang ajal menjemput. Bagi beliau, literasi tidak sekadar bagaimana membaca buku dan menulis. Substansi literasi adalah "mengubah takdir".
Kesimpulan ini saya peroleh setelah saya membaca buku karya beliau yang berjudul Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis Buku. Buku terbitan Litera Media Center (LMC) Surabaya tahun 2011 ini berkisah tentang bagaimana Suparto Brata menjalani kehidupan yang panjang dengan membaca dan menulis.
Sastrawan Jawa penulis ratusan novel dan buku ini berkisah tentang bagaimana beliau bisa mendapatkan nasib hidup yang lebih baik dibandingkan teman-temannya yang tidak membudayakan membaca dan menulis. Kehidupan ekonominya cukup lumayan. Empat orang anaknya sarjana semua. Tentu ini capaian yang sangat menggembirakan.
Menurut Suparto Brata, membaca buku dan menulis adalah cara agar kehidupan seseorang, bahkan sebuah bangsa, bisa terangkat derajatnya. Membaca dan menulis tidak bisa terbentuk begitu saja. Beliau merekomendasikan sekolah agar mendesain literasi sebagai budaya.
Pada halaman 7 bukunya, Suparto Brata bertutur bahwa 12 tahun sekolah seharusnya diajarkan membaca-menulis setiap hari tanpa jeda. "Jadi jelas, guna sekolah (12 tahun)  adalah agar anak manusia (bangsa) bisa mampu dan lancar membaca buku dan lancar tulis-menulis", tegasnya.
Jika dicermati, Suparto Brata mengidealkan sekolah sebagai tempat membangun budaya literasi. Hal ini bermakna bahwa budaya literasi itu disemai, tumbuh, dan berkembang di sekolah. Jika budaya literasi telah tumbuh di sekolah maka kemajuan hidup secara luas akan lebih cepat terwujud.
Kemajuan itu diyakini oleh Suparto Brata berbasis pada budaya literasi. Individu yang maju hidupnya secara umum memiliki budaya literasi yang kokoh. Begitu juga dengan negara yang maju. Suparto Brata memberikan contoh negara Inggris yang maju berkat gagasan-gagasan masyarakatnya yang cemerlang. Padahal Inggris—dan negara maju lainnya—tidak memiliki sumber daya alam melimpah. Gagasan cemerlang diperoleh karena orang Inggris rajin membaca dan menulis.
Keyakinan Suparto Brata ini bukan hanya berbasis asumsi semata, melainkan didukung oleh data-data empiris dan juga pengalaman personalnya. Wajar jika dengan sangat gigih sastrawan peraih berbagai penghargaan ini menegaskan pentingnya aktivitas membaca dan menulis.
Coba simak penjelasan panjang Suparto Brata di halaman 28-29 dari buku Ubah Takdir berikut ini:
Manusia yang kiat hidupnya hanya mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya saya namai MANUSIA KODRAT. Artinya dia mencapai kepuasan hidupnya seperti halnya orang primitif yaitu dengan hanya mengandalkan kekuatan kodratnya, yaitu: melihat, mendengar, mengalami, meraba, merasakan. MANUSIA KODRAT adalah manusia primitif yang hidup zaman sekarang.

Manusia yang kiat hidupnya selain mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya juga didukung sarana kekuatan MEMBACA DAN MENULIS BUKU, saya namakan MANUSIA SASTRAWI. Artinya dia mencapai kepuasan hidupnya dengan cara menggunakan ilmu yang didapat dari MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Hidup sebagai MANUSIA SASTRAWI akan lebih gampang mencapai kemakmurannya pada masyarakat global berteknologi modern seperti zaman sekarang ini. Hidup Manusia Sastrawi bisa sesuai dengan kemajuan zamannya.

Pembagian manusia menjadi dua jenis—Manusia Kodrat dan Manusia Sastrawi—sungguh menarik dalam konteks kemajuan hidup. Tentu saja jika dihadapkan kepada para akademisi, pembagian semacam ini akan mendapatkan banyak kritik dan komentar. Saya kira wajar karena realitas manusia itu memang sangat kompleks sehingga tidak bisa diwakili oleh hanya dua kategori saja. Selain itu, kategori terkesan menyederhanakan persoalan. Namun dalam konteks memahami realitas secara lebih sederhana, apa yang dilakukan Suparto Brata cukup penting dan signifikan.
Saya justru tidak ingin larut dalam model perdebatan semacam itu yang biasanya tidak berujung. Masing-masing pihak biasanya memiliki argumen dan landasan yang tidak mudah untuk dicari titik temunya. Justru karena itulah saya lebih mengapresiasi spirit besar Suparto Brata untuk memajukan masyarakat lewat budaya literasi.
Kehadiran teknologi modern dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak otomatis membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang modern. Secara kritis Suparto Brata menyebut bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya adalah bangsa primitif yang hidup di zaman modern. Mungkin sebutan ini terlalu kasar dan banyak yang kurang berkenan. Tetapi jika melihat argumentasinya, saya kira kita tidak perlu marah. Justru penilaian ini menjadi titik pijak untuk melangkah dalam kehidupan modern dalam makna yang sesungguhnya.
Indikator bangsa primitif yang hidup di zaman modern adalah;
Segala kebutuhan kiat hidupnya diserap dari kepekaan pancainderanya, yaitu melalui menonton dan mendengarkan TV, radio, telepon, HP, dan hubungan tatap muka, termasuk konflik fisik menjadi andalannya sebagai solusi untuk memenangkan perkara perubahan zaman atau memaksakan kehendak. Dengan kemudahan mendapatkan informasi secara kodrati dari alat-alat modern tadi kian engganlah bangsa Indonesia membudayakan diri membaca dan menulis buku. Yang modern alat-alatnya, bukan manusianya. Manusianya dijajah oleh alat-alat modern. Sebab untuk berbudaya membaca buku dan menulis buku orang (putera bangsa) harus terus-menerus diajari-belajar-diajari-belajar-diajari-belajar membaca buku sampai bertahun-tahun. Maka ENGGAN belajar maupun mengajari. Akibatnya bangsa Indonesia tetap jadi bangsa kodrati, alias primitif, kiat hidupnya terkungkung tradisi kelisanan (orality). Dengan mengkonsumsi TV, radio, telepon, HP sebgai serapan utama ‘budaya’ bangsa, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang konsumtif, bodoh, tetap miskin, tidak kritis menerima informasi pembaharuan, sulit membedakan mana opini mana fakta, mana kebenaran mana kebohongan, dan tidak aman damai sejahtera. Orangnya tetap primitif bodoh, hanya sarana teknologinya yang modern” (h. 72-73).

Kritik Suparto Brata ini terasa tajam dan pedas. Tetapi itulah realitasnya. Justru karena itulah dibutuhkan sikap lapang dada dan pikiran terbuka untuk menerima kritik dan saran Suparto Brata. Langkah penting selanjutnya adalah menyusun strategi yang tepat untuk menumbuhkembangkan budaya literasi. Lewat jalan semacam inilah kemajuan hidup akan tercapai.
Kerja membangun budaya literasi bukan kerja temporal. Ia merupakan kerja abadi sepanjang sejarah manusia. Capaiannya tidak bisa dilihat serta merta. Mungkin kita sekarang yang berjuang membangun budaya literasi tidak melihat hasilnya secara memuaskan. Tetapi jika kita konsisten berjuang, Insya Allah budaya literasi akan semakin tumbuh subur.
Suparto Brata sekarang sudah berpulang. Harapannya agar budaya membaca-menulis ditumbuhkembangkan mulai terlihat di berbagai bidang, khususnya bidang pendidikan. Minat baca masyarakat juga semakin tinggi. Kegelisahannya sepanjang hidup terhadap budaya literasi mulai terjawab sekarang ini di saat Suparto Brata sendiri telah menghadap Allah. Semoga amal usahanya diterima Allah sebagai amal shaleh yang manfaat. Amin.

Tulungagung, 11 Juni 2018

11 komentar:

  1. Astagaa, Pak. Menurut saya, kritikan tajam beliau sangat benar lhooo. Hiks....Seddiiihh. Hingga detik ini, saya pun merasakan bahwa bangsa kita memang masih primitif di tengah alam modern.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Bu. Saya setuju banget. Kita ini belum maju karena tidak memiliki budaya membaca dan menulis. Terima kasih ya Bu sudah berkenan mengunjungi blog ini.

      Hapus
    2. Terima kasih. Hanya catatan sederhana.

      Hapus
  2. Bismillahirrohmanirrohim....
    Untuk pak Suparto Brata,lahul fatihah....

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, terima kasih catatannya, Pak Naim. 👍🏻

    BalasHapus
  4. Amunisi baru untuk tetap semangat menulis

    BalasHapus
  5. Terinspirasi dan termotivasi prof

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.