Guru Literasiku Berpulang

Maret 11, 2019

Ngainun Naim


Sabtu pagi, 23 Februari 2019, dengan kabar duka. Guruku semasa sekolah di MTsN Tunggangri Kalidawir Tulungagung, Drs. Muhammad Amrullah berpulang. Kabar itu aku terima via WA dari seorang teman. Informasi di WA menyebutkan bahwa beliau berpulang pada pukul 05.00 WIB. 
Aku masih termangu seakan tidak percaya. Meskipun beliau guru semasa MTsN, tetapi komunikasi dan interaksi dengan beliau masih cukup rutin aku lakukan. Beberapa buku beliau aku bantu proses penerbitannya. Masih ada beberapa naskahnya yang sedang proses untuk diterbitkan.Tulisanku tentang beliau bisa dibaca di sini. https://spirit-literasi.blogspot.com/2016/09/pak-amrullah-buku-dan-menulis.html. dan https://spirit-literasi.blogspot.com/2015/07/silaturrahim-ke-guru.html. 
Pertemuan terakhir dengan beliau terjadi sekitar setahun lalu. Saat aku berkunjung ke sekolah tempat beliau mengajar. Sebagaimana biasa, beliau bercerita secara panjang lebar tentang banyak hal, termasuk tentang sakitnya. Sakit diabetes yang mulai dirasakan di usia 40-an. Ditandai dengan berat badan yang menurun drastis. 
Aku yang saat itu duduk di hadapan beliau merasakan betul bagaimana kondisi fisik beliau yang semakin kurus dan melemah. Dulu beliau gemuk dan tinggi. Beliau sosok yang gagah. Sakit diabetes menjadikan fisik beliau menjadi kurus.
“Mataku sudah kena juga Mas. Kini mungkin penglihatanku tinggal sekitar 40 persen saja”, kata beliau dengan agak bergetar. Aku menyimak penuturan beliau. Juga kerisauannya karena aktivitas membaca dan menulis yang menjadi hobi berat beliau harus terganggu karena sakit yang beliau derita.
Meskipun demikian, sakit diabetes tampaknya tidak mengurangi hobi beliau menikmati kuliner. Suatu ketika aku melihat beliau memarkir mobilnya di sebuah warung soto. Beberapa kolega yang kenal dekat juga bercerita bahwa beliau masih sangat menikmati makanan enak. Akibatnya, sakitnya semakin parah. Belakangan aku  mendengar bahwa beliau juga harus cuci darah karena ginjalnya bermasalah. 
Kini beliau telah berpulang. Aku bersaksi bahwa beliau orang baik. Jasa beliau tidak akan aku lupakan seumur hidup. Beliaulah penyemai jejak literasi pada diriku. Jika kini aku menyukai dunia membaca dan menulis, harus jujur aku akui bahwa kontribusi beliau sangat besar.
Beliau memang tidak pernah mengajari secara intensif tentang bagaimana membaca dan menulis. Tetapi setiap kali kami bertemu, topik membaca dan menulis selalu menjadi bagian dari pembahasan. Dan itu selalu dilakukan oleh beliau sejak aku masih sekolah di MTsN sampai saat beliau sakit sebelum wafat. Tentu bisa dibayangkan bagaimana pengaruh perbincangan itu terhadap diriku.
Aku terkenang saat beliau awal mengajar. Saat itu aku kelas 2 MTsN. Beliau mengajar Bahasa Inggris. Cara mengajarnya cukup enak, walaupun sesungguhnya beliau cukup disiplin. Beberapa teman yang tidak mengerjakan PR atau melanggar akan dihukum dengan berlari mengelilingi halaman sekolah sambil diminta membaca sebuah kalimat yang menjadi bagian dari PR yang harus dikerjakan. Kedisiplinan itu menorehkan pengaruh mendalam pada diriku.
Aku ingat betul, saat mengajar beliau senantiasa membawa dan membaca buku. Rasanya jarang sekali beliau lepas dari buku. Jika para siswa mengerjakan tugas, beliau asyik dengan buku yang dipegangnya. Beliau membaca sambil duduk di depan kelas atau sambil jalan di dalam kelas.
Aku tahu persis beliau memiliki kecintaan pada buku sampai mendarahdaging. Setiap ada pameran buku beliau selalu hadir dan memborong buku.  Wajar jika koleksinya mencapai puluhan ribu. “Kira-kira mencapai 20.000 eksemplar Mas”, kata beliau saat aku silaturrahim ke rumah beliau pada suatu waktu. Aku menyaksikan sendiri nyaris tidak ada bagian rumahnya yang tidak terisi buku, termasuk dapur. Semuanya penuh sesak oleh buku.
Aku memetik pelajaran berharga dari beliau bahwa jika ingin mengajak seseorang untuk meniru sebuah kebiasaan baik, ajakan lisan saja tidak cukup. Ajakan lisan, tentu saja, tetap penting. Tetapi dengan "uswah", pengaruhnya jauh lebih mengakar kuat.
Mungkin ini juga kasuistis. Tidak semua orang akan mendapatkan pengaruh yang sama. Tetapi pengaruh dari "uswah" aku kira pasti ada. Soal seberapa besar, aku kira itu relatif. 
Sudut pandang ini tampaknya bisa menggambarkan bagaimana aktivitas memegang buku dan membaca yang dilakukan Pak Muhammad Amrullah menorehkan jejak yang cukup kuat. Jejak itu kemudian menelisik ke alam sadar lalu bertransformasi menjadi peniruan. Jika kini aku suka membaca, jejak itu ditanamkan—antara lain—dari  role model yang mewarnai sekolahku saat beliau ajar. 
Suatu sore, di hari raya idul fitri, bersama kawan sekolah aku silaturrahim ke rumah beliau. Saat itu aku kelas 2 MTsN. Betapa aku ternganga. Tiga lemari besar di ruang tamu penuh sesak oleh buku. Sebuah mesin ketik teronggok di sudut ruangan. 
“Oh, begini ya pengarang itu. Buku yang banyak dan memiliki mesin ketik”, pikirku saat itu.
Sejak itu, membaca dan menulis menjadi mimpi yang ingin sekali aku wujudkan. Meskipun membutuhkan waktu yang sangat panjang, aku akhirnya betul-betul tercebur ke dunia literasi. Dunia membaca dan menulis telah menjadi bagian tidak terpisah dari kehidupanku sehari-hari.
Kini, guru yang mengajariku membaca dan menulis itu telah berpulang. Aku berdoa semoga amal beliau diterima oleh Allah, dosanya diampuni, dan keluarga yang ditinggalkan selalu sabar. Selamat jalan Pak Am. Jasamu tidak akan aku lupakan seumur hidup.


Trenggalek, 24-2-2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.