Guru Literasiku Berpulang
Ngainun Naim
Sabtu
pagi, 23 Februari 2019, dengan kabar duka. Guruku semasa sekolah di MTsN
Tunggangri Kalidawir Tulungagung, Drs. Muhammad Amrullah berpulang. Kabar itu
aku terima via WA dari seorang teman. Informasi di WA menyebutkan bahwa beliau
berpulang pada pukul 05.00 WIB.
Aku
masih termangu seakan tidak percaya. Meskipun beliau guru semasa MTsN, tetapi
komunikasi dan interaksi dengan beliau masih cukup rutin aku lakukan. Beberapa
buku beliau aku bantu proses penerbitannya. Masih ada beberapa naskahnya yang
sedang proses untuk diterbitkan.Tulisanku tentang beliau bisa dibaca di sini. https://spirit-literasi.blogspot.com/2016/09/pak-amrullah-buku-dan-menulis.html. dan https://spirit-literasi.blogspot.com/2015/07/silaturrahim-ke-guru.html.
Pertemuan
terakhir dengan beliau terjadi sekitar setahun lalu. Saat aku berkunjung ke sekolah
tempat beliau mengajar. Sebagaimana biasa, beliau bercerita secara panjang lebar
tentang banyak hal, termasuk tentang sakitnya. Sakit diabetes yang mulai
dirasakan di usia 40-an. Ditandai dengan berat badan yang menurun
drastis.
Aku yang
saat itu duduk di hadapan beliau merasakan betul bagaimana kondisi fisik beliau
yang semakin kurus dan melemah. Dulu beliau gemuk dan tinggi. Beliau sosok yang
gagah. Sakit diabetes menjadikan fisik beliau menjadi kurus.
“Mataku
sudah kena juga Mas. Kini mungkin penglihatanku tinggal sekitar 40 persen
saja”, kata beliau dengan agak bergetar. Aku menyimak penuturan beliau. Juga
kerisauannya karena aktivitas membaca dan menulis yang menjadi hobi berat
beliau harus terganggu karena sakit yang beliau derita.
Meskipun
demikian, sakit diabetes tampaknya tidak mengurangi hobi beliau menikmati
kuliner. Suatu ketika aku melihat beliau memarkir mobilnya di sebuah warung
soto. Beberapa kolega yang kenal dekat juga bercerita bahwa beliau masih sangat
menikmati makanan enak. Akibatnya, sakitnya semakin parah. Belakangan aku mendengar bahwa beliau juga harus cuci darah
karena ginjalnya bermasalah.
Kini
beliau telah berpulang. Aku bersaksi bahwa beliau orang baik. Jasa beliau tidak
akan aku lupakan seumur hidup. Beliaulah penyemai jejak literasi pada diriku. Jika
kini aku menyukai dunia membaca dan menulis, harus jujur aku akui bahwa
kontribusi beliau sangat besar.
Beliau
memang tidak pernah mengajari secara intensif tentang bagaimana membaca dan
menulis. Tetapi setiap kali kami bertemu, topik membaca dan menulis selalu
menjadi bagian dari pembahasan. Dan itu selalu dilakukan oleh beliau sejak aku masih
sekolah di MTsN sampai saat beliau sakit sebelum wafat. Tentu bisa dibayangkan
bagaimana pengaruh perbincangan itu terhadap diriku.
Aku terkenang
saat beliau awal mengajar. Saat itu aku kelas 2 MTsN. Beliau mengajar Bahasa
Inggris. Cara mengajarnya cukup enak, walaupun sesungguhnya beliau cukup
disiplin. Beberapa teman yang tidak mengerjakan PR atau melanggar akan dihukum
dengan berlari mengelilingi halaman sekolah sambil diminta membaca sebuah
kalimat yang menjadi bagian dari PR yang harus dikerjakan. Kedisiplinan itu
menorehkan pengaruh mendalam pada diriku.
Aku ingat
betul, saat mengajar beliau senantiasa membawa dan membaca buku. Rasanya jarang
sekali beliau lepas dari buku. Jika para siswa mengerjakan tugas, beliau asyik
dengan buku yang dipegangnya. Beliau membaca sambil duduk di depan kelas atau
sambil jalan di dalam kelas.
Aku tahu
persis beliau memiliki kecintaan pada buku sampai mendarahdaging. Setiap ada
pameran buku beliau selalu hadir dan memborong buku. Wajar jika koleksinya mencapai puluhan ribu.
“Kira-kira mencapai 20.000 eksemplar Mas”, kata beliau saat aku silaturrahim ke
rumah beliau pada suatu waktu. Aku menyaksikan sendiri nyaris tidak ada bagian
rumahnya yang tidak terisi buku, termasuk dapur. Semuanya penuh sesak oleh
buku.
Aku memetik
pelajaran berharga dari beliau bahwa jika ingin mengajak seseorang untuk meniru
sebuah kebiasaan baik, ajakan lisan saja tidak cukup. Ajakan lisan, tentu saja,
tetap penting. Tetapi dengan "uswah", pengaruhnya jauh lebih mengakar
kuat.
Mungkin
ini juga kasuistis. Tidak semua orang akan mendapatkan pengaruh yang sama.
Tetapi pengaruh dari "uswah" aku kira pasti ada. Soal seberapa besar,
aku kira itu relatif.
Sudut
pandang ini tampaknya bisa menggambarkan bagaimana aktivitas memegang buku dan
membaca yang dilakukan Pak Muhammad Amrullah menorehkan jejak yang cukup kuat.
Jejak itu kemudian menelisik ke alam sadar lalu bertransformasi menjadi
peniruan. Jika kini aku suka membaca, jejak itu ditanamkan—antara lain—dari role model yang mewarnai sekolahku saat
beliau ajar.
Suatu
sore, di hari raya idul fitri, bersama kawan sekolah aku silaturrahim ke rumah
beliau. Saat itu aku kelas 2 MTsN. Betapa aku ternganga. Tiga lemari besar di
ruang tamu penuh sesak oleh buku. Sebuah mesin ketik teronggok di sudut
ruangan.
“Oh,
begini ya pengarang itu. Buku yang banyak dan memiliki mesin ketik”, pikirku
saat itu.
Sejak
itu, membaca dan menulis menjadi mimpi yang ingin sekali aku wujudkan. Meskipun
membutuhkan waktu yang sangat panjang, aku akhirnya betul-betul tercebur ke
dunia literasi. Dunia membaca dan menulis telah menjadi bagian tidak
terpisah dari kehidupanku sehari-hari.
Kini,
guru yang mengajariku membaca dan menulis itu telah berpulang. Aku berdoa
semoga amal beliau diterima oleh Allah, dosanya diampuni, dan keluarga yang
ditinggalkan selalu sabar. Selamat jalan Pak Am. Jasamu tidak akan aku lupakan
seumur hidup.
Trenggalek, 24-2-2019
Tidak ada komentar: