Menikmati Kuliner Tidore dan Ternate

Maret 09, 2019

Ngainun Naim

Kamis, 7 Maret 2019
Dua bus dan beberapa mobil bergerak meninggalkan Istana Kesultanan Tidore. Bus bergerak menuju pinggir pantai. Ternyata panitia dari Universitas Khairun Ternate sudah memesan makan siang di sebuah warung di bibir pantai.
Pemandangan dari Warung Makan

Warungnya sederhana tetapi jangan tanya soal rasanya. Setelah menikmati semua makanan di siang yang terik itu, saya bilang ke Mas Hendrik, utusan dari Universitas Brawijaya Malang yang duduk di samping saya.
“Makanan di sini tidak ada yang enak”.
Saya lihat dia agak terkejut. Saya kemudian melanjutkan,
“Adanya ENAK SEKALI”.
Kami pun tertawa bersama.
Ikan menjadi menu utama di warung ini. Saya kira ini wajar karena secara geografis Tidore dan Ternate dikelilingi lautan. Menu ikan dengan paduan kuah menghasilkan rasa tiada tara. Jujur, saya tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya karena kata-kata tidak mampu melukiskannya secara apa adanya.
Saya menemukan keunikan menu di Tidore siang itu. Ada pisang yang dikukus atau apalah. Saya sendiri tidak tahu. Lalu ada ketela rebus yang istilah Jawanya meduk. Keduanya—pisang dan ketela—dimakan dengan paduan kuah. Campur menjadi satu. Bagi saya yang orang Jawa, perpaduan ini agak aneh. Tetapi begitu dicoba, sensasinya tak terkatakan. Enak sekali.
Popeda

Menjelang ketela dan pisang tuntas di piring, popeda datang. Ini makanan khas. Kalau di Jawa kayak jenang. Putih. Saya pun antri untuk mendapatkan popeda. Begitu saya mendapatkan popeda, segera menikmatinya. Sama seperti yang lainnya. Sangat nikmat rasanya. Lengkap sudah menikmati menu di siang itu.
Siang yang lumayan terik dengan tubuh berkeringat deras karena makanan yang pedas. Puji syukur alhamdulillah atas nikmat yang luar biasa.

Jumat, 8 Maret 2019, pukul 17.30
Sore yang redup. Saya baru saja sampai di Hotel Emerald Ternate setelah diskusi tentang menulis di IAIN Ternate. Usai shalat ashar, saya memutuskan keluar hotel. Saya ingin mencicipi sesuatu yang khas Ternate.
Saya memutuskan mengambil arah selatan menuju pantai. Tawaran ojek saya abaikan. Saya memutuskan berjalan kaki.
Hanya berjarak 200 meter dari Hotel Emerld ada Hotel Batik. Persis di samping Hotel Batik ada sebuah kafe. Namanya Batik Coffe. Besar kemungkinan tempat ini milik Hotel Batik karena lokasinya yang menjadi satu dengan hotel. Namanya juga sama persis dengan nama hotel.
Saya memutuskan masuk ke kafe itu. Segera saya menuju kasir untuk memesan menu.
“Kopi yang khas sini apa Mbak?”, tanya saya kepada pelayan.
“Kopi batik Pak”, jawabnya.
“Oke, itu saja”, saya menukas.
Kopi Batik

“Ada yang lain Pak? Ada gorengan pisang, kentang, dan ada juga beberapa menu ringan lainnya”, katanya sambil menyodorkan daftar menu.
Saya baca daftar menu itu. Saya cermati daftarnya.
“Pisang goreng ya”.
Pelayanan kemudian pergi ke dapur. Tidak seberapa lama seorang pelayan laki-laki datang dengan segelas kopi batik. Saya lihat mirip kopi susu karena ada susu kental yang mengendap di bawah.
“Terima kasih ya”, kata saya.
Pelayan menjawab sambil tersenyum lalu kembali ke tempatnya. Saya kemudian mengaduk kopi batik itu. Tentu masih panas. Saya tidak mungkin menuangkan kopi batik ke lepek karena ada tisu di bawahnya. Mungkin ini memang khasnya tempat ini.
Hampir lima menit tetapi pisang goreng belum juga datang. Saya mencoba mencicipi kopi batik dengan sendok. Lumayan juga. Rasanya memang berbeda. Memang setiap daerah selalu menghadirkan kopi dengan aroma dan rasa yang khas.
Sesaat kemudian pisang goreng datang. Wow, ada tujuh potong pisang yang dibelah. Saya membatin, bagaimana cara menghabiskannya. Ini cukup banyak.
Ada yang unik, yaitu ada sambal di tempat khusus. Rupanya makan pisang goreng di Ternate tradisinya disertai sambal. Bagi saya ini unik karena di daerah saya, Tulungagung—sebuah kota kecil di ujung selatan Jawa Timur—makan pisang goreng tidak ada paduannya.
Pisang goreng+sambal

Saya pegang satu pisang. Secepat kilat tangan saya lepaskan. Panasnya minta ampun. Wajar saja karena jelas baru diangkat dari penggorengan. Tampaknya saya tidak sabar untuk segera mencicipinya.
Setelah beberapa menit saya segera mengambil satu batang dan menikmatinya. Lumayan juga kalau pisang dipadukan dengan sambal. Tentu, 7 potong pisang tidak mampu saya habiskan. Tetapi sore itu saya sudah mencicipi kopi khas Ternate dan pisang yang unik.

Kamis, 8 Maret 2019, pukul 20.00
Ibu Adiyana—pegawai IAIN Ternate—dan suaminya menjemput saya di Hotel Emerald. Beliau mengajak saya makan malam. Tempat yang dituju adalah bibir pantai Kota Ternate.
Menu utamanya adalah ikan bakar. Namanya ikan bubara. Ikan ini ditaburi dengan sambal di seluruh bagian atasnya. Namanya sambal colo-colo. Menu lainnya cukup banyak, di antaranya sayur garu. Sayur ini perpaduan antara garu, daun daun melinjo, dan daun pepaya.

Ikan Bubala

Sebagai minuman, saya mencoba memesan air guraka. Ini semacam saraba plus susu kental manis dan buah kenari. Nyaris satu jam kami di rumah makan pinggir pantai itu. Menikmati kuliner Ternate.
Air Guraka

Lengkap sudah rasanya. Kuliner demi kuliner khas Ternate, meskipun tentu saja hanya sebagian, sudah saya nikmati.
Kenari

Catatan ini sekadar sebagai kenangan hidup bahwa saya pernah menikmati kuliner di sebuah wilayah Indonesia yang eksotik. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

Ternate—Manado, 8-9 Maret 2019

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.